Minggu, 30 Mei 2010

SANG PAWANG

Novel Maulana Syamsuri

Perempuan berumur hampir tiga puluh itu sudah terlalu jauh berjalan, melewati padang rumput, melewati padang ilalang dan hutan belantara, menyeberangi sungai, rawa-rawa dan lautan. Juga melewati bukit dan gunung-gunung. Sudah terlalu banyak batu perintang yang menghalangi perjalanannya, batu cadas, duri-duri tajam, beling dan pohon tumbang. Juga banjir dan tanah longsor. Badai dahsyat ikut menghempang perjalanannya ,tapi ia terus saja melngkah, terus saja mendaki bukit terjal dan menuruni lembah yang amat curam sekalipun.

Perempuan itu terus berjalan dan terus melangkah, padahal yang menemaninya hanya Mas Joko, sahabat yang paling setia baginya, sahabat yang menemaninya siang dan malam. Bahkan yang terjalin lebih dari persabatan biasa. Padahal Mas Joko hanya seekor monyet jantan yang sudah dilatihnya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Monyet itu ditemukannya masih terbilang bayi, ketika terlepas dari gendongan induknya di ladang jangung. di pinggir hutan jauh dari rumahnya.

Mas Joko sekarang sudah pintar diajak mengais rejeki sebagai pelaku utama atraksi topeng monyet. Mas Joko sudah pintar berakting menarik gerobak, berbelanja layaknya seorang ibu rumah tangga, memikul buah-buahan, memukul drum seperti layaknya seorang drummer terkenal, menari goyang pinggul seprti Inul atau melakukan atraksi seperti pemain sirkus, melompati api dalam lingkaran.

Inah, begitu kerabat dan saudaranya dan kawan-kawannya memanggil, padahal almarhumah ibunya memberinya nama Leginah, karena ia dilahirkan hari Jumat Legi di kawasan kaki gunung di Jawa Tengah yang memang rawan longsor. Ada juga sahabat yang memanggilnya Ginah. Yang memanggil Legi juga ada, tapi gadis itu tidak senang mendengar dirinya dipanggil dengan nama itu. Ia lebih senang dipanggil Inah dan enak didengar. Panggilan Inah terasa lebih akrab.

Sekarang Inah sedang bersiap-siap melanjutkan perjalanannya meninggalkan kota Metropolitan Jakarta, karena di ibukota pesaingnya teramat banyak. Sudah banyak dan amat banyak para dalang topeng monyet dengan segala macam variasinya. Ada yang menggunakan kendang dan kening ,berupa bilah-belah besi yang disusun seperti gamelan. Ada lagi yang mengiringi atraksi topeng monyet itu dengan kibod dengan berbagai irama dan macam-macam lagi.

Gadis itu sudah lama menjadi seorang dalang topeng monyet. Di kawasan pemukimannya tidak jauh dari bantaran kali, ia dikenal sebagai pawing topeng monyet. Dalang dan pawang topeng monyet, pangkat dan jabatan itu sudah lama lekat pada dirinya. Tapi Inah lebih senang disebut sebagai dalang topeng monyet karena ia berdarah Jawa. Di daerah asalnya dalang lebih populer daripada pawing. Karena dalang maknanya lebih luas. Karena dalang seperti halnya dalang dalam pewayangan memiliki wawasan yang amat luas. Dalang lebih dimuliakan orang daripada pawang.

Dalam hal atraksi topeng monyet, Kampung Lapangan Lai, di kawasan Cipinang, adalah merupakan berkumpulnya para dalang topeng monyet dan juga merupakan bursa monyet. Di kawasan itu ada monyet yang berharga dua ratus ribu karena sudah pintar untuk melakukan berbagai atraksi. Ada monyet berharga dua puluh ribu tapi perlu banyak pelatihan lagi. Lagi pula semua dalang-dalang topeng monyet itu adalah kaum laki-laki. Yang perempuan hanya satu dua, di antaranya adalah Inah. Sebagai perempuan ia merasa tidak mampu menghadapi pesaingnya yang sebagian besar adalah kaum lelaki. Apalagi mereka terkadang berbuat curang, memberi racun kepada monyet-monyet yang sudah dianggap paling top dan berprestasi dalam merebut pasar saweran.

Seperti yang pernah dialami Inah beberapa waktu yang lalu, ketika banyak penonton menyaksikan atraksi Mas Joko di sebuah perkampungan yang penduduknya amat rapat dan penonton amat banyak. Tepuk tangan yang meriah terdengar setiap Mas Joko tampil menarik gerobak, atau membawa keranjang seperti ibu-ibu rumah tangga yang pergi berbelanja ke pasar tradisional.

Tidak satupun penonton yang bergeming pada atraksi itu, padahal hari sudah amat sore, matahari sesaat lagi akan tenggelam. Langit di atas Jakarta sudah berwarna merah, sebagai pertanda senja sudah datang dan sesaat lagi akan berubah menjadi malam yang kelam. Para pekerja di pabrik sudah berjalan pulang, buruh angkat di pelabuhan juga sudah di atas angkot yang berjejal dan para penjaja makanan juga sudah membawa sisa jualannya yang tidak laku. Burung-burung yang melanglang buana sejak pagi hari sudah terbang pulang ke sarangnya. Kupu-kupu aneka warna dan kumbang jantan sudah meninggalkan taman bunga, sudah berganti dengan kunang-kunang yang terbang petang dengan sinarnya yang berkelap-kelip.

Lumayan, uang saweran yang diterimanya pada sore itu, hampir seratus ribu, bisa untuk membeli sampo, sabun mandi atau bedak dan parfum untuk mandi Mas Joko nanti. Perempuan yang memiliki nama Leginah itu tiap hari memang memandikan monyet itu dan usai mandi lalu Inah membedaki bulu sang monyet. Juga memoleskan parfum. Biar monyet jantan berjambul yang selalu akrab dipanggil Mas Joko itu menyebarkan aroma wangi.

Penonton yang banyak dan sambutan yang hangat penuh rasa kagum, serta saweran yang banyak menyebabkan orang lain menjadi iri dan sakit hati. Diam-diam seorang dalang topeng monyet lainnya selalu mengikuti perjalanan dan penampilannya. Pada saat pertunjukan berakhir dan Inah tersesak untuk pipis, ia meninggalkan Mas Joko sendiri. Pada saat itulah seorang lelaki melemparkan jambu biji ke arah Mas Joko, padahal jambu biji itu sudah dilumuri dengan racun yang amat berbahaya. Sedikit saja jambu yang sudah dilumuri dengan racun itu masuk ke dalam perut Mas Joko, dia akan segera menggelepar dan mati.

Bila Mas Joko sudah mati, maka habislah mata pencaharian gadis desa itu. Tanpa monyet jantan itu, Inah tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tidak ada keahlian apapun yang dimiliki gadis ndeso itu, selain melakukan pertunjukan topeng monyet. Inah tidak mampu bekerja di pabrik. Ia tidak punya keahlian untuk berdagang. Inah tidak mampu bekerja keras sebagai pembantu rumah tangga di rumah orang kaya. Ia sudah terlanjur menemukan lapangan hidupnya sebagai dalang topeng monyet karena dengan cara itu ia amat mudah mengais rezeki, meskipun terkadang uang saweran yang diperolehnya hanya pas-pasan dan terkadang untuk membeli nasi saja tidak cukup. Inah merasa bahagia profesinya sebagai dalang atau terkadang disebut sebagai pawing topeng monyet.

Keluar dari toilet, sepasang mata gadis ndeso itu amat jeli memperhatikan di sisi Mas Joko ada sebuah jambu yang amat segar dan bentuknya cantik. Siapa yang meletakkan jambu biji ini?, pikirnya. Kenapa tiba-tiba saja ada seseorang yang meletakkan sebuah jambu yang ranum di sisi Mas Joko?. Tangan Inah segera mencegah ketika Mas Joko meraih jambu itu untuk dimakan.

“Jangan makan,Mas Joko!,” teriak Inah. Naluri kewanitaannya berbisik ada sesuatu yang tidak beres pada jambu itu. Ia segra menyingkirkan jambu biji itu.

“Kalau Mas Joko ingin jambu yang manis, aku akan membelikannya untukmu nanti setelah kita pulang!”

Gadis yang berasal dari desa itu berkemas-kemas untuk pulang.

“Ayo kita pulang,Mas Joko. Kita makan yang enak dan istirahat. Mas Joko ingin buah apa?. Apel?. Pier?. Klengkeng?. Kuini?. Mas Joko akan menikmatinya nanti. Tapi jangan makan jambu yang dilontarkan orang kepada Mas Joko!”

Dan sepasang mata Inah masih sempat memandang ke arah jambu biji yang dipatuk ayam, lalu ayam itu segera menggelepar dan mati. Barulah Inah menyadari, bahwa jambu biji itu sudah diberi racun untuk membunuh Mas Joko. Ada orang yang dengki. Ada orang yang iri melihat penampilan Ada orang jahil. Melihat Mas Joko bersama Inah menghasilkan saweran yang lumayan.

Hal seperti itulah yang membuat Inah tidak kerasan untuk mencari rezeki di Jakarta. Ia takut terjadi lagi, orang memberi racun kepada Mas Joko dan mati. Mungkin pula yang terkena racun bukan Mas Joko, tapi Inah sendiri. Ia ingin mencari rezeki di tempat lain, di Pulau Sumatera. Tepatnya di Tanah Deli. Di kota Medan!.

Ia ingin pergi jauh. Ia merasa lebih nyaman di Sumatera. Ia merasa lebih aman hidup di Tanah Deli bersama Mas Joko. Keluarga Kang Atmo,jirannya ketika di desanya, sudah dihubungi dan bersedia ditumpangi dua atau tiga bulan. Bahkan ngenger selama setahun di rumah Kang Atmo juga tetap diperkenankan. Sesama orang Jawa rasa persaudaraannya amat kental.

“Di Sumatera tidak ada yang berhati jahat, Mas Joko. Kita akan aman hidup di sana. Tidak ada orang yang akan memberi racun kepada Mas Joko. Tidak ada orang yang akan membunuh Mas Joko di sana!,” itulah kata-kata yang amat sering diucapkan kepada monyet jantan yang selalu bersamanya.

“Kita akan pergi jauh. Kita akan merantau dan hidup dengan tenang tanpa ada orang yang usil!” katanya lagi. Itulah yang membuat gadis asal sebuah desa di lereng gunung di Jawa Tengah itu untuk berjalan jauh. Untuk menyeberangi laut, untuk melewati hutan belantara, untuk menuruni lembah, melewati padang rumput dan ilalang.

***

SEKARANG Inah akan melanjutkan perjalanannya dengan bis ke arah utara, menyeberang ke Sumatera. Sebagai seorang gadis berumur hampir tiga puluh, yang dilahirkan dari keluarga Jawa yang masih teguh menganut adat budaya Jawa, ia percaya pada ramalan primbon, bahwa seseorang yang lahir pada hari Jumat Legi, rezekinya ada di bumi belahan Barat dan Utara. Itulah sebabnya ia melanglang buana bersama Mas Joko, monyet jantan kesayangannya menuju Jakarta setelah calon suaminya menikah dengan orang lain dan akhirnya tewas tertimbun tanah longsor di desanya. Mendiang ibunya juga meninggal karena tertimpah bangunan rumah akibat di kawasan iu terjadi bencana longsor setelah desanya diguyur hujan berhari-hari.

Sehari sebelum terjadinya bencana tanah longsor yang membawa korban belasan nyawa itu, dapur rumah Inah dimasuki ular berbisa. Ia pernah diajarkan oleh ayah bundanya, bahwa menurut primbon Jawa, bila rumah dimasuki ular berbisa akan terjadi kematian di rumah itu. Benar saja, tidak lama setelah ular itu masuk ke dalam rumahnya, tanah longsor itupun terjadi. Ibunya meninggal dan Inah masih bersyukur nyawanya dilidungi Gusti Allah. Apa yang diramalkan primbon memang selalu benar.

Inah sengaja memesan dua kursi dalam bis, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk Mas Joko. Hewan kesayangannya dan sekali gus juga sahabatnya mengais rezeki harus duduk seperti layaknya manusia. Pada awalnya Inah sengaja memilih kursi barisan depan, tapi seorang bocah ingusan tiba-tiba menangis melihat tampang Mas Joko,maklum seekor monyet, mana mungkin tersenyum ramah.. Bocah itu menjerit-jerit ketakutan melihat seekor monyet. Padahal dari bicaranya bocah itu adalah orang Batak yang akan kembali ke kampung halamannya di Tapanuli Utara. Padahal Inah selalu mendengar, bahwa orang Batak selalu kasar dan pemberani., tapi mengapa bocah berdarah Batak itu takut melihat monyet?. Apakah bocah itu juga takut melihat cicak?. Takutkah bocah kelahiran Tapanuli Utara itu melihat tikus?. Takutkah bocah berdarah Batak itu melihat cacing , kodok dan kecoa. Cicak, cacing, tikus dan kecoa sama saja sama saja, sama-sma mahluk yang bernama binatang.

Inah amat sedih ketika kondektur bis menghampirinya dan berkata:

“Maaf, Mbak. Sebenarnya bis ini bukan untuk monyet.”

“Tapi Mas Joko juga membeli tiket seperti manusia,” sahut Inah.

“Memang benar!. Tapi semua penumpang akan ketakutan dan protes. Tidak hanya anak-anak yang ketakutan. Orang tua juga risih duduk dekat monyet.”

“Jangan terlalu melecehkan binatang. Adakalanya manusia berkelakuan lebih dari binatang, terutama kaum lelaki!.” Inah jadi ingat berita-berita di koran tentang prilaku manusia yang biadab karena memperkesosa anak sendiri. Juga pernah dibacanya di surat kabar empat lelaki memperkosa gadis cilik berusia 7 tahun. Bukankah semua itu lebih biadab dari prilaku binatang?, pikirnya. Iapun ingat banyak lelaki suka selingkuh, seenaknya berzina, padahal di rumah punya isteri cantik.. Banyak lelaki main serong dengan perempuan lain yang bukan isterinya. Prilaku lelaki terkadang lebih jahat dari seekor monyet.

“Mas Joko mahluk yang baik. Dia seperti manusia!, “ kata Inah lagi. . “Saya jamin tidak akan menggigit manusia. Mas Joko akan selalu ada di sisi sya. Saya akan menjaganya dengan baik.”

“Sebaiknya Mbak naik bis lain, ongkosnya kami kembalikan!” ujar kondektur bis kesal karena tiga anak penumpang bis terus menjerit-jerit ketakutan. Bahkan ada penumpang yang tidak mau naik ke dalam bis itu selagi monyet itu ada dalam bis.

“Enak saja!” perawan ndeso itu cemberut .

“Banyak penumpang tidak mau naik karena monyet ini!,” ujar kondektur bis lagi dan mulai naik darah. “Silahkan Mbak naik bis lain!”

“Itu tidak adil. Itu tidak adil!.” cetus Inah mempertahankan haknya karena ia memang sudah membeli dua tiket jurusan Sumatera. “Saya tidak mau turun. Saya harus naik bis ini!. Mas Joko baik hati, ia selalu menuruti kehendak saya. Pak Kondektur boleh menciumnya, saya jamin tidak bau seperti binatang lain karena tiap mandi. Mas Joko selalu mandi bersama saya. Mas Joko juga menggunakan sampo dan sabun mandi!”

Kondektur itu menatap monyet di sisi Inah.

“Lihat saya mencium keningnya. Baunya harum seperti pria gagah yang mengenakan parfum. Ayo cium dia,Pak kondektur!,”.

Mana mungkin Pak Kondektur mencium sang monyet meskipun sudah dipoleskan parfum. Sesaat sang kondektur terdiam dan heran. Gadis itu cantik, tetapi selalu mandi bersama-sama dengan monyet peliharaannya. Kondektur itu lebih heran lgi ketika Inah berkata :

“Kadang-kadang Mas Joko juga menemani saya tidur!”

Lama sang kondektur memikir-mikir. Lelaki berkumis tebal itu menghampiri monyet jantan yang diberi nama Mas Joko. Ternyata memang tidak bau busuk seperti hewan-hewan lain.

“Ayo,Pak kondektur, silahkkan cium dia!,” desak Inah. “Kalau Mas Joko memang bau tidak sedap, saya bayar seratus ribu!. Kalau Pak Kondektur muntah karena baunya, saya bayar satu juta!””

Kondektur itu hanya menghampiri. Hidung lelaki berkumis itu memang mencium bau harum. Justru hewan yang bernama Mas Joko itu menyebarkan aroma harum meskipun terasa sengak di rongga hidung karena parfum yang disemprotkan ke badan Mas Joko adalah parfum murahan.

“Saya harus naik bis ini sampai ke Sumatera, sampai ke tanah Deli. Sampai ke Medan!”, cetus Inah mempertahankan haknya.

“Baiklah, Mbak bersama Mas Joko diijinkan naik bis ini, tapi tidak duduk di barisan depan. Saya mohon Mbak bersedia pindah ke kursi paling belakang!”

“Baik!. Di manapun saya bersedia duduk, asal diperkenankan berangkat bersama Mas Joko hari ini, Dengan bis ini.”

Dengan perasaan kesal Inah pindah ke kursi paling belakang, padahal ia tahu naik bis jarak jauh duduk di bangku paling belakang sangat melelahkan. Apalagi kalau kondisi jalan raya yang dilalui buruk dan berlobang-lobang. Tapi ia harus berangkat sekarang juga. Harus. Inah sudah tidak sabar untuk segera sampai di Sumatera, sudah tidak sabar untuk menjejakkan kakinya di Tanah Deli, yang dikenal oleh orang Jawa sejak jaman penjajah dulu sebagai kawasan murah rezeki.

Sejak jaman kolonial Belanda, ribuan orang Jawa diangkut persis sapi ke Sumatera untuk dijadikan kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai perkebunan dengan gaji yang amat rendah. Lalu buruh-buruh kontrak itu disuruh berjudi agar kalah lalu meminjam uang agar terlilit hutang kemudian isterinya dijadikan pelacur. Sungguh amat memilukan. Tapi dalam pikiran orang-orang Jawa yang tidak tahu keadaaan sebenarnya, menganggap Tanah Deli adalah tanah harapan, seperti ada tambang emas di sana. Seperti ada taman sorga di sana.

***

Menjelang magrib bis jarak jauh itu mulai meninggalkan terminal. Inah mendapat tempat duduk di sisi kernet di bangku paling belakang. Mas Joko duduk di sisi kanannya. Wajahnya tampak cemberut, apalagi tempat duduk untuknya disamping toilet. Sesaat lagi pasti sepanjang jalan akan tercium bau busuk, apalagi kencing orang-orang Sumatera yang terkenal pemakan jengkol dan petai. Beda dengan orang Jawa yang selalu selektif dalam memilih makanan.

“Jangan sedih kita duduk di belakang,Mas Joko,” Inah berkata dengan mengelus kepala monyet jantan itu, persis seperti mengelus seorang anak yang paling disayangi. Monyet jantan itu seperti amat mengerti apa yang diucapkan sang dalang. Ucapan sang pawing memang selalu difahaminya..

“Yang penting kita harus sampai di Sumatera. Kita akan mengadu nasib. Kita akan mencari tambang emas di sana. Kita akan mencari taman sorga. Mudah-mudahan Gusti Allah membuka rezeki kita berdua. Di Sumatera kita akan membeli rumah dan hidup mapan. Kamu senang dalam perjalanan ini?.”

Mas Joko mengedipkan matanya, seperti memberi jawaban kepada Inah, bahwa ia menyukai perjalanan itu, menuju Sumatera dan sampai di Tanah Deli. Sampai kakinya terjejak di Medan.

“Jangan takut tinggal di Sumatera. Jangan takut kepada orang Batak. Mereka memang bicara kasar dan tampangnya juga seram, tapi adakalanya hatinya sangat baik. Mereka akan jadi saudara kita nanti. Yang penting penampilanmu harus lebih bagus. Aku sayang kamu, Mas Joko.”

Inah memberi ciuman di kepala binatang itu. Kernet bis jarak jauh itu heran, seorang gadis cantik bergincu merah menyala memberi ciuman kepada sang monyet yang duduk di sisinya, persis seperti manusia. Penumpang lain juga heran melihat, ada perempuan yang membawa seekor monyet dan mereka tampak amat akrab. Seperti tidak ada perbedaan antara manusia dan hewan. Mereka seakan senasib sepenanggungan. Mereka tampak saling mendukung dalam hal menghadapi hari depan.

Dan memang demikianlah adanya. Inah adalah gadis ndeso yang amat menggantungkan nasibnya kepada monyet di sisinya. Inah adalah seorang dalang topeng monyet, memukul kendang dan mengiringinyanya dengan lagu-lagu merdu, sementara sang monyet akan menari, akan menarik gerobak atu pergi ke pasar dengan membawa payung dan keranjang berisi sayur. Mas Joko juga pintar membuka surat kabar , persis seperti anggota legislatif yang membaca beriat-berita hangat. Padahal halaman depan surat kabar itu memuat berita tentang anggota legislatif menilep uang milyaran rupiah. Penonton akan terhibur dan anak-anak akan sangat gembira menonton lalu memberikan saweran. Terkadang jumlah saweran itu berjumlah lima puluh ribu perhari, tapi tidak jarang hanya sepuluh ribu. Untuk membeli nasi bersama Mas Joko terkadang sudah lebih dari cukup. Inah benar-benar berbahagia menjadi dalang topeng monyet. Ia benar-benar bahagia hidup berdampingan dengan Mas Joko, sang monyet Ia merasakan hidup yang mapan sebagai pawing monyet.

Sumatera memang menjanjikan dalam hal rezeki, apalagi yang namanya kawasan Tanah Deli. Banyak wong ndeso dari Jawa yang meraih sukses di Tanah Deli, seperti Mas Tarso, pedagang bakso yang kini karyawannya sepuluh orang. Atau seperti Mbakyu Inem yang dulu berdagang jamu gendong, kini sudah jadi pengusaha jamu terkemuka. Begitu juga dengan Mas Gito yang kumisnya lebat itu, kini jadi pengusaha tempe yang sukses. Apalagi Mas Pawiro, yang sekarang punya pabrik meubel. Juga Mas Gatot jadi juragan angkot. Kang Sastro juga sukses sebagai pengusaha warung nasi. .

Pak Kliwon ketika pertama kali menjejakkan kakinya di Tanah Deli membeli sebuh beca dayung. Karena Pak Kliwon amat tekun, becaknya pernah berjumlah selusin, tapi akhirnya bangkrut karena munculnya armada angkot.

Pendatang dari desa-desa di Jawa hanya satu dua yang hancur, itupun karena tidak becus mengurus usahanya. Seperti yang terjadi atas diri Mas Sawon, yang datang ke Tanah Deli membuka warung kecil-kecilan, lalu setelah usaha itu menjadi restoran yang laris, hati Mas Sawon mulai kecantol dengan perempuan cantik yang ternyata menguras hartanya. Masih banyak lagi orang-orang yang awalnya berhasil seperti Ms Sawon, tapi akhirnya hancur karena pola hidup yang salah di rantau orang.

Bis jarak jauh itu sudah amat jauh meninggalkan terminal dan tubuh para penumpang di dalamnya terguncang-guncang karena jalanan yang rusak. Tubuh Inah dan Mas Joko juga terguncang. Inah melihat wajah mahluk di sisinya dan tampak lesu.

“Mas Joko ngantuk?,” tanya Inah penuh kasih sayang.

Binatang yang tampangnya amat mirip dengan manusia itu diam. Inah mengusap kepalanya dengan kasih sayang. Semua penumpang dalam bis itu terheran-heran melihat hubungan yang amat mesra antara seorang wanita cantik dengan seekor monyet jantan. Semua heran melihat seperti ada hubungan batin yang sangat akrab di antara keduanya.

“Mas Joko haus?.” tanya Inah lagi dengan suara lembut.

Monyet jantan itu mengedipkan matanya dua kali. Inah tersenyum dan membuka tas yang dibawanya. Perempuan itu mengeluarkan botol berisi susu lengkap dengan dotnya. Persis seperti seorang ibu yang amat menyayangi puteranya, ia memberi susu kepada Mas Joko yang mengisap dot dan kerongkongannya terasa longgar menikmati susu.

Monyet jantan itu memang diperlakukan seperti manusia oleh Inah yang sengaja membawanya dari desa kelahirannya di kaki gunung di kawasan Jawa Tengah yang baru saja tertimpa bencana tanah longsor dan menewaskn puluhan orang, termasuk ibu Inah, ayahnya dan lelaki yang pernah jadi calon suaminya yang sudah menikah dengan orang lain.. Mas Joko tidak hanya makan pisang atau buah-buahan, tapi juga diberi biskuit dan vitamin. Mas Joko tiap hari juga dimandikan seperti seorang bocah dimandikan ibundanya tercinta, bahkan terkadang mereka mandi bersama,sambil bersenda gurau. Tak perduli terkadang sepasang mata Mas Joko nakal mencuri pandang ke arah anggota tubuh yang ada dibalik kain basahan yang tipis. Monyet jantan itu seperti sangat mengagumi tubuh yang indah milik Inah yang sudah memeliharanya sejak kecil.

“Mas Joko dingin?,” sapa Inah lagi kepada hewan di sisinya. “Mau selimut?”

Monyet itu mengedipkan matanya lagi tanda setuju lalu Inah menyelimutinya dengan kain batik Pekalongan yang sudah buram.

“Tidurlah yang nyenyak dan mimpi indah. Masih lama lagi kita sampai di Tanah Deli. Perjalanan ini memang sangat melelahkan.”

Sudah lebih dua jam bis antar propinsi itu meluncur di jalan raya. Angin terasa berhembus giris, apalagi hujan rintik-rintik sedang turun sepanjang jalan menyebabkan semua penumpang tertidur pulas. Kantuk juga mulai dirasakan oleh Inah yang masih duduk bersama Mas Joko. Bahkan kernet bis itu juga sudah berkali-kali menguap lebar seakan ingin menelan dunia.

Tapi Inah tidak menyadari, bahwa kernet bis itu hanya pura-pura mengantuk agar ia tidak curiga. Diam-diam ada rasa kagum dihati lelaki itu akan keindahan tubuh Inah yang molek dan mulus. Tidak ada secuilpun bekas luka, bahkan tidak ada bekas gigitan nyamuk. Padahal Inah adalah perempuan ndeso yang biasanya berpenyakit kulit, kudis, koreng, panu, kurap dan gatal-gatal.

Tapi akan halhya dengan Inah tidak demikian. Inah memang gadis ndeso, tapi ia selalu merawat dirinya dengan baik. Ia selalu mandi pagi dan sore. Sebagai wanita dari keluarga Jawa, ia selalu mengikuti petunjuk ibundanya. Untuk merawat payu daranya agar tetap montok dan padat, ia selalu membuat ramuan buah pinang dua buah dan sepuluh lembar daun lempuyang serta garam. Ramuan itu dipoleskan di payu daranya merata kecuali putingnya. Iapun selalu makan bunga turi sebagai tambahan sayur.

Itulah sebabnya payu dara Inah tampak padat dan montok. Bahkan seekor monyet yang bernama Mas Jokopun ikut mengagumi bentuk dua bukit di dadanya yang indah, lebih indah dari puncak Gunung Semeru atau Merapi. Itulah sebabnya kernet bis antar propinsi itu amat kagum dan terpesona memandangnya. Apalagi disaat Inah sedang tidur pulas dan tubuhnya terguncang oleh bis yang meluncur di jalan yang rusak. Dua bukit didadanya ikut begerak-gerak dan mengundang berahi sang kernet.

Jantung lelaki itu berdebar kencang, seperti gemuruh sebuah pabrik. Ingin rasanya ia menyentuh puncak dua bukit itu dan membelainya. Ingin rasanya ia mencium bibirnya yang dipolesi lipstik merah menyala, padahal lipstik itu berharga murahan. Ingin rasanya ia memeluk tubuh indah itu puas-puas.

Iblis mulai menyelinap dalam hati lelaki itu . Syetan jahat menyusup dalam darah kernet bis itu. Ketika semua penumpang sudah tidur pulas kecuali sopir , kernet yang digoda iblis itu menggerakkan telapak tangannya di atas mata Inah dan tidak berkedip tandanya Inah sudah tidur pulas. Perlahan sekali ia menyentuh dua bukit di dada perempuan ndeso itu. Betapa amat lembut. Berahi lelaki itu semakin memuncak. Darahnya berdebur-debur. Syetan jahat semakin menggodanya. Lelaki itu makin berani.

Betapa lembut. Betapa indah. Darahnya semakin gemuruh, seperti ombak samudera. Ia ingin berbuat sekali lagi dan sekali lagi. Ia ingin membelainya lagi. Bahkan ia ingin berbuat lebih jauh. Lelaki itu ingin membuka busana yang menutupi tubuh indah itu. Bahkan lebih dari itu. Apalagi semua penumpang sedang tidur lelap dan angin malam terasa amat dingin hingga ke sumsum tulang.

Tapi lelaki kernet bis jarak jauh itu tidak menyadari, bahwa selalu ada kontak batin antara gadis ndeso itu dengan monyet kesayangannya. Mas Joko yang juga tertidur setelah menyedot susu, segera tersentak dari tidurnya ketika kernet berhati jahat itu berbuat yang tidak baik. Monyet itu tidak ingin ibu majikannya yang sekali gus sebagai pelindung dirinya disentuh lelaki. Ia tidak rela Mbak Inah dilecehkan oleh sang kernet bis. Monyet jantan itu sangat marah.

Tanpa disadari oleh kernet bis itu, sang monyet jantan itu sudah terbangun dan langsung melompat lalu menggigit tengkuknya hingga berdarah. Kernet itu menjerit ketakutan. Juga kesakitan. Darah mengucur. Tentu saja seluruh penumpang bis yang sedang tidur nyenyak terbangun. Sopir bispun menghentikan kenderaannya, padahal tempat itu sepi.

“Apa yang terjadi?,” tanya sang sopir menyelidik.

“Monyet ini mengigit tengkukku!” sahut sang kernet.

“Astaga!!!,” semua penumpang berdecap-decap.

“Sejak belum berangkat kondektur sudah mengingatkan agar monyet ini tidak usah ikut dalam bis,” ujar sopir.

“Keselamatan semua penumpang akan terancam. Turunkan saja penumpang itu bersama monyet bawaannya!”, usul salah seorang yang tampaknya berasal dari daerah Minang. Penumpang itu tampak sangat geram dan jijik melihat tampang sang monyet.

“Ya, turunkan saja monyet itu di sini!,” sahut yuang lain.

“Perempuan itu boleh terus ikut, tapi buang monyet itu ke hutan. Lepaskan dia di sini biar lari ke hutan!”

“Buang dia! Lempar dia!. Atau bunuh saja!”

“Turunkan binatang itu!”

“Ya!. Turunkan monyet itu!”

“Lemparkan monyet itu ke dalam parit,biar mampus!”

Inah amat sedih mendengar kata-kata itu. Hatinya perih, batinnya menangis dn jiwanya merintih. Hatinya seperti diiris-iris dengan sembilu. Batinnya seperti ditusuk digores dengan beling tajam.

Sesaat timbul keributan dalam bis itu.. Sebagian besar mengusulkan agar monyet itu diturunkan dan dibuang ke pinggir hutan. Tapi pemilik monyet itu menolak dengan tegas. Dengan hati yang tersayat, pemilik monyet itu menolak..

“Jangan salahkan monyet milik saya. Jangan salahkan Mas Joko. Yang membuat gara-gara adalah abang kernet.”

“Akh, tidak mungkin!. Tidak mungkin!” teriak hampir semua penumpang.

“Bapak mau buktinya?”

“Tentu!. Kami tidak ingin jadi korban lagi!”

“Pandanglah baik-baik wajah abang kernet. Ada lipstik dibibirnya karena ia mencium saya ketika saya tertidur. Bang Joko sangat marah karena ada orang yang berbuat tidak baik terhadap saya.”

Semua mata tertuju kepada wajah abang kernet, memang ada lipstik di bibirnya yang berasal dari bibir Inah yang berwarna merah menyala.

“Hapus lipstik di bibirmu!,” teriak sopir bis. “Kamu yang salah!”

“Kamu yang gatal!,” teriak salah seorang penumpang.

“Kamu yang jahat!”

“Kamu yang kurang ajar!”

“Pantas kamu dapat hadiah!”, sambung yang lain.

Kernet itu tersipu malu. Semua penumpang akhirnya menyadari, bahwa yang jahat adalah kernet bis yang telah mencium Inah ketika tertidur pulas dalam bis jarak jauh itu. Dan bis itu kembali meluncur membelah malam. Suara mesinnya menderu membangunkan burung-burung yang sedang tidur lelap di atas pohon. Sorot lampunya amat terang dan seekor anjing buru-buru berlari menyeberang jalan. Kunang-kunang amat banyak seperti sebuah pesta yang amat meriah di pinggiran hutan kelapa sawit. Hampir semua penumpang bis jarak jauh itu tidur lelap. Leginah juga memejamkan mata. Juga sang monyet jantan di sisinya ikut tidur dengan aman.

Dua hari dua malam terguncang-guncang dalam bis jarak jauh amat melelahkan semua penumpang. Tapi gadis yang dilahirkan hari Jumat Legi itu itu tetap tegar, tetap bersemangat, bahkan tidak tampak kelelahan pada dirinya. Di terminal, penumpang yang pertama kali turun adalah seorang gadis yang menggendong seekor monyet jantan.

“Selamat datang di Sumatera,wahai gadis,” seekor kecoa menyapanya di antara sampah yang menumpuk di terminal bis itu.

“Selamat datang di Tanah Deli. Selamat datang di kota Medan.” semut-semut hitam yang sedang mengusung bangkai seekor capung juga ikut menyapa ramah. Semut adalah binatang yang selalu ramah kepada siapa saja.

“Berhati-hatilah di Sumatera. Berhati-hatilah menjejakkan kaki di sini,” seekor tikus juga ikut menyapa ramah. “Tanah ini ini indah, tapi terkadang warganya teramat jorok. Lihatlah bangsa tikus dan semut yang merayap di tanah yang menjadi korban joroknya kehidupan manusia. Mereka seenaknya kencing di sembarang tempat pada hal tikus, kecoa dan semut ada di sana.”

“Ini Medan,Mbak. Berhati-hatilah menjalani kehidupan ini!,” cicak di dinding juga menyapanya ramah.

“Berhati-hatilah melangkah, wahai gadis cantik. Jangan sampai kakimu tersandung. Jangan sampai tersungkur.”

“Batu kerikil ada di mana-mana dan dapat menjadi rintangan bagi perjalanan hidupmu, wahai gadis.”

Gadis yang menyandang profesi sebagai dalang topeng monyet itu tidak mengerti tegur sapa hewan-hewan kecil itu, padahal tegur sapa mereka banyak mengandung makna yang amat luas. Seenaknya kernet dan sopir-sopir bis kencing di sembarang tempat padahal di sana ada kehidupan mahluk . Itulah tandanya bahwa bumi Sumatera amat jorok, masih lebih bersih lagi di Jawa. Dalam mencari rezeki ,warga Sumatera juga ada kalanya tidak memandang halal dan haram. Semua main sikat. Semua urusan menggunakan uang tunai, itulah Sumut.

****

Sesama orang Jawa memang selalu berbaik hati, selalu saling mengulurkan tangan dan memberi pertolongan. Itulah yang dirasakan Inah ketika kakinya terjejak di terminal, ketika sang pawing topeng monyet itu turun dari bis . Ia tidak perlu menginap di hotel yang taripnya amat mahal. Kang Atmo yang sejak merantau ke Sumatera menjadi pedagang sate sudah menjanjikan untuk menyediakan sebuah kamar untuk Inah meskipun hanya untuk sementara, untuk beberapa malam. Bahkan yang mengimbau kepada gadis kelahiran Jumat Legi itu untuk merantau ke Tanah Deli adalah Kang Atmo. Lelaki bertubuh jangkung dan berkumis lebat itu pula yang mengatakan peluang rezeki di Tanah Deli lebih besar. Di Medan, lebih mudah mengais duit. Apalagi dalang topeng monyet di daerah ini masih sangat sedikit. Pawang monyet yang berjenis perempuan hampir tidak ada. Dalang topeng monyet dari kaum perempuan dan cantik pula pasti disenangi orang di mana-mana.

Inah bersyukur tidak sempat menjadi gelandangan, bahkan tidak sempat tersesat, sebab Kang Atmo bersama isterinya menjemputnya di terminal bis.

“Bagaimana kabar selama dalam perjalanan?,” tanya Kang Atmo.

“Menyenangkan sekali,” sahut gadis itu tersenyum manis. Tentu saja ia harus menyembunyikan apa yang dialami di atas bis, ketika kernet bis berusaha menciumnya, lalu monyet yang dibawanya menggigit kernet yang jahat itu.

“Mas Joko tidak rewel?,” tanya isteri Kang Atmo dan menatap monyet di sisi Inah. Monyet itu tampak baik hati.

“Mas Joko adalah pengawal saya yang setia.”

Mereka tertawa. Keluarga asal Pulau Jawa itu tampak amat akrab dan Inah tidak harus rikuh untuk tinggal di sebuah kamar di rumah Kang Atmo di kawasan Tembung. Keluarga itu prihatin ketika Inah akhirnya bertutur tentang kernet bis yang jahil dan memeluk serta menciumnya ketika bis meluncur di tengah malam. Syukurlah Mas Joko melindunginya dirinya dari pelecehan.

“Tinggallah di sini sebelum mendapatkan tempat tinggal yang layak,” terdengar lagi suara Kang Atmo ramah.

“Terima kasih!.”

“Mengais rezeki di sini susah-susah gampang.”

“Saya sudah membayangkannya.”

“Di sini yang selalu dihadapi adalah sikap kasar.”

“Saya mengerti.”

“Jangan terkejut kalau ada preman minta duit.”

“Saya akan menghadapinya dengan bijak.”

“Pada awalnya kita di Jawa membayangkan , bahwa Tanah Deli adalah sumber duit, bahwa Tanah Deli adalah sorga untuk mengais rezeki, tapi kenyataannya tidak demikian indah.”

“Pahit dan getir akan saya hadapi dengan tabah.”

“Tanah Deli memang tambang emas, tapi bukan untuk manusia-maunsia perantau seperti kita. Tambang emas hanya berlaku untuk pejabat. Tiap pejabat yang hadir di sini membawa satu koper, tetapi keika pergi membawa sepuluh koper.” Panjang lebar keluarga Kang Atmo menuturkan kehidupan di Tanah Deli.

“Saya juga tidak selalu membayangkan bahwa merantau ke Tanah Deli sebagai di sorga. Mimpi saya tidak terlalu indah. Saya hanya berharap dapat hidup sederhana, yang penting tidak sempat menjadi gelandangan.”

“Mulailah kehidupanmu di sini secepatnya,” itulah anjuran isteri Kang Atmo.

“Mudah-mudahan Gusti Allah selalu bersama saya dan Mas Joko,” sahut Inah dan memandang monyet jantan di sisinya serta membelai kepalanya dengan kasih sayang.

Lelaki yang sehar-hari menjadi pedagang sate itu panjang lebar menuturkan tentang keadaan di Sumatera, trutama di kawasan Tanah Deli. Namanya Tanah Deli, tetapi warga yang menghuni kawasan ini paling banyak adalah masyarakat Jawa. Di tempat yang paling terpencilpun pasti ada orang Jawa di sana, apalagi di berbagai perkebunan yang tersebar luas di Sumatera Utara.. Lebih sembilan puluh persen buruh kebun adalah waga Jawa. Istilah Jawa Kontrak masih melekat di bibir warga Sumatera.

Tapi orang Jawa tidak perlu merasa sakit hati mendengar sebutan yang merendahkan martabat suku Jawa. Padahal keturunan Jawa Kontrak sudah banyak yang mapan kehidupannya. Sudah banyak keturunan orang Jawa Kontrak sudah meraih prestasi yang baik dan menduduki jabatan yang baik.

Tidak mengherankan adat budaya Jawa masih amat menonjol di sini. Upacara selametan mitoni masih selalu dilakukan orang dimana-mana bagi wanita yang hamil tujuh bulan.

Pertunjukan kuda lumping selalu tampil dimana-mana dan penontonnya selalu banyak. Juga grup ludruk dan ketoprak masih ada. Kalau ada acara bersih desa, wayang selalu tampil. Seni dan budaya Jawa masih selalu terlihat dimana-mana.

“Usiamu sudah hampir tiga puluh dan cantik, kenapa belum juga menemukan jodoh,Inah?,” Tanya Mbak Sri, istri Kang Atmo.

Sesaat Inah tidak menyahut, hanya menundukkan wajah. Pertanyaan itu membuat gadis yang memiliki nama asli Leginah itu amat sedih dan terkenang masa remajanya di desanya di kaki gunung di Jawa Tengah. Leginah adalah seorang gadis cantik di desanya. Bahkan paling cantik .Ia ibarat bunga mawar yang harumnya semerbak kemana-mana. Banyak lelaki terpesona pada wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang indah. Bahkan kelaki yang sudah punya isreripun ada yang tertarik padanya, tapi Inah tidak pernah memberinya harapan. Inah hanya memberi harapan kepada seorang anak muda dari seberang desanya, bnernama Satrio yang bekerja sebagai carik desa.

Satrio selalu datang menjenguknya dan duduk berjam-jam sambil menikmati wedang manis. Satrio juga selalu mengajaknya jalan-jalan menelusuri sungai yang membelah desanya. Mereka berjalan kaki dengan berpegangan tangan hingga ke hilir sungai. Lelaki desa seberang itu tidak akan membiarkan Inah terpeleset dan terjatuh. Lelaki itu selalu membimbingnya sepanjang jalan. Dan sepanjang jalan pula mereka bicara tentang cinta, tentang kasih sayang dan tentang rencana hari esok dalam sebuah perkawinan yang indah.

Mereka sudah merencanakan andainya menikah, pasti pada pesta itu nanti akan nanggap wayang sebagai hiburan para tetamu. Suara gamelan akan terdengar hingga ke ujung desa. Tamu-tamu sangat banyak.

Tapi sayang, semua itu harus berakhir. Perkawinan bagi Inah dengan lelaki dari desa seberang itu hanya sebuah mimpi indah yang tidak pernah menjadi kenyataan.

“Kamu terlalu memilih jodoh,”: ujar Mbak Sri lagi.

“Tidak!. Saya selalu pasrah dalam hal jodoh”

“Kenapa sampai sekarang belum juga bersuami?”

“Saya pernah dikhianati laki-laki!”

“Kenapa dikhianati?. Bukankah kamu cantik?”

“Dulu pernah ada seorang pemuda mengajak saya menikah. Pemuda itu bernama Satrio dari desa seberang.”

“Lalu Satrio belum sempat melamarmu?”

“Ketika Mas Satrio akan melamar saya, tiba-tiba saja saya jatuh sakit.”

“Lalu sembuh ,bukan?. Kenapa laki-laki itu mundur?”

“Saya sakit cukup parah. Saya terbaring berhari-hari dan tubuh panas serta sering mengigau. Dukun mengatakan, bahwa ada roh halus menempel dalam diri saya. Beberapa dukun tidak mampu menyembuhkan penyakit itu, sampai suatu saat datang seeorang dukun yang datang dari jauh. Dukun itu berkata kepada Mas Satrio, bahwa sebaiknya tidak usah menikah dengan saya karena saya sudah dinodai jin jahat. “

Inah ingat benar dukun itu mengobatinya dengan berbagai ramuan. Entah berapa kali tubuhnya disembur dengan air putih. Yang paling menyedihkan adalah ketika dukun itu membawa cawan putih berisi air. Dukun itu melihat ada bayang-bayang Inah dalam air di cawang putih itu. Dan Inah tidak sendiri, tetapi besama laki-laki lain sedang bermesraan.

Tidak hanya sebatas kemesraan biasa bayangan Inah yang tapak dalam cawan itu, tapi mereka berbuat di luar batas, mereka melakukan hubungan seperti suami isteri. Anehnya kata dukun itu, Inah menikmati kemesraan dan kehangatan bersama seorang lelaki yang merupakan jelmaan roh jahat.

“Lalu Satrio percaya hal itu?”

“Ya, sangat percaya. Padahal hingga saat ini saya tetap masih gadis suci. Demi Gusti Allah, belum ada satupun manusia menyentuh diri saya. Apalagi yang namanya jin. Mana ada jin yang merusak kehormatan seorang gadis.”

“Kamu benar!

“Mas Satrio meninggalkan saya dan menikah dengan gadis lain. Penyakit saya memang sembuh, tapi saya harus kehilangan Mas Satrio. Namun Gusti Allah maha adil, ketika terjadi bencana tanah longsor menimpah desa kita, Mas Satrio tertimpah runtuhan rumahnya dan tertimbun lumpur hingga tewas.”

“Laki-laki itu menerima hukuman Gusti Allah”

Hingga larut malam Inah ngobrol bersama keluarga Kang Atmo, padahal Mas Joko sudah tidur pulas.

***

Suara azan subuh membangunkan Inah dari tidur nyenyak. Memang Inah merasakan suasana yang berbeda Tanah Deli dengan desanya di kaki gunung di Jawa Tengah. Warga Tanah Deli pada umunya adalah muslim yang taat pada agamanya. Lihatlah masjid yang megah ada dimana-mana dan orang-orang yang solat berjamaah selalu memenuhi masjid. Pagi-pagi benar, bersamaan dengan terbitnya fajar suara azan subuh terdengar bersahut-sahutan.

Tidak perduli udara dingin, orang-orang berjalan kaki menuju masjid untuk melaksanakan solat berjamaah. Suara azan adalah panggilan yang harus dipatuhi meskipun terkadang hujan sedang turun. Suara azan membangunkan orang-orang yang sedang tidur lelap.

Begitu juga dengan keadaan di sekitar desa Tembung. Suara azan membangunkan orang-orang untuk solat ke masjid kemudian sesaat kemudian warga menyebar mencari nafkah. Ada yang bekerja sebagai kuli bangunan, ada yang bekerja sebagai sopir angkot,atau penarik beca, ada yang bekerja sebagai buruh bongkar muat di gudang. Yang pekerjaannya sebagai pedagang juga amat banyak.

“Inilah Tanah Deli. Inilah Sumatera. Inilah kota Medan!,” ujarnya dalam hati ketika ia bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah keluar dari kamarnya lalu memandang langit yang masih gelap dan bintang-bintang masih berkilau. Anginpun berhembus giris. Daun-daun di puncak pepohonan bergoyang-goyang.

“Di sini aku akan mengais rezeki. Di sini aku akan hidup bersama Mas Joko,” ujarnya seorang diri. “Mudah-mudahan Gusti Allah membuka pintu rezeki bagiku dan juga bagi Mas Joko. Mudah-mudahan aku dan Mas Joko tidak akan terlantar. Mudah-mudahan aku tidak akan sengsara di sini. Mudah-mudahan kami berdua tidak jadi pengemis.”

Gadis yang berasal dari desa di kaki ganung di Jawa Tengah itu segera menghampiri seekor monyet dan membawanya ke kamar mandi.

“Ayo mandi bersamaku,Mas Joko!,” ujarnya menyapa monyet jantan itu. “Kamu senang mandi bersamaku,bukan?”

Gadis dalang topeng monyet itu sudah menyiapkan sampo, sabun mandi dan handuk. Ia segera mengguyur monyet jantan itu dengan air dan hewan itu tampak menggelinjang bukan karena kedinginan tetapi merasa gembira sebab yang memandikannya adalah seorang gadis cantik.

Jari-jari mungil Leginah memoleskan sabun ke tubuh monyet jantan itu, mulai dari kepala hingga kaki dan ekornya. Ia juga memoleskan sampo ke tubuh hewan itu. Mas Joko amat senang dan hidungnya mencium aroma harum dari sabun mandi dan sampo, padahal bila ia lepas di hutan bebas tidak akan pernah dimandikan manusia, dan tidak pernah mengenal sampo atau sabun mandi.

“Kamu kedinginan, Mas Joko?. Air di Sumatera amat sejuk dan terasa nikmat,” ujar Leginah kepada monyet jantan itu, seperti ia berkata-kata dengan manusia.

“Kita akan kerasan di Sumatera. Kita akan jadi warga Sumatera yang baik. Kita akan mendapatkan rezeki di sini!”

Lama perempuan itu memandikan sang monyet dengan sabar dan penuh kasih sayang serta persahabatan yang amat erat. Semua tubuh monyet itu dibasuh dengan sabun dan sampo, mulai dari jambul, kepala, hingga ke kaki dan di sela-sela kaki. Monyet itu seperti kegelian ketika Inah memoleskan sabun di antara kedua kaki belakang hewan itu. Monyet itu seperti merasakan ada suatu kenikmatan pada belaian tangan Inah.

“Duduklah dengan nyaman dan tenang di sini,Mas Joko!,” ujarnya kepada monyet jantan di sisinya. “Aku akan mandi dulu!”

Perempuan itupun mengguyur tubuhnya sendiri dengan air di depan Mas Joko. Mata sang monyet tidak berkedip memandang tubuh indah di depannya, memandang dengan rasa senang dan gairah. Sebab monyet itu berjenis kelamin jantan. Ia pasti menyenangi keindahan tubuh seorang perempuan, apalagi perempuan itu berwajah cantik dan bentuk tubuhnya indah.

“Jangan memandangku seperti itu,Mas Joko!,” terdengar suara Inah ketika melihat monyet di sisinya memandang amat tajam dan penuh pesona. Inah berkata dengan tersenyum.

Dan monyet itu tetap saja menatap tubuh indah itu amat tajam dan lama.Memandang penuh pesona dan gairah. Sudah lama, Inah memang selalu memandikan monyet kesayangannya. Bahkan tidak jarang mereka mandi bersama.

Seperti layaknya anak manusia, Mas Joko amat dimanjakan oleh gadis asal sebuah desa di lereng gunung di Jawa Tengah itu. Selesai mandi lalu didandani, dibedaki, dan di poleskan parfum. Kasih sayang Inah kepada monyet itu memang terkesan berlebihan. Seperti ada hubungan batin yang amat kental. Inah dan monyet itu tidak hanya bersahabat biasa, tapi lebih dari itu. Hubungan batin di antara keduanya terlalu akrab. Seperti tidak terpisahkan lagi. Seperti ada ikatan batin sehidup semati.

“Mas Joko tampak ganteng dan gagah sekarang!,” Inah bicara dengan hewan kesayangannya. “Andainya Mas Joko adalah seorang manusia, pastilah Mas Joko adalah pemuda yang sangat banyak dikagumi gadis-gadis cantik. Andainya Mas Joko adalah manusia, aku pasti jatuh cinta kepadamu. Pasti kita akan menikah denganmu suatu saat . Pasti Mas Joko jadi suamiku, pasti menjadi tempatku menggantungkan kehidupan,pasti menjadi temanku tidur.”

Pagi itu, Inah menghirup teh manis dan sarapan pagi sepotong ubi goreng kesukaannya. Cukup sepotong singkong goreng dan teh manis, sudah terasa kenyang. Di manapun berada gadis berdarah Jawa tidak akan makan banyak, apalagi pagi hari. Cukup sepotong kue. Itulah sebabnya gadis-gadis berdarah Jawa selalu ramping dan bentuk tubuhnya indah. Inah meskipun berasal dari desa, tapi ia tidak ingin tubuhnya melar, Ia tidak ingin tubuhnya gembrot seperti karung beras. Ia tidak ingin tubuhnya seperti nangka masak. Lihatlah ia tetap ramping dan lincah.

Sayang, ketika masih di desanya dulu Mas Satrio percaya pada omongan sang dukun yang berkata seolah-olah Inah pernah dicabuli oleh jin jahat. Mana ada perempuan baik-baik digauli seperti suami isteri oleh mahluk halus.. Mana pernah terjadi kesucian seorang gadis yang lugu direnggut oleh mahluk halus. Dukun itu mengada-ada. Dukun itu sengaja menyebarkan fitnah yang amat keji. Kalau Mas Satrio membawanya ke dokter di kota, pasti dokter akan mengatakan Leginah masih suci, pasti masih perawan asli. Mas Satrio terlalu picik. Inah benar-benar menyesali kebodoham carik desa itu. Tapi laki-laki itu sudah mati direnggut bencana tanah longsor. Jasad lelaki calon suaminya dulu sudah jadi santapan cacing.

Ketika sedang meneguk teh manis itulah, dengan amat manja monyet kesayangannya tiba-tiba saja naik ke pangkuannya. Mas Joko mengunyah apel merah ketika Inah sedang menikmati sepotong singkong goreng. Padahal bangsa monyet yang hidup bebas di tengah hutan belantara tidak pernah ada yang pernah menikmati apel merah. Monyet itu merasa bahagia di sisi seorang gadis yang selalu penuh perhatian kepadanya. Monyet itu merasa amat senang selalu mendapat perlakuan istimewa. Monyet itu merasa bahagia mendapatkan kasih sayang dan belaian mesra.

Tanpa rasa canggung Inah mengusap kepala monyet itu, seperti membelai rambut seorang lelaki muda.

“Mas Joko sangat manja kepadaku. Duduklah dengan nyaman di pangkuanku. Sebentar lagi kita akan mulai mengais rezeki di rantau ini,” bisik Inah sambil membelai tubuh monyet di pangkuannya. Bahkan tanpa canggung Inah juga mencium kepala Mas Joko dengan perasaan penuh kasih sayang.

“Aku sayang pada Mas Joko. Di manapun kita berada selalu bersama. Rasanya aku tidak dapat hidup tanpa Mas Joko!”, bisiknya lagi. Inah tidak tahu apa yang akan dilakukannya untuk hidupnya bila tidak ada Mas Joko.

Sesaat gadis itu memperhatikan sang monyet yang mengunyah apel merah dengan amat lahap.

“Aku ingin membahagiakan hidupmu,Mas Joko.”, bisik gadis itu lagi. Dan sang monyet seakan mengerti apa yang dikatakan Inah. Binatang itu segera merebahkan kepalanya di dada Inah, persis di atas dua bukit indah di dada gadis itu. Monyet itu merasakan kelembutannya, sebuah kelembutan yang tidak akan ia peroleh pada benda lain. Mas Joko amat senang duduk di pangkuan gadis itu. Ia amat senang merebahkan kepalanya di dada gadis itu. Ia merasa hangat. Ia merasa nyaman. Ia merasa dimanjakan. Ia juga merasa disayangi.

Dan gadis asal Jawa Tengah itu memang menyayanginya, memang memanjakannya. Inah merasa monyet itu seakan adalah kekasihnya. Ia merasa berbahagia Mas Joko selalu ada di sisinya dan bersama-sama mengais rezeki.

“Andainya Mas Joko adalah seorang manusia, pasti Mas Joko sudah menjadi suamiku dan kita hidup berbahagia, tidur dalam satu selimut di malam yang dingin, diatas kasur bersprei indah.”, bisiknya lagi perlahan.

“Hari ini kita akan memulai kehidupan baru di Sumatera,” terdengar lagi suara gadis itu ketika masih membelai tubuh sang monyet yang masih menyandarkan kepalanya di dadanya.

“Tampillah yang bagus,Mas Joko. Biar hati penonton tergugah. Biar kita mendapat rezeki yang lumayan. Kalau rezeki kita lumayan kita akan membeli rumah. Kita akan menetap di sini, kita tidak usah pulang ke Jawa. Untuk apa pulang ke Jawa kalau hidup kita berbahagai di sini?”

Monyet jantan itu masih tetap menyandarkan kepalanya di dada gadis itu. Ia masih menikmati kelembutannya.

***

Suasana amat ramai pasar tradisional Tembung ketika langkah Inah tiba di sana bersama Mas Joko. Para pedagang sibuk menghadapi pembeli. Mobil angkot berderet-deret menanti penumpang yang umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga untuk berbel,anja sayur dan lauk pauk. Sebagian lagi sopir angkot dan penarik beca sedang nongkrong dan menenggak kopi hangat.

Di pasar tradisional itulah pertama kalinya Inah tampil bersama monyet mitra kerjanya. Tangannya yang lentik menabuh kendang dan terdengarlah irama yang khas atraksi topeng monyet. Tidak hanya irama kendang yang terdengar, tapi Inah juga menyanyikan sebuah tembang Jawa yang amat populer untuk menarik perhatian penonton.

Tembang Suwe Ora Jamu memang benar-benar mampu mengumpulkan banyak penonton.

Suwe orang jamu

Jamu godong telo

Suwe ora ketemu

Temu pisan bareng Mas Joko

Baru satu bait lagu itu dilantunkan gadis itu, ibu-ibu yang baru selesai membeli sayur dan ikan, mampir sejenak melihat penampilan seorang perempuan menjadi dalang topeng monyet. Bahkan sopir angkot, penarik beca yang sedang nongkrong di warung segera meninggalkan kopi hangat lalu nonton. Para suami yang sedang berada di atas sepeda motor dan sedang menanti isterinya berbelanja ikut nonton.

Apa lagi para bocah lelaki dan perempuan, segera berlari-lari ingin menyaksikan atraksi topeng monyet yang hampir tidak pernah ada di kawasan Tembung yang letaknya di luar kota itu. Penjual roti yang biasa menjajakan rotinya dengan sepeda keliling kampung, langsung berdiri tidak jauh dari Inah dan Mas Joko yang sesaat lagi akan menggelar atraksi kocak dan menarik.

Sebelum monyet itu menarik gerobak atau bermain sirkus, Inah memberikan kata pengantar singkat.

“Bapak, ibu, dan adik-adik semua. Selamat menyaksikan sebuah atraksi topeng monyet. Kami sengaja datang dari jauh, dari sebuah desa di Jawa Tengah. Pagi ini saya ditemani oleh sahabat saya yang bernama Mas Joko!” Inah menggendong monyet jantan yang sesaat lagi akan menjadi tokoh utama dalam atraksi itu.

“Saya sengaja memberinya nama Mas Joko. Karena dia cerdik seperti manusia. Mas Joko akan menghibur anda semua!”

Kendangpun ditabuh lagi diiringi suara Inah yang melantunkan tembang Jawa “Romo-Romo Ono Maling”. Puluhan penonton terkesima. Tepuk tangan terdengar meriah dan riuh setelah Mas Joko melakukan atraksi menarik gerobak. Sekali lagi terdengar tepuk tangan para ibu-ibu dan sejumlah bocah ketika Mas Joko selesai melakukan atraksi melompati lingkaran. Atraksi goyang Inul juga mendapat sambutan hangat.

Usai semua atraksi, Mas Joko menyodorkan keranjang kecil kepada penonton untuk meminta saweran. Dan saweran yang diterima amat lumayan. Ada seorang ibu rumah tangga yang baru selesai belanja memberikan uang seribuan dua lembar. Sopir angkot juga melemparkan yang ribuan. Penjaja roti keliling juga melontarkan uang. Jumlahnya lumayan, hampir lima puluh ribu.

“Gusti Allah membuka pintu langit dan menurunkan rezeki lumayan bagi kita hari ini.” ujar gadis itu kepada Mas Joko yang berpakaian loreng persis tentara dari pasukan berani mati.

Hari masih pagi, tapi gadis asal Jawa Tengah itu sudah mengantongi hampir lima puluh ribu rupiah. Penampilannya di pasar tradisional itu telah memberinya rahmat dan rezeki yang lumayan. Cukup untuk makan, bahkan berlebih..

Inah tidak menyadari , bahwa tidak jauh darinya, seorang perempuan bertubuh gembrot memperhatikannya sejak tadi dari atas mobil pick up dan di bak belakang penuh belanjaan, seperti mie, daun seledri, tulang sapi dan banyak lagi. Perempuan itu amat kagum pada penampilan sang monyet, seperti di sebuah acara atraksi sirkus. Perempuan gembrot itu juga kagum kepada penampilan Inah yang lincah dan penuh percaya diri, padahal dia datang dari tempat yang jauh, dari Jawa tengah.

Perempuan bertubuh gembrot itu turun dari mobilnya dan langsung menghampiri Inah dan monyet jantan kesayangannya.

“Aku kagum pada penampilanmmu, Mas Joko!,” cetus perempuan bertubuh gembrot itu dan mengusap kepala sang monyet.

“Terima kasih,Bu!,” sahut Inah tersenyum. “Saya membawa Mas Joko dari Jawa kemari.”

“Penampilannya bagus. Di sini tidak pernah ada dalang topeng monyet seorang perempuan.,” ujar perempuan bertubuh gemuk itu. “Saya senang sekali ada perempuab jadi dalang topeng monyet.”

“Mudah-mudahan kehadiran kami di sini tidak sia-sia,”

Perempuan bertubuh gemuk itu mengulurkan selembar uang lima ribuan kepada Mas Joko.

“Terima kasih,Bu!,” Inah menatap perempuan itu amat dalam. “Ibu seperti datang dari Jawa juga”

“Ya,sama denganmu. Ibu meninggalkan desa saya di Solo sepuluh tahun silam”

“Wah sudah cukup lama. Tentu sudah mapan di Sumatera.”

“Begitulah adanya.”

Suasana tampak amat cepat akrab antara Inah sebagai dalang topeng monyet dan perempuan bertubuh gemuk pedagang bakso itu.

“Panggil saja aku Bu Ningsih.”

“Saya senang bertemu dengan Bu Ningsih. Saya senang bertemu sesama perantau dari Jawa.”

“Nasib kita sama. Perjalanan hidup kita sama. Sama-sama merantau di negeri orang, sama-sama mengais rezeki rupiah demi rupiah.”

Perempuan bernama Bu Ningsih itu mengaku sebagai seorang pedagang bakso.

“Pertama kali menginjakkan kaki di sini, ibu sama denganmu dan sama dengan Mas Joko. Tidak punya apa-apa. Ibu membuka warung bakso kecil-kecilan di sebuah rumah sederhana dekat persimpangan. Hari demi hari pembeli semakin banyak, hingga suatu saat tiap hari ratusan pengunjung yang datang silih berganti.

“Rezeki ibu lumayan.”

“Ya,Gusti Allah memberi rezeki yang baik. Hingga ibu mampu membeli rumah, mampu membangun warung bakso yang luas dengan bentuk Joglo, khas Jawa.. Pengunjung semakin banyak. “

“Tentunya punya banyak karyawan.” Inah ingin tahu.

“Ibu membawa 5 orang anak-anak yang menganggur dari kampung, kemudian bertambah tiga lagi.”

“Lumayan juga punya warung bakso dengan delapan karyawan.”

“Pada awalnya memang delapan. Tapi preman ada dimana-mana. Pemuda setempat mengajukan protes dan menuntut agar anak-anak muda di sini diterima jadi karyawan.”

“Lalu ibu menerimanya?”

“Tentu saja. Karena preman-preman setempat mengancam akan membuat kerusuhan bila anak-anak muda pengangguran di sini tidak diterima jadi anggota Yang mengancam akan membakar warung milik ibu juga ada.”

“Waduh sadis betul!,” cetus Mbak Inah..

“Apa boleh buat, ibu terpaksa menerima dua karyawan di bagian dapur dan satu lagi sebagai penjaga malam.”

“Tentu usaha ibu semakin lancar.”

Inah amat tertarik kepada penuturan Bu Ningsih yang berasal dari Solo dan bertubuh gembrot itu.

“Ibu hanya ingin mengingatkan kamu. Hati-hati mencari rezeki di sini.”

“Ada sesuatu ancaman?”

“Ancaman ada dimana-mana. Kita hidup dirantau orang. Kita perantau yang datang dari jauh, dari seberang lautan, dari Pulau Jawa dan harus bekerja keras di sini. Kerja keras itulah yang membuat kita perantau berhasil dalam bidang usaha. Dan keberhasilan itulah yang mengundang masyarakat di sini menjadi iri. Warga asli di sini merasa iri banyak perantau yang sukses dan hidup senang. Kita datang dari jauh dan mampu membangun warung yang bagus sementara warga di sini merasa tetap miskin. Tentu saja mereka miskin karena malas.”

“Lalu mereka berbuat apa?”

“Itulah yang ingin ibu katakan kepsdamu. Kamu masih muda, perjalananmu masih sangat panjang. Mungkin dalam perjalanan mencari rezeki kamu akan bertemu dengan batu cadas, bertemu beling tajam dan kerikil-kerikil yang dapat menjadi perintang.”

“Maksud ibu apa?”

“Warga di sini merasa iri hidup ibu mapan dan pembeli bakso setiap malamnya sampai ratusan orang. Warga di sini, terutama yang hidup miskin tidak senang ada perantau dari Jawa meraih sukses. Diam-diam mereka yang berhati dengki memeras otak bagainama caranya untuk menghancurkan usaha bakso yang sedang berkembang pesat.”

“Apa yang mereka lakukan?” Leginah memperhatian wajah perempuan bertubuh gembrot itu amat dalam.

“Diam-diam masyarakat kawasan ini ada yang berhati dengki dan iri. Mereka memberi sejumlah uang agar dua karyawan yang berasal dari kawasan ini untuk melakukan sesuatu.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Sungguh mengerikan!. Sungguh menjijikkan!”

“Mereka berbuat onar?. Mereka mengancam?”

“Tidak!. Mereka melakukan sesuatu yang amat halus tetapi pengaruhnya sangat besar.”

“Saya tidak mengerti,Bu”

“Mereka memasukkan bangkai tikus sebesar anak kucing ke dalam dandang yang biasa memasak tulang sapi untuk bahan bakso. Anehnya tiba-tiba saja muncul wartawan dan memotret bangkai tikus itu. Sebentar saja warung jadi geger dan heboh. Sebentar saja tersebar isu, bahwa penjual bakso menggunakan daging tikus. Semua jijik, semua enggan untuk makan bakso. Warung jadi sepi dan dijauhi orang. “

“Bukan main. Sungguh keterlaluan!” gadis asal Jawa Tengah itu berdecap-decap.”Tega-teganya mereka melakukan hal sekejam itu.”

“Sulit untuk mengembalikan citra bakso sebagai makanan yang penuh gizi, bersih dan murah. Sampai saat ini masih ada anggapan orang, bahwa bahan bakso bukan daging sapi, tapi daging tikus.”

Sesaat Inah menunduk. Perempuan itu menepuk pundaknya.

“Kamu akan meraih sukses di Sumatera. Kamu akan hidup lumayan. Kamu dan Mas Joko akan dapat mengumpul banyak uang, lalu membeli tanah dan membangun rumah.”

“Amien,” decap Inah.

“Tapi berhati-hatilah. Orang disekitar kita ada kalanya benci dan iri. Mereka tidak suka banyak perantau dari Jawa hidup senang di sini.”

“Saya akan berhati-hati.” itulah janji gadis berusia hampir tiga puluh tahun itu.

“Ada cara mudah untuk meraih uang.” perempuan pedagang bakso itu menepuk pundah Inah karena merasa seperti saudaranya.

“Bagaimana caranya?” Inah menatap wajah perempuan yang baik hati di sisinya.

“Di sini banyak perumahan mewah. Salah atu perumahan mewah itu ada di Setia Budi dan Cemara Asri.”

“Lalu apa hubungannya rumah mewah itu dengan topeng monyet?”

“Di sana banyak warga asing mengontrak rumah. Warga asing itua ada yang datang dari Inggeris, Belanda, Jerman, Prancis, Amerika dan banyak lagi. Mereka bekerja sebagai konsultan perusahaan-perusahaan besar atau wakil dari perusahaan yang menanamkan investasinya di negeri kita. Mereka senang seni budaya tradisional. Mereka tidak senang karaoke. Mereka pasti senang nonton atraksi topeng monyet”.

Sesaat Inah berpikir.

“Cobalah tampil di Setia Budi Indah atau di Perumahan Cemara Asri, yang banyak dihuni warga asing . Mereka pasti akan suka nonton dan memberi saweran dengan mata uang dolar. Kalau sekedar memberi saweran lima atau sepuluh dolar sangat kecil bagi mereka.”

Inah tersenyum. Saran perempuan pedagang bakso itu amat lekat di hatinya

Sudah terbayang di benaknya wajah-wajah kaum bule yang bermukim di Setia Budi Indah dan Cemara Asri nonton atraksi topeng monyetnya. Sudah terbayang wajah-wajah bule dari Prancis, Jerman, Belanda, Inggeris dan Amerika terkagum-kagum menyaksikan penampilan Mas Joko dan mereka melontarkan dolar. Mereka pasti senang mendengar tetabuhan musik yang mengiringi atraksi topeng monyet.

Sepanjang hari itu, setelah tampil di berbagai tempat, di Tembung, Pasar Aksara, Pasar Sukaramai, Perumnas Mandala, Mas Joko berhasil mengumpulkan uang tidak kurang dari seratus ribu rupiah. Inah amat bersyukur kepada Gusti Allah yang telah membukakan pintu langit dan menurunkan rezeki yang lumayan.

Mas Joko mendapat hadiah susu coklat yang amat nikmat rasanya. Mas Joko juga mendapat hadiah ciuman dari Inah. Monyet itu tampak bahagia sekali mendapat hadiah ciuman dan belaian mesra dari majikannya.

“Penampilanmu di hari pertama benar-benar bagus, Mas Joko. Banyak orang terhibur. Banyak orang terkagum-kagum. Terima kasih,Mas Joko. Sekali lagi terima kasih,Mas Joko.” Sekali lagi dn sekali lagi Inah memberi ciuman pada monyet jantan itu. Juga membelai tubuh sang monyet yang tampak bahagia sekali.

Tidak hanya susu coklat yang dinikmati Mas Joko. Inah juga membelikan sabun mandi, sampo dan bedak yang harum semerbak. Bahkan Mas Joko juga mendapat hadiah sepasang baju marinir. Besok di Perumahan Cemara Asri, di depan para bule dari Amerika dan Belanda, Mas Joko akan melakukan atraksi dengan berbusana marinir.

Penampilan pertama di Sumatera memang cukup melelahkan, tapi tidak harus mengeluh. Justru gadis kelahiran Jawa Tengah itu berkali-kali mengucap syukur kepada Gusti Allah yang banyak memberinya rezeki. Lama Inah duduk di kursi dan seenaknya Mas Joko melompat naik ke pangkuannya. Tidak sia-sia ia menjadi dalang topeng monyet. Ia merasa bahagia memiliki profesi sebagai pawang monyet.

“Akh,Mas Joko. Jangan terlalu manja malam ini. Bukankah kita lelah sepanjang hari melakukan pertunjukan?. Istirahatlah sendiri!”

Tangan Inah menurunkan monyet jantan itu ke lantai, tapi sang monyet memang ingin bermanja-manja di depan seorang perempuan cantik yang bibirnya merah. Monyet itu naik lagi ke pangkuan Inah dan seenaknya menyandarkan kepalanya ke dada Inah yang indah dan amat lembut.

***

Gadis berusia hampir tiga puluh itu sengaja memilih hari sabtu pagi untuk mengadakan pertunjukan di kompleks Perumahan Cemara Asri. Sebab pada hari sabtu orang-orang asing yang bekerja sebagai konsultan atau pada perusahaan milik bangsanya hari sabtu adalah hari libur.

Bersama sahabatnya, Mas Joko, gadis itu naik beca motor menuju perumahan mewah itu. Inah tercengang melihat kompleks perumahan yang amat luas. Hampir semua rumah bagus-bagus, besar, megah dan arsitekturnya modern. Pastilah sebuah rumah harganya milyaran rupiah. Tiap rumah ada garasinya yang cukup untuk tiga mobil. Dan di setiap rumah memang tampak mobil mewah. Penghuni rumah-rumah di kawasan itu memang semua orang kaya dan berduit tebal. Tidak satupun manusia yang hidupnya melarat di kawasan itu.

Sebelum memasuki kompleks perumahan itu terlihat sebuah masjid yang bagus dan megah. Halamannya luas dan kaligrafi yang menghiasi dinding masjid itu sangat bagus.

Sebuah vihara yang terletak di tengah kompleks itu jauh lebih megah dari masjid yang ada. Belasan mobil mewah terlihat parkir di halaman rumah ibadah milik umat Budha itu. Kabarnya vihara itu dibangun atas sumbangan para umat Budha dari luar negeri. Tidak sembarang orang bisa bertempat tinggal di pemukiman mewah itu.

Kolam renang juga tampak luas dan bagus. Sarana olehraga juga lengkap di sana. Ada sebuah sport hall yang lengkap dengan berbagai fasilitas olahraga mulai dari bulu tangkis, tennis lapangan, tennis meja, basket dan banyak lagi. Sirkuit untuk balapan mobil go kart juga ada.

Alangkah bahagianya mereka yang tinggal di kawasan mewah ini, pikir Inah di atas beca motor. Mas Joko juga tercengang melihat rumah-rumah mewah yang berdiri megah di atas areal ratusan hektar. Monyet jantan itu juga terkagum-kagum ketika melihat ada danau buatan dan berbagai jenis burung tampak bermain di danau buatan itu sehingga tampak seperti taman burung di tengah kompleks perumahan itu.

Burung-burung itu bermain dan menghirup udara bebas tanpa diusik oleh manusia. Tidak ada manusia yang membawa bedil untuk menembak burung di sana. Tidak da anak-aanak nakal membawa ketapel. Burung-burung itu hidup damai, nyaman dan bebas.

Kelestarian dan ramah lingkungan memang terjaga di kompleks perumahan mewah itu. Pohon-pohon amat banyak hingga kompleks itu tampak hijau dan asri Tidak hanya burung-burung yang hidup damai dan nyaman di kawasan itu, tetapi manusia yang menghuni rumah mewah itu tampak damai dan bahagia. Preman tidak ada disana. Penjagaan keamanan benar-benar ketat. Tidak pernah terjadi pencurian di sana. Tidak ada maling jemuran. Tidak pernah terdengar tv atau kulkas diangkat maling. Sepeda motor tidak pernah hilang. Café dan kedai-kedai tampak rapi. Tidak ada orang jahat atau preman yang meminta uang dengan paksa dengan dalih untuk keamanan.

Sebelum pertunjukan dimulai, gadis asal Jawa Tengah itu itu merapikan rambutnya, merapikan letak topi petnya, juga tali sepatu ketnya, tidak ketinggalan lipstik merah yang melekat di bibirnya. Tidak lupa perempuan itu menyemprotkan parfum ke tu buhnya sendiri dan juga ke tubuh Mas Joko.

Sejenak gadis itu memangku monyet kesayangannya dan membelai bulu kepalanya dan berbisik:

“Hari ini kita berharap meraih rezeki yang lumayan, Mas Joko. Hari ini Mas Joko harus tampil lebih prima. Ingat, kita akan ditonton oleh orang-orang asing. Di sini banyak bule dan mereka harus kagum kepadamu ,Mas Joko. Kita harus berusaha agar bule itu memberikan dolarnya kepada kita.”

Mas Joko mengedipkan sepasang matanya, tandanya ia mengerti apa yang diucapkan oleh Mbak Inah. Tidak hanya membelai-belai bulu monyet jantan itu, Inah juga memberinya ciuman di kening Mas Joko.

Untuk menarik perhatian dan untuk memanggil penonton, Inah memangku Mas Joko dan mulai menabuh kendang serta melantunkan sebuah tembang Jawa Lela Ledung sebuah lagu berirama keroncong yang amat disukai Inah sejak masa bocahnya dulu

Lidahnya memang amat medhok dan benar-benar pas melantunkan lagu itu:

Tak lela,lela lela ledung

Cep meneng aja pijer nangis

Anakku kang ayu rupane

Yen nangis ndak ilang ayune

Tak gadang bisa urip mulya

Dadia wanita utama

Ngluhurke asmane wong tuwa

Dadia pendekaring bangsa

Tak lela,lela,lela ledung

Enggal menenga ya cah ayu

Tak emban slendang batik klawu

Yen nangis mundak gawe bingung

Sebentar saja penonton mulai berdatangan satu demi satu. Dalam waktu sesaat, sudah ada belasan orang yang membentuk lingkaran. Para penonton tidak hanya tertarik pada musik kendang yang ditabuh dengan irama khusus topeng monyet, tapi juga tertarik kepada seekor monyet jantan yang duduk dipangkuan seorang perempuan cantik. Semua heran, ada seekor monyet jantan bermanja-manja dipangkuan seorang perempuan yang belum bersuami.

Beberapa orang bule yang baru saja melakukan olahraga pagi mampir dan amat senang melihat ada seekor monyet jantan duduk dengan amat manja dipangkuan seorang perempuan. Tampak jelas sikap persaudaraan antara monyet dan perempuan itu. Bahkan tampak lebih dari persahabatan biasa. Hanya sepintas pandang orang-orang bule itu mendapatkan kesan ada hubungan batin yang amat kental antara manusia berjenis kelamin perempuan dan seekor monyet jantan.

Dari caranya duduk sang monyet di pangkuan dan dari sikap sang gadis memanjakan monyet jantan itu, terasa ada hubungan batin yang amat erat dan penuh dengan kasih sayang. Sikap itulah yang amat dikagumi oleh para bule yang sempat mampir sejenak. Tidak hanya empat lima orang bule yang mampir dan memperhatikan seorang gadis dan monyet jantan itu amat akrab, tapi dari lantai dua rumah-rumah mewah di kawasan itu, terlihat para bule memandang ke arah atraksi topeng monyet itu. Ada warga Prancis yang terheran-heran melihat begitu akrabnya monyet jantan dan sang gadis. Seperti pasangan suami isteri.. Lalu di sebuah rumah yang terletak di arah barat, seorang perempuan bule berkebangsaan Jerman juga terkagum-kagum.

Tepuk tanganpun meriah ketika atraksi awal dimulai, Mas Joko memerankan seorang perempuan membawa keranjang pergi berbelanja ke pasar. Tepuk tanganpun lebih meriah lagi ketika Mas Joko memerankan seorang drummer menabuh drum.

Orang-orang yang menontonpun memberikan saweran. Uang yang diberikan beda dengan yang diterima oleh Inah ketika melakukan pertunjukan di Tembung atau di Sukaramai. Di kawasan itu saweran yang diberikan terlihat lebih istimewa. Ada yang memberi saweran seribu dan yang memberikan lima ribu juga ada.

Seorang bule asal Belanda yang sudah berumur lima puluh segera menghampiri Inah dan bertanya dalam Bahasa Inggeris.

“How long time have you train this monkey?.”

Tentu saja Inah bingung karena tidak mengerti apa makna kata-kata yang dikatakan sang bule asal Belanda itu. Untunglah ada seorang bocah perempuan berumur dua belas tahun, tapi sudah amat fasih berbahasa Inggeris dan menjadi penerjemah sehingga komunikasi berlangsung amat harmonis antara Inah dengan bule dari benua Eropa itu. Inah amat bersyukur gadis tanggung itu menjadi perantara sehingga Inah dapat memahami apa yang dikehendaki darinya tentang Mas Joko..

“Bapak dari Belanda ini bertanya sudah berapa lama Mbak melatih monyet ini?,”

“Sudah bertahun-tahun. Sudah sangat lama.”

Lalu gadis dua belas tahun itu mennerjemahkan untuk sang bule yang tidak mengerti bahasa Indonesia:

“For many years. In a long time!”

“Who is name?”

“Mas Joko!”

“It is good name.”

“Are You like together with Mas Joko?,” bule itu menatap wajah Inah yang sayu dan memelas.”

“Bule ini bertanya apakah Mbak senang main bersama Mas Joko.”

“I like it verymuch,” gadis itu menerjemahkan ucapan Mbak Inah.

“For me, Mas Joko is my live friend. I love it. I belong to it. We always need,” gadis dua belas tahun itu menerjemahkn ucapan Mbak Inah berikutnya untuk bule itu.

“Very amazing. Flabbergasted.” Sang bule terkagum-kagum.

“It is seldom there is a closed relationship between a monkey and human being” sang bule menyatakan, bahwa amat jarang terjadi hubungan yang amat mesra antara seekor kera dengan seorang manusia.

“It is a fact, we are happy,” ucap gadis dua belas tahun itu menerjemahkan ucapan Inah lagi.

“It is very dififficult to build an inner realationship as You an your love monkey”

Bule itu mengatakan sangat sulit membina hubungan batin seperti Mbak Inah dan monyet kesayangannya.

“Admirably. Very special and we never see in anywhere,” bule itu sangat kagum dan tidak pernah melihat hubungan yang amat mesra antara seekor kera dan seorang gadis dan tidak pernah dilihatnya di negara manapun.

Lelaki asal Belanda itu terkagum-kagum, Inah mengaku sejujurnya, bahwa monyet itu sebagai sahabat yang bernama Mas Joko. Masih ada empat orang bule lagi yang ikut menonton atraksi topeng monyet itu. Semua ikut mendengar dialog sang bule asal Balanda dengan Inah selaku dalang topeng monyet.

Bule itu sangat banyak bertanya tentang Inah dan karirnya sebagai dalang topeng monyet. Juga tentang asal usulnya, tentang saudaranya, tentang suka dukanya dan juga tentang pengalamannya. Syukurlah gadis dua belas tahun itu yang menerjemahkan semua dialog itu.

“Sangat mengagumkan sekali!” cetus bule lainnya yang terkagum-kagum.. Dan seorang bule asal Jerman juga ikut bicara:

“Anda dan Mas Joko memang tampak amat mesra dan akrab.” Itulah komentar terakhir para bule itu yang diterjemahkan gadis dua belas tahun itu.

Perempuan bule yang semula menyaksikan petunjukan topeng monyet itu dari lantai dua rumahnya, tiba-tiba turun dan menghampiri Inah Perempuan bule itu juga ikut kagum..

Orang-orang asal Eropa itu tidak hanya berdialog dengan Inah, tapi juga membelai kepala Mas Joko sebagai tanda simpati. Bahkan mereka sengaja memotret Inah dan Mas Joko dalam berbagai pose. Juga ketika Mas Joko duduk di pangkuan Inah atau ketika Inah memberikan ciuman kepada Mas Joko.

Inah amat bersyukur kepada Gusti Allah karena orang-orang bule itu memberinya saweran dalam bentuk mata uang dolar. Ada yang memberinya 5 dolar, ada yang memberikan 10 dolar, bahkan yang memberi 15 dolar juga ada.

Syukurlah ada seorang bocah perempuan berumur dua belas tahun yang amat fasih berbahasa Inggeris. Dalam usianya yang masih bocah itu, dia sudah dapat berdialog dalam bahasa asing dan menjadi penerjemah yang baik.

“Nama saya Azizah, masih duduk di es-de kelas enam. Saya sudah berkunjung ke Jerman, Prancis, Italia dan Belanda!,” ujar bocah itu ketika Inah mengajaknya ngobrol.

“Hebat betul. Dalam rangka apa ke negeri orang yang jauh itu?” tanya Inah ingin tahu.

“Saya gemar menari, terutama tari Melayu.” sahut gadis dua belas tahun itu amat polos.

“Ananda keturunan Melayu?”

“Ya, saya orang Melayu. Ayah dan bunda saya juga penari. Sejak masih kecil ayah bunda saya sudah mengajar saya menari dan berbahasa Inggeris, hingga saya selalu terpilih menjadi duta seni untuk misi kesenian daerah ini ke berbagai negara di Eropa.”

“Hebat , anandaAzizah!”

“Semua itu adalah Rahmat Allah dan saya sangat mensyukurinya.”

“Orang bule senang tari serimpi?”

“Bukan tari serimpi. Tari serimpi bukanlah seni budaya Melayu, tapi dari Pulau Jawa. Saya membawakan tarian Serampang Dua Belas dan Tanjung Katung.”

“Ananda benar-benar hebat!”, cetus Inah penuh rasa kagum. Inah tahu, bahwa suku Melayu yang mendiami pesisir Sumatera, Malaysia, Singapura, Kalimantan, Brunei dan Thailand Selatgan memang memiliki seni budaya yang amat kaya dan indah. Lagu-lagunya lembut. Apalagi tariannya, jari tangannya yang lentik meliuk-liuk bagaikan daun nyiur di pantai dibelai angin laut. Gadis cilik itu masih sempat berkata tentang Jati diri Melayu, bahwa Melayu adatnya, Melayu bahasanya dan Islam agamanya.

“Kalau demikian, semua orang Melayu adalah muslim,” cetus Inah.

“Benar sekali. Sama dengan di Betawi. Nama-nama anak juga selalu Islami, tidak ada yang bernama Jhon, Dedy, Christine, Diana, Romy, Bella dan Walter. Nama-nama anak Melayu selalu indentik dengan Islam, seperti nama saya Azizah, Maimunah, Zainab, Yusuf, Abdullah, Zamzami, Rosyid, Zainuddin, Komariah, dan Syaiful Jihad.”

“Bagus sekali,” cetus Inah kagum.

“Boleh saya ikut menghitung uang pemberian bule-bule itu?,” tanya bocah perempuan itu memandang hasil saweran yang terkumpul di keranjang kecil. “Tampaknya uang itu berupa mata uang asing.”

Sesaat Inah memperhatikan uang itu.

“Uang itu adalah dolar,” cetus gadis cilik bernama Azizah

“Silahkan ananda Azizah menghitungnya.”

Inah memberikan hasil sawerannya. Sesaat gadis cilik itu menghitung lalu berkata:

“Rupiah delapan belas ribu dan sembilan puluh lima dolar. Artinya lebih dari satu rupiah. Cukup banyak.”

“Berapa?,” Inah tidak percaya

“Lebih satu juta rupiah!”

.”Lebih satu juta!. Syukur pada-Mu Gusti Allah Yang Maha Agung,” cetus Inah dan mencium uang itu lalu ia mencium tanah sebagai tanda bersyukur.

“Ini untukmu ananda yang pintar,” Inah mengulurkan sepuluh dolar.

“Terima kasih. Semua itu rezeki Mbak dan Mas Joko. Saya senang pada Mas Joko. Andainya dia manusia pasti adalah laki-laki yang gagah.”

Gadis bernama asli Leginah dan berasal dari desa itu bersiap-siap untuk pulang. Ia memasukkan uang hasil sawerannya di balik behanya, di dadanya yang mulus dan berbukit indah. Gadis kecil itu memperhatikan.

“Mbak mau pulang?”

“Belum!”

“Mau kemana lagi?”

“Mau tampil di tempat lain. Mau mencari tambahan rezeki buat hari esok bersama Mas Joko.”

“Mudah-mudahan mendapatkan rezeki yang lumayan.”

“Amien!”

“Hati-hati di Jalan,” gadis cilik itu memberi peringatan.

“Apakah kawasan ini tidak aman?,” Inah menatap gadis berdarah Melayu itu.

“Tempat ini sangat aman karena banyak satpam. Hampir tidak pernah terjadi pencurian selama bertahun-tahun. Semua penghuni rumah di sini dapat tidur nyenyak. Tidak pernah kejadian apapun. Tapi di luar sana selalu terjadi hal-hal yang tidak baik.”

“Selalu terjadi perampokan?”

“Ya!”

“Selalu ada pencurian?”

“Ya!”

“Penodongan?”

“Penodongan juga sering.”

“Perkosaan juga pernah terjadi?”

“Pernah!”

“Kalau begitu saya harus berhati-hati.”

“Tiap orang harus berhati-hati dimanapun berada.”

“Banyak pemuda nakal di luar sana?”

“Di mana-mana kalau namanya perkampungan pemuda nakal selalu ada.”

“Preman banyak?”

“Ya!. Tapi jangan katakan preman itu putera asli daerah ini. Jangan katakan preman itu adalah putera Melayu. Sebab anak-anak Melayu sejak kecil sudah dididik di bidang agama, untuk selalu berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Anak-anak Melayu sejak kecil sudah dididik oleh orang tuanya untuk terbuka kepada tamu dan bersikap ramah.”

“Hebat kamu ananda!,” ada rasa kagum di hati Inah terhadap gadis dua belas tahun itu, masih kanak-kanak tetapi pintar bicara dan pengetahuannya tentang kesukuannya amat luas. Anak Melayu memang selalu begitu. Orang Melayu mengutamakan pendidikan dan ilmu. Orang Melayu mengutamakan budi dan bahasa. Orang Melayu sangat mementingkan penegakan hukum untuk keamanan,kenyamanan hidup dan kemakmuran bermasyarakat. Musyawarah dan mufakat adalah sendi kehidupan sosial orang Melayu.

“Orang-orang Melayu tidak akan berlaku kasar terhadap siapapun. Orang Melayu hanya melawan kalau dalam keadaan terdesak.” Ucap gadis dua belas tahun itu polos.

“Terima kasih ,ananda”

“Setiap orang Melayu selalu memiliki sikap sopan dan jujur. Kalaupun mereka berdagang, mereka lebih jujur dari bangsa-bangsa lain. Itulah sendi kehidupan dan jati diri orang Melayu.”

“Ananda benar-benar anak hebat.” , cetus Inah penuh rasa kagum. Inah masih sempat melirik Mas Joko yang termangu mendengar ungkapan gadis dua belas tahun yang amat cerdik itu. Sang monyet seperti sangat memahami apa yang dikatakan gadis dua belas tahun yang berdarah etnis Melayu itu.

“Seperti halnya orang-orang Jawa yang memiliki budaya sangat tinggi. Orang-orang berdarah Melayu juga begitu. Setiap orang Melayu selalu mengutamakan budi bahasa yang menunjukkan sopan santun dan tingginya adat istiadat Melayu. Dengarlah dimana saja, orang Melayu selalu berkata lembut, apalagi terhadap orang yang lebih tua. Orang Melayu tidak boleh bicara dengan menunjuk-nunjuk muka seseorang. Orang Melayu tidak boleh menyentuh kepala orang lain, apalagi kalau usianya lebih tua.”

“Terima kasih sekali lagi ananda. Mbak sangat ingin bertemu denganmu dan kita saling bercerita panjang lebar tentang sifat orang Jawa dan Melayu.”

“Datanglah ke rumah saya. Pintu rumah saya selalu terbuka untuk siapa saja.”

Rasanya Inah mendapatkan bekal dari gadis cilik itu. Ia banyak mengetahui tentang orang Melayu. Padahal ketika belum berangkat ke Sumatera, Inah selalu mendenar dari orang banyak, bahwa warga di Sumatera selalu kasar dan tidak bersahabat. Sekarang ia menyadari, bahwa orang Melayu selalu baik , ramah, suka bersaluturrahim dan terbuka serta selalu tersenyum kepada pendatang.

Inah tersenyum dan gadis itu melangkah pergi. Berkali-kali gadis asal desa itu bersyukur. Berkali-kali ia sujud dan mencium tanah. Tuhan benar-benar membukakan pintu langit kepadanya dan menurunkan rezeki yang lumayan. Tidak hanya rezeki untuknya sendiri, tapi rezeki bersama Mas Joko, sang monyet.

***

Bahkan ketika tiba di rumah Kang Atmo, gadis yang berusia hampir tiga puluh itu masih mengucap syukur. Ketika mandi , Inah bernyanyi kecil sebagai tanda kegembiraan dan kebahagiaannya.

E ,mbok ya mesem, mrengut pedahe apa

E,mbok ya ngguyu, susah pedahe apa

Panjalukku, dik, tetepa ing janji

Aja ewa ,aja tansah cuwa

Nadyan aku uga tan selak ing janji

E, mesema, tansah tak enteni

Yo bareng angudi luhuring kagunan

Watone tumemen mesti kasembadan

Lagu itu adalah lagu dolanan ketika Mbak Inah masih bocah di desanya dulu, tapi sampai sekarang, sampai usianya hampir tiga puluh, sampai ia menjadi dalang topeng monyet dan menyeberang ke Sumatera , ia tetap sering melantunkan lagu itu.

“Tanah Deli memang benar-benar penuh mukzijat, Mas Joko. Siapa yang dapat mencari duit sejuta dalam sehari?. Tuhan mengasihi kita berdua. Tuhan menurunkan rahmat-Nya kepadaku dan kepada Mas Joko. Semua ini karena peran Mas Joko,:” ujarnya kerika ia mengguyur tubuhnya dengan air. Inah tidak sadar, Mas Joko memperhatikan semua tubuhnya yang indah di balik kain basahan yang tipis. Monyet itu mengagumi betapa indah dan moleknya tubuh gadis itu.

“Jangan memandungku begitu,Mas Joko. Aku jadi malu,” cetusnya dan menutup tubuhnya dengan rapi.

Inah bergegas mengguyur tubuhnya, setelah memolesinya dengan sabun mandi dan sampo di rambutnya. Ia tidak ingin tatapan mata monyet jantan itu semakin dalam. Ia tidak ingin melihat Mas Joko mendekat dan mendekapnya. Ia buru-buru menyeka tubuhnya dengan handuk lalu mengenakan daster dan membedaki wajahnya. Aroma harum semerbak di ruangan itu seperti memanggil monyet jantan itu mendekat lalu dengan perlahan naik dan duduk di pangkuannya.

“Kamu terlalu manja padaku,Mas Joko. Tapi boleh-boleh saja, karena Mas Joko sudah berhasil tampil dengan baik dan menggugah hati para bule sehingga kita mendapatkan rezeki nomplok.” bisik Inah di telinga monyet jantan yang duduk di pangkuannya. Tidak hanya itu, sebagai ungkapan kegembiraan karena mendapatkan rezeki yang lumayan, Inah memberikan ciuman di kening monyet itu. Mas Joko amat senang dan ingin sekali lagi dan sekali lagi Mbak Inah menciumnya.

Sesaat gadis asal Jawa Tengah itu termenung dan terbayang di pelupuk matanya kehidupan di desanya yang amat sulit. Untuk mencari sesuap nasi saja teramat susah. Karena itulah banyak warga desanya merantau jauh ke kota-kota besar seperti ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta. Padahal kehidupan di kota-kota besar itu penuh dengan persaingan yang amat ketat dan kasar. Banyak warga desa yang terlantar dan menjadi gelandangan. Banyak pendatang dari desa tidur di kolong jembatan dan menjadi pengemis atau pemulung. Masih terbilang lumayan kalau di kota besar mereka jadi buruh bangunan dan tinggal di rumah bedengan di pinggir kali.

Leginah terkenang di masa kanak-kanak yang indah saat bermain bersama anak-anak desa sebayanya. Ia ingat benar ayah bundanya selalu memberi nasihat agar selalu menggunakn tangan kanan pada waktu memberi atau menerima sesuatu. Tangan kiri hanya diperkenankan untuk hal-hal yang sangat pribadi, seperti membasuh kotoran. Alangkah tingginya adat istiadat suku Jawa.

Jangan katakan anak-anak desa tidak kreatif. Kalau sudah berkumpul beberapa bocah, mereka membuat mainan sendiri, seperti membuat wayang dari batang padi yang sudah dipanen, membuat layang-layang atau membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk dan disambung dengan batang lidi. Dolanan lare-lare selalu ada di mana-mana di Jawa bila beberapa anak sudah berkumpul. Permainan yang lebih mengasyikkan adalah main Nini Towok, atau boneka yang dapat bergerak sendiri. Nini Towok adalah permainan tradisional Jawa, yakni boneka yang kepalanya dari tempurung kelapa serta diberi selendang . Nini Towok adalah lambang kebaikan nenek tua yang turun dari langit. Inah ingat benar ia pintar membuat mainan sendiri dengan menjalin biji-biji sawo dan dirangkai sehingga seperti untaian mutiara.

Inah juga selalu ingat ia nonton ludruk bersama kawan-kawan sebayanya. Ia juga senang nonton kesenian Jawa yang bernama Kuda Kepang, padahal ia pernah ketakutan ketika dikejar-kejar sang pemain kuda lumping itu karena ia memakai baju merah. Nonton pertunjukan kuda kepang memang sangat dilarang memakai pakaian warna merah.

Di desanya, ketika ia menginjjak usia remaja, Leginah juga pernah belajar menari Srimpi. Alangkah menyenangkan masa kanak-kanak dan masa remaja. Nonton wayang orang memang paling disenangi.Inah, juga senang mendengar tetabuhan seperti saron, kenong,kethuk, kempul dan kendang. Tetabuhan itu biasanya ditabuh orang untuk mengiringi pertunjukan topeng. Sampai langkahnya terbawa ke Sumatera, gadis itu masih tetap ingat kesenian Jawa yang disebut Genjirangan yang dimainkan oleh empat orang remaja putera dan puteri. . Ayah bundanya biasanya tidak melarang kalau Inah mau nonton pertujukan ronggeng yang selalu diadakan di balai desa, tapi dengan iringan pesan harus berhati-hati dan pulang tidak terlalu larut malam.

Sekarang ia hanya ditemani Mas Joko, sang monyet jantan yang selalu menyertainya siang dan malam. Sekarangpun Mas Joko ada dipangkuannya dan bermanja-manja pada dirinya dengan menyandarkan kepalanya di dada Inah yang lembut dan indah.

Sekarang gadis itu sudah meninggalkan desanya teramat jauh, hingga menyeberang ke Sumatera. Sekarang ayah bundanya sudah tidak ada lagi, semua sudah meninggal akibat bencana tanah longsor yang melanda beberapa desa lainnya.

Sekarang, setelah ia menjejakkan kakinya di Sumatera, setelah beberapa bulan mengadakan pertujukan topeng monyet, ada kerinduan pada desa kelahirannya yang amat jauh.

“Kadang-kadang ada kerinduan di hatiku kepada kampung halaman di Jawa,”: bisik Inah di telinga Mas Joko.

Monyet itu menatap wajah Mbak Inah amat dalam, seakan-akan melarang Mbak Inah untuk bicara seperti itu. Mas Joko tidka ingin Mbak Inah rindu kepada kampung halaman, apalagi untuk pulang ke desanya. Monyet itu ingin mereka berdua membulatkan tekad untuk hidup mapan di Sumatera. Untuk tidak kembali ke desanya di Jawa Tengah yang baru saja dilanda bencana tanah longsor dan merenggut banyak nyawa..

Mas Joko seolah-olah ingin berkata, bahwa kehidupan di Medan sucah cukup baik. Bukankah baru beberapa hari tampil di depan khalayak penghasilannya sudah ratusan ribu rupiah?. Mungkin pada hari-hari mendatang keadaan akan lebih baik. Tuhan sudah membuka pintu langit dan menurunkan rezeki yang lumayan. Lihatlah tampil di depan perumahan mewah, di depan bule dari Eropa yang bekerja sebagai konsultan, saweran yang didapat jauh dari lumayan. Lebih sejuta.

Monyet putih itu mengedipkan matanya beberapa kali seolah olah berkata kepada Inah:

“Tepiskan jauh-jauh kerinduan kepada kampung halaman. Tetaplah di sini, tetaplah di Sumatera. Aku berbahagia di sini. Aku senang bersama Mbak Inah di Sumatera. Kita tetap bersama dalam suka dan duka. Aku akan tetap menyertaimu. Aku akan melindungi dirimu. Aku tidak ingin ada orang lain yang mengusikmu,Mbak Inah.Tidak seorangpun yang boleh melecehkan dirimu! Aku akan selalu menjaga dirimu!”

Monyet jantan itu merebahkan kepalanya di dada Inah biar gadis itu merasakan dengus nafasnya, biar Mbak Inah merasakan detak-detak jantungnya, biar Mbak Inah merasakan, bahwa monyet itu menyenangi dirinya. Monyet itu merasakan hidupnya yang nyaman, damai dan penuh kebahagiaan di sisi seorang gadis bernama Leginah yang selama ini amat memanjakan dirinya.

Inah membiarkan monyet itu bergerak dan berusaha melingkarkan dua kaki depannya untuk memeluk tubuh Inah.

“Kamu terlalu manja kepadaku, Mas Joko. Andainya kamu adalah seorang manusia, pasti kita berpelukan lama sekali. Andainya kamu adalah seorang manusia sudah pasti akan kuajak ke atas tempat tidur dan menikmati kehangatan dan kemesraan.

Ah,Mas Joko. Meskipun kamu hanya seekor monyet, aku selalu menyayangimu, Aku selalu membutuhkan dirimu. Berbahagialah di sisiku, Aku selalu menyebut namamu. Aku selalu membayangkan , bahwa dirimu adalah seorang manusia yang gagah dan perkasa.”

“Tidurlah dan mimpi yang indah. Besok kita tampil lagi di tempat lain dan mudah-mudahan dimanapun kita tampil rezeki selalu ada. Kita akan hidup layak di sini.”, bisik Inah dan sekali lagi mencium kening sang monyet jantan yang selalu dimanjakannya..

“Selamat malam,Mas Joko. Aku sudah ngantuk dan ingin tidur.”

Di luar teramat sepi dan gelap. Langit biru dihiasi berjuta bintang yang berkelap-kelip. Gadis itun tidur lelap dan membiarkan Mas Joko tetap berada di pangkuannya.

***

Persahabatan yang amat akrab antara seorang gadis cantik dengan seekor monyet jantan yang diberi nama Mas Joko menyebabkan masyarakat awam terheran-heran. Tidak hanya seperti persahabatan biasa, tapi lebih dari itu, lebih dari sekedar persaudaraaan. Ada hubungan batin yang amat mesra. Ada simpul tali yang mengikat batin kedua mahluk Tuhan itu sangat erat.

Apa lagi Inah tidak hanya sebagai dalang topeng monyet yang selalu mengadakan atraksi pertunjukan keliling kampung, tapi juga pintar mengobati orang sakit dan meracik ramuan tradisional. Inah dikenal tidak hanya sebagai pawing monyet. Inah atau nama lengkapnya Leginah, memang sejak kecil dididik ayah bundanya amat kental dengan kebudayaan Jawa. Ia tahu masyarakat Jawa selalu memiliki sifat Rumangsan. Ia tahu masyarakat Jawa tidak menyukai Aja Dumeh. Manusia Jawa harus memiliki sifat Tepa Slira . Orang Jawa kalau mau selamat dan mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat harus memiliki sifat Mawas Diri serta berbudi luhur. Juga sifat-sifat Kemanungsan harus dimiliki orang yang berdarah Jawa.

Meskipun Inah adalah seorang gadis, meskipun dia hanyalah seorang perempuan, tapi meskipun sedikit, ia tahu lakon-lakon pewayangan. Ia tahu lakon Bratayudha dan cerita tentang Sinta serta Sri Rama. Ia tahu siapa Hanoman. Iapun tahu tokoh Arjuna yang gagah dan banyak dicintai wanita-wanita cantik. Iapun tahu tentang tokoh Gatot Kaca yang dapat terbang bebas dan melayang tinggi di langit.

Dari ayah bundanya pula gadis yang dikenal orang sebagai pawang monyet itu tahu apa yang baik dilakukan dalam bulan-bulan tertentu. Seperti halnya bulan muharram, adalah bulan yang baik bagi umat manusia untuk menyebar benih padi, menanam tumbuhan, seperti kentang, ubi serta buah-buhan. Dalam bulan Muharram pula sangat baik untuk mencari sumber air, seperti menggali sumur. Di bulan Rabiulawal, sangat baik untuk menyimpan padi di lumbung, pergi berburu atau memberantas hama tanaman maupun mengusir penyakit.

Karena prilakunya, karena pengatahuannya tentang kebudayaan Jawa, oleh warga sekampungnya, bahkan hingga ke desa seberang , Inah dianggap seperti seorang dukun. Itulah sebabnya ketika seorang wanita hamil meminta bantuannya, apa yang harus dilakukan agar ketika melahirkan tidak mengalami kesulitan. Dengan mantera yang dimiliknya Inah menganjurkan agar wanita hamil itu setiap hari senin dan kamis, membuat ramuan daun sinom, daun dadap, daun jambu klutuk, daun meniran, daun sembukan, semugiring, temu ireng ditumbuk lalu disedu dengan air panas kemudian diberi peresan jeruk nipis. Ramuan itu lalu diminum.

Akhirnya perempuan hamil itu amat mudah melahirkan meskipun hanya dengan bantuan dukun kampung. Sejak itulah makin dikenal nama Leginah, sang dalang topeng monyet. Inah, sang pawang monyet makin sering namanya disebut orang banyak. Ia dikenal sebagai dukun bertangan dingin. Ia sering dipanggil untuk mengobati orang sakit. Iapun dianggap sebagai parnormal. Ia dianggap memiliki tenaga gaib. Inah dianggap mempunyai kekuatan majik untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Padahal cara mengobati orang sakit itu diperolehnya dari buku primbon Jawa yang diberikan mendiang ibunya dan kini benda itu sudah kumal dan hampir tidak terbaca lagi.

Itulah sebabnya seorang ibu berumur lima puluh tahun yang menderita darah tinggi, Inah juga diminta bantuannya untuk mengobati. Leginah hanya memberi ramuan daun seledri kemudian daun kaca piring. Juga diberikan buah mengkudu atau pace yang diparut dan airnya diminum. Alhamdulillah sang ibu yang sudah menderita stroke dapat sembuh total. Begitu juga ketika seorang lelaki dari desa seberang menderita kencing batu, Inah memberinya ramuan kejibeling dan daun tapak dara.

Ketika senja hari Inah baru saja pulang dari melakukan pertunjukan di Denai, tidak kurang dari 4 orang sudah menunggunya dan salah seorang dari mereka isterinya ternyata baru saja digigit ular ketika membuang sampah di belakang rumahnya.

“Tolong kami,Mbak. Saya tidak ingin isteri saya mati karena bisa ular!”, ujar tamunya memelas.

“Mintalah pertolongan kepada Tuhan!”

“Kami sudah berdoa”

“Sebaiknya berobat ke Puskesmas.”

“Mana ada puskesmas yang buka di senja hari seperti ini. Hanya Mbak yang dapat membantu kami.” Sang tamu memelas.

Inah tidak dapat mengelak, meskipun ia merasa lelah keluar masuk kampung mengadakan pertunjukan topeng monyet, tapi hatinya tergugah untuk memberi pertolongan kepada orang lain yang sedang menderita. Inah segera mencari batang pisang dan memotong bonggolnya, lalu ditumbuk dan diperas kemudian ampasnya ditempelkan pada kaki yang digigit ular. Bantuan yang dilakukan Inah memang benar-benar ampuh. Perempuan malang yang digigit ular itu ternyata tertolong, nyawanya tidak sempat direnggut ular berbisa. Perempuan yang baru sembuh dari bisa ular itu tidak memberinya uang, tapi memberi seekor kambing betina dewasa. Harganya pasti ratusan ribu. Inah menolak, tapi perempuan itu memaksakan kehendaknya agar Inah menerima pemberian kambing itu. Gadis pawang monyet itu amat bersyukur. Kambing itu dititipkan kepada orang lain dengan sistem bagi hasil.

Sejak itu, ia semakin dikenal sebagai dukun yang bertangan dingin. Namanya dikenal hingga ke desa seberang. Inah tidak hanya dikenal sebagai pawang monyet, tapi juga sebagai dukun. Rezeki Inah semakin lumayan. Tidak hanya mendapatkan uang dari saweran hasil pertunjukan topeng monyet, tapi juga dari membuat dan meracik ramuan tradisional ternyata mendatangkan rezeki yang lumayan. Bila ada seorang pawang monyet yang nasibnya paling baik, itu Mbak Inah.

Seorang penderita maag atau tukak lambung yang sudah hampir mendekati kematianpun dapat ditolong perempuan asal Jawa Tengah itu, padahal yang dilakukan hanya memberikan bawang putih jantan. Gadis itu amat bersyukur berangkat dari desa kelahirannya bersama Mas Joko dan tidak lupa membawa sebuah buku yang amat bermanfat baginya meskipun buku itu sudah amat kumuh dn kumal. Bahkan huruf-huruf pada buku itu tidak jelas lagi untuk dibaca. Dan buku yang amat bermanfaat itu adalah sebuah buku primbon Jawa.

Dalam primbon itu terbaca nasib seseorang berdasar weton atau hari kelahirannya. Juga dari buku primbon itu ke arah mana seorang umat manusia untuk mencari rezeki yang lumayan menurut wetonnya. Juga dalam hal mendirikan rumah, boyongan atau pindah rumah, memilih hari yang baik untuk pernikahan dan puluhan jenis ramuan untuk mengobati orang sakit. Primbon itu amat bermanfaat tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk masyarakat banyak.

Tentu saja sebagai balas budi, Inah mendapat hadiah sebentuk cincin emas dua gram yang diberikan oleh penderita yang sudah sembuh. . Nama Inah makin sering disebut-disebut orang dimana-mana, dipasar tradisional, diatas bis, bahkan di pinggiran sungai. Ketika ibu-ibu sedang arisan nama Inah juga selalu disebut-sebut sebagai dukun bertangan dingin. Beruntunglah seorang perempuan yang bernama Leginah, dilahirkan sebagai pawang monyet dan dianggap masyarakat sebagai orang pintar bertangan dingin. Namnya dari hari ke hari semakin melambung tinggi.

Penarik beca dan sopir angkot yang sedang nongkrong di warung kopi juga selalu membicarakan dirinya. Itulah sebabnya rumah tempat tinggalnya selalu dikunjungi orang untuk berobat secara tradisional. Bahkan ada orang yang mengganggp bahwa Inah adalah seorang paranormal, yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan meramal nasib. Inah dianggap punya prewengan.

Rezekinya di Sumatera memang benar-benar lumayan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, perempuan muda asal dari sebuah desa di Jawa Tengah itu sudah mampu membeli sebuah rumah meskipun rumah sederhana di kawasan Bandar Setia, di Kabupaten Deli Serdang. Kawasan itu sudah amat ramai sekarang, angkotpun sudah membuka jalur ke arah itu, padahal dulu merupakan kebun tembakau yang hijau.

Tidak henti-hentinya gadis berumur hampir tiga puluh itu senantiasa bersyukur kepada Gusti Allah. Bahkan ia sengaja mengajak monyet kesayangannya untuk ikut bersyukur.

“Ayo,Mas Joko!. Kita syukur kepada Gusti Allah yang banyak memberi rezeki kepada kita berdua. Rezekiku adalah rezeki Mas Joko juga.” Inah berkata kepada Mas Joko, seperti ia berbicara dengan seorang manusia.

“Ayo, Mas Joko ikutlah berdoa, ikutlah bersyukur!,” desak gadis pawang monyet itu lagi dan mengajarkan kepada monyet kesayangannya untuk menengadahkan kaki depannya seperti orang berdoa. “Aku pernah mendengar pengajian dari orang-orang tua, kita harus mensyukuri nikmat dan rezeki dari Gusti Allah. Kalau manusia lupa bersyukur katanya azab Gusti Allah sangat pedih!”

Sang monyet dengan sabar menuruti petunjuk Mbak Inah dan menengadahkan kaki depan, seperti seorang manusia sedang berdoa di depan Tuhan. Pada saat itulah datang sepasang suami isteri untuk meminta petunjuk kepada Mbak Inah. Sang tamu tertegun melihat seekor monyet menengadahkan tangan seperti orang sedang berdoa. Mereka semakin yakin, bahwa Mbak Inah bukanlah gadis sembarangan, tapi memang seorang paranormal yang berpengalaman.

“Kami datang untuk meminta petunjuk dari Mbak di sini,” ucap sang tamu.

“Saya tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Saya hanya perempuan biasa!”

“Kami mohon petunjuk mau mendirikan rumah pada bulan depan.”

“Maksudnya bulan depan nanti?. Bulan Muharram?”

‘Ya, bulan Suro!”

“Sebaiknya jangan dulu!,” Mbak Inah mencegah.

“Kenapa?. Apa akibatnya kalau mendirikan rumah pada bulan itu?”

“Mendirikan rumah pada bulan itu akan banyak sekali menghadapi bencana.”

“Bencana apa saja?”

“Bisa saja terjadi kebakaran! Bisa juga terjadi kecelakaan yang membawa maut”

“Wah mengerikan!”

“Bisa juga bala selalu datang. Bisa juga penghuninya tidak tenteram di rumah itu. Bahkan tidak kerasan lalu ingin pindah ke rumah lain. Huru hara juga akan terjadi di sekitar rumah yang didirikan pada bulan Suro. Yang lebih parah,, penghuninya selalu tidak bisa tidur.”

“Tapi semua bahan-bahan rumah sudah dibeli, rasanya tidak mungkin rencana untuk mendirikan rumah itu ditunda. Peerjanjian dengan tukangpun sudah disetujui.”

“Sebaiknya tunda dulu, kalau memang mau terhindar dari bencana dan hidup miskin. Tunggulah sampai bulan berikutnya.”

“Jadi kapan sebaiknya kami mendirikan rumah?”

“Tunggulah sampai bulan berikutnya. Di bulan itu mendirikan rumah, penghuninya akan mendapat kemurahan rezeki dan memiliki banyak harta.”

“Terima kasih, kami sudah mendapat petunjuk yang amat bermanfaat. Kami sudah terhindar dari bencana dan hidup miskin.”

“Nah, saya sendiri sebelum membeli rumah ini saya tanyakan lebih dulu bulan apa dibangun. Karena rumah ini dibangun pada bulan haji, saya sangat tertarik dan sekarang menjadi milik saya dan di rumah ini pula saya serta Mas Joko mendapat kemurahan rezeki!”

Kata-kata itu membuat sang tamu terkagum-kagum. Mbak Inah dan Mas Joko, sang monyet jantan mendapat kemurahan rezeki di rumah itu.

Sekali lagi dan sekali lagi Inah bersyukur, sang tamu dua hari kemudian memberi hadiah sekarung beras baru. Dua bulan Inah tidak membeli beras Dan dari hari ke hari tamu-tamu yang meminta bantuan spiritual semakin banyak. Rezeki perempuan yang datang dari jauh itu semakin baik. Pintu langit semakin terbuka untuknya. Tuhan menurunkan rezekinya semakin banyak. Tidak hanya rezekinya sebagai pawing monyet, tapi sebagai orang pintar yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

***

Pintu langit yang terbuka lebar dan rezeki yang turun kepada gadis itu membuatnya mampu membeli peralatan elektronik untuk pengisi rumahnya. Sudah ada kursi tamu, sudah ada tempat tidur layak, sudah ada periuk dan barang-barang pecah belah. Belasan guci antik dari Tiongkok kuno juga sudah ada di rumah itu.

Kalau malas melakukan pertunjukan, Inah sehari penuh didapur dan membuat kue. Ia sengaja membagikan kue yang dibuatnya kepada jiran tetangga kiri dan kanan sehingga semua tetangga amat senang kepadanya Inah adalah jiran yang baik, ramah dan hatinya pemurah..

Beras ketan hasil pemberian orang yang sembuh dari diare, dimasak Inah menjadi nasi ketan dicampur dengan serundeng yang diberi daging. Wah lezatnya bukan main. Tetangga ikut menikmati dan memuji hasil masakannya. Mana mungkin orang Melayu memasak nasi ketan dengan serundeng campur daging. Orang Melayu memang pintar memasak nasi ketan tetapi dengan inti, yakni kelapa diparut yang dimasak dengan gula bargot.. Sekali lagi dan sekali lagi Inah mendapat pujian dari jiran tetangganya. Semua merasa simpati terhadapnya. Semua merasa senang bertetangga dengannya. Inah adalah seorang pedatang, yang hadir di desa itu dari jauh, dari Jawa Tengah, tetapi ia tampak akrab dengan jiran tetangga yang sudah belasan tahun bermukim di sana.

Di waktu senggang, bila ia mendapat rezeki yang lumayan, ia sengaja membeli VCD baru. Ia senang dengan lagu-lagu Jawa, apa lagi lau-lagu India dan keroncong. Kadang-kadang sambil membuka CD, seperti seorang penari ronggeng di atas panggung ia menari dan enjoi.

“Ayo kita berjoget,Mas Joko” ajaknya kepada monyet jantan kesayangannya.

Monyet itu hanya memandang seperti ingin sentuhan tangan Inah

“Ayo Mas Joko, kita menari!”, ajaknya lagi.

Inah meraih kaki atas monyet itu dan mengajaknya mengayun langkah. Lagu-lagu keroncong terus terdengar amat merdu. Tidak hanya itu, Inah segera menggendong Mas Joko dan langkahnya berayun-ayun mengikuti irama yang terdengar amat merdu.

Persis seorang perempuan berjoget dengan seorang lelaki gagah yang perkasa, Inah menari di atas lantai. Ia terlalu asyik menari bersama Mas Joko, sehingga ia tidak mendengar suara salam seseorang di luar rumah. Terlalu asyik menari bersama Mas Joko sehingga ia tidak mendengar suara ketukan pintu. Setelah lagu berakhir, barulah ia mendengar suara salam dari luar rumah..

“Assalamu alaikum”

“Alaikum salam!”

Inah mempersilahkan tiga orang tamunya masuk dan tampak wajahnya amat sedih dan cemas.

“Kami datang mengharapkan bantuan Mbak!” terdengar suara tamunya penuh harap.

“Saya tidak memiliki kepintaran apapun. Saya hanya manusia biasa, hanya seorang perempuan yang tidak mampu berbuat apa-apa.”

“Kami sudah banyak mendengar, Mbak banyak memberi pertolongan kepada orang yang sedang dalam kesulitan”

“Kesulitan uang maksudnya?”

“Bukan kesulitan uang, tapi berbagai penyakit dan gangguan mahluk halus.”

“Wah , saya tidak mampu mengusir syetan dan iblis!”

.”Bantulah kami semampu Mbak. Kami yakin Mbak mau membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan. Isteri saya akan melahirkan tapi ari-arinya tidak mau keluar. Bantulah kami.”

Tiga orang tamu yang datang di malam sepi itu tampak penuh harap. Inah jadi ingat pesan ayah bundanya dulu, untuk menolong perempuan yang melahirkan, terutama ketika plasenta tidak bisa melewati pintu rahim. Iapun ingat ayah bundanya mewariskn sebuah buku yang sudah kumal dan buku itu adalah primbon Jawa yang masih banyak dipercaya orang.Primbon itu disimpan Inah amat rapi, menjadi satu dengan perhiasannya. Apa yang pernah dikatakan ibunya memang sesuai dengan yang tertera di primbon Jawa yang sudah kumuh itu. Ia masih sempat membaca apa yang harus dilakukan untuk menolong wanita yang sulit untuk melahirkan, terutama bila plasenta tidak bisa melewati pintu rahim.

“Baiklah saya akan membantu, tapi jangan lupa meminta dan berdoa kepada Gusti Allah yang menjadikan umat manusia.”

“Kami akan selalu berdoa.”

Inah segera ke dapur. Ia membuat ramun yang terdiri dari air rebusan kacang kedelai, minyak wijen, kecap manis, anggur satu sendok dan air bening. Untunglah bahan-bahan itu selalu ada. Inah memang banyak menyimpan berbagai bahan racikan dan ramuan untuk menolong orang sakit.

Hanya beberapa saat setelah perempuan hamil tua itu meminum ramuan itu, sang bayi lahir dengan selamat. Nama Inah sebagai paranormal semakin terkenal di sekitar desanya, bahkan hingga ke desa-desa yang berjauhan letaknya. Namanya semakin sering disebut-sebut orang tidak hanya sebagai dalang topeng monyet tetapi juga sebagai dukun, bahkan sebagai paranormal yang yang pintar meramal dan mengusir mahluk halus. Bahkan para lelaki yang sedang berjudi dan dalam keadaan setengah mabuk selalu menyebut namanya. Mbak Sang pawang monyet!. Rasanya ia adalah manusia yang paling beruntung.

Padagang ikan yang sedang menghadapi para pembeli juga ikut menyebut namanya dan menganjurkan kalau ada orang yang sakit dan tidak kunjung sembuh agar meminta bantuan Mbak Inah. Di kalangan para penjual sayur juga begitu. Bahkan anak-anak yang sakit dan takut disuntik oleh dokter meminta berobat kepadanya. Namanya benar-benar harum.

Tapi pembicaraan tentang dirinya tidak hanya sebatas sebagai paranormal. Namanya disebut-sebut orang sebagai perempuan yang mempunyai sifat dan pribadi aneh, yakni pergaulannya yang amat mesra dengan seekor monyet yang diberi nama Mas Joko. Orang sering melihat dengan mata kepala sendiri, hubungan yang amat mesra antara gadis itu dengan seekor monyet. Bahkan orang ada yang menganggap Mas Joko yang sebenarnya adalah seekor monyet seperti suami Inah. Kemesraan dan hubungan baik antara Mbak Inah dengan sang monyet itu memang melewati batas. Bahkan ada yang menduga, bahwa Mas Joko adalah manusia biasa yang menjelma menjadi monyet karena kutukan Tuhan. Juga ada yang menganggap bahwa Inah adalah perempuan bersuamikan seekor monyet karena hubungan yang amat intiem keduanya. Mereka tampak saling mengasihi, saling menyayangi dan saling mencintai.

***

Tidak selamanya pintu langit terbuka lebar dan tidak selamanya pula Gusti Allah menurunkan rezeki berlipat ganda. Tidak selamanya langit cerah dan angin berhembus lembut membelai puncak pohon kelapa dan dedaunan. Tidak selamanya burung-burung berkicau nyaring di ranting pohon , bernyanyi tentang cinta dan kasih sayang. Tidak selamanya angin berhembus sepoi membelai rambut seorang gadis yang sedang duduk di pinggir laut dan mengagumi riak-riak air. Tidak selamanya air sungai airnya tenang dan para penjala ikan banyak mendapatkan tangkapan ikan untuk makan keluarga.

Sesekali angin berhembus kencang membawa mendung dari tengah laut ke pegunungan. Tidak selamanya angin berhembus lembut tetapi sekali berhembus amat kencang membawa udara berisi rintik hujan. Angin selalu membawa muatan berupa mendung dari tengah laut, dari arah timur, dari arah barat, dari arah utara dan selatan. Mendung itu bagaikan tersusun rapi dan merata di atas langit sehingga bumipun menjadi gelap gulita.

Bila langit sudah gelap dan mendungpun pekat di atas langit, maka burung-burungpun akan segera pulang ke sarangnya menemui anak-anaknya atau menjaga telur-telurnya agar tidak dihempaskan hujan. Apalagi manusia, paling takut kepada hujan deras yang terkadang dapat menyebabkan banjir atau tanah longsor yang membawa korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit.. Seperti yang pernah dialami Inah di desa kelahirannya. Di Jawa Tengah.

Mendung yang bergumpal-gumpal itulah yang tampak di langit di atas rumah yang dihuni gadis pawang monyet itu dan Mas Joko. Ia bergegas pulang ketika mendung mulai menyebar di langit yang semula cerah. Ia sengaja memilih naik taksi agar segera tiba di rumah sebelum hujan mengguyur.

“Kamu takut kehujanan,Mas Joko?,” tanya Inah kepada monyet kesayangannya

Mas Joko cuma memandang dengan tatapan mata penuh rasa cemas.

“Kamu takut kedinginan ,Mas Joko?” Inah menatap wajah Mas Joko yang cemberut..

Monyet itu semakin tampak bersedih.

“Kamu takut basah kuyup diguyur hujan lebat?”

Mas Joko semakin bersedih.

“Tidak usah khawatir, aku akan melindungi dirimu dari hujan lebat. Aku juga tidak ingin melihat tubuhmu dibasahi hujan meskipun hanya satu tetes.”

“Kamu takut sakit kalau diguyur hujan?”

Monyet itu merunduk. Tampak jelas kesedihan di hatinya

“Tidak usah takut akan sakit karena diguyur hujan.. Kalau Mas Joko sakit, aku juga sangat sedih. Penderitaanmu adalah penderitaanku juga. Hidup kita sudah menyatu,Mas Joko. Penyakit Mas Joko adalah penyakitku juga. Aku harus selalu membuatmu sehat dan ceria. Kita tidak boleh bersedih. Kita harus berbahagia.”

Ucapan itu membuat Mas Joko merasa hatinya sejuk seperti ditetesi embun pagi. Ia memandang Mbak Inah dengan tatapan penuh arti. Dan ketika sebuah taksi sedang melintas, Inah segera memanggilnya.

“Kemana,Mbak?” tanya sang sopir ramah.

“Bandar Setia!,” Inah menyebut sebuah desa yang terletak tidak jauh dari Tembung.

“Apakah monyet itu ikut naik?”

“Tentu saja ikut!”

“Oh,Maaf.. Saya tidak bisa membawa monyet!,” ucapan sang sopir terdengar jelas dan tegas.

“Kenapa tidak mau?. Kenapa tidak bisa?”

“Saya takut tiba-tiba monyet itu menyerang saya.”

“Dia tidak akan pernah menyerang siapapun. Mas Joko adalah mahluk yang baik. Kalau anda digigit, akan saya bayar seratus kali biaya pengobatannya.”

Sopir itu seperti berpikir sejenak lalu berkata lagi:

“Saya takut seenaknya monyet itu akan berak di mobil saya.”

“Sudah bertahun-tahun Mas Joko bersama saya, dia tidak akan buang hajat di sembarang tempat. Tingkah lakunya sudah mirip manusia. Dia sangat santun kepada manusia. Dia tidak akan pernah berbuat hal-hal yang tidak diinginkan manusia.”

“Saya takut mobil saya bau binatang lalu tidak ada yang mau naik.”

“Jangan selalu buruk sangka. Mas Joko baunya harum semerbak. Anda boleh menciumnya sendiri!”. Inah berkata sambil mendekatkan Mas Joko ke hidung sang sopir taksi. Tentu saja sang sopir cepat-cepat mengelak tak mau mencium sang monyet.

“Nih, lihat!, Saya menciumnya tanpa ragu-ragu!”

Di depan .sopir taksi itu Inah mencium kening dan kuduk Mas Joko. Sapir taksi itu terheran-heran. Barulah ia memperkenankan Inah dan Mas Joko naik ke taksinya lalu meluncur cepat.

Ketika tiba di rumah, Inah membayar sewa taksi dan sang sopir berkata:

“Mbak hebat sekali, bisa bersahabat dengan seekor kera.”

“Tidak hanya bersahabat, tetapi lebih dari itu!”. Ucapan itu mengandung makna yang amat luas.

Hujan masih turun amat lebat, tapi Mas Joko dan Inah tidak sempat basah kuyup. Mendung masih hitam pekat di langit dan merata. Mendung pekat itulah yang menutup pintu rezeki mereka meskipun untuk sementara waktu.

Pintu langit sedang tertutup dan rezeki tidak turun kepada gadis dari desa itu yang kini menjadi dalang topeng monyet. Rezeki tidak turun kepada Inah dan Mas Joko. Rezeki sang pawang monyet itu sedang tersendat. Bahkan yang datang adalah nasib sial. Padahal hari berikutnya Inah dan Mas Joko berharap akan dapat meraup rezeki lebih banyak dari bule yang menginap di hotel internasional.

Inah bermaksud mengadakan atraksinya di depan Hotel Danau Toba. Penonton memang cukup banyak, tidak hanya sopir taksi milik hotel, tidak hanya turis lokal, tapi juga turis bule dari berbagai negara yang menginap di hotel itu. Tapi bagian sekuriti hotel menganggap pertunjukan topeng monyet di depan hotel bertaraf internasional tidak layak.. Untuk hiburan para tamu hotel sudah disediakan grup band dengan para kru berpakaian daerah dan lagu-lagu yang ditampilkan juga lagu-lagu khas daerah.

Pihak keamanan hotel segera mengangkat telpon dan memanggil patugas ketertiban dari pemerintah kota. Hanya beberapa menit kemudian, sebuah mobil berwarna kuning dengan bak terbuka muncul. Mobil dinas itu membawa petugas penertiban yang semuanya tampak seram dan kejam. Sesaat saja sang monyet ditangkap bersama alat musik pengiringnya dengan alasan keindahan kota. Mbak Inah sudah menjadi korban penggusuran.

“Jangan tangkap Mas Joko!. Jangan bawa Mas Joko!,” Inah berusaha mempertahankan Mas Joko yang sudah di tangan para petugas ketertiban kota berseragam hitam.

Inah terus meronta dan berteriak-teriak histeris.

“Mas Joko tidak bersalah!. Jangan tangkap dia!,” terdengar teriakan Inah. Tapi petugas ketertiban kota tidak perduli. Sang monyet bagaikan seorang penjahat besar di bawa kantor bersama meja kursi hasil razia penertiban pedagang kaki lima. Tiap hari puluhan pedagang kaki lima terjaring dalam operasi penggusuran dan dagangannya disita. Inah hanya mampu menangis..Tangisnya lebih menyedihkan daripada ketika ayah bundanya tewas tertimpa bangunan rumah ketika bencana tanah longsor menimpa desanya dan desa-desa lain.

.:”Kalian kejam!. Kalian zalim!,” teriaknya histeris. Ia amat marah kepada petugas-petugas yang menyita Mas Joko dan dibawa entah kemana. Mungkin Mas Joko akan dijual kepada orang lain. Petugas penertiban dari Pemko itu telah bertindak sewenang-wenang, melakukan penyitaan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tidak hanya itu, mereka melakukan penyitaan tanpa tanda terima.

Kesedihan yang amat mendalam, serta teriakan-teriakan histerisnya amat berpengaruh pada jiwanya hingga akhirnya ia pingsan di depan hotel internasional itu. Untunglah ada penarik beca yang merasa amat kasihan dan perduli. Ia segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan dan pertolongan pertama.

Inah hanya menderita shock. Ia tidak memiliki kelainan jantung. Ia tidak memiliki simpanan hipertensi. Andainya dia memiliki benih-benih penyakit itu, pasti kematian sudah menjemputnya. Ia diijinkan pulang ke rumah sesaat setelah sadar dan kesehatannya diperiksa dengan teliti. Ia bersyukur telah mendapat perawatan dan merasa bahwa kebaikan manusia ada dimana-mana. Padahal ia hidup sebatang kara, tanpa keluarga, tanpa famili dan tanpa kerabat dekat. Kerabatnya hanya Mas Joko, sang monyet yang kini dibawa petugas penertiban kota. Orang lain telah memberinya bantuan. Tidak hanya sampai di situ. Seorang dokter yang bermurah hati memberi ongkos taksi lima puluh ribu. Inah amat bersyukur.

Tapi peristiwa penggusuran yang amat tiba-tiba itu membuatnya amat sedih. Ia tidak tahu kemana harus mencari Mas Joko. Pastilah Mas Joko ditelantarkan. Pastilah Mas Joko tidak diberi makan, tidak diberi minum. Pasti Mas Joko akan kehausan dan kelaparan. Tidak seorangpun yang perduli.

Mungkin juga Mas Joko diikat pada pohon kayu atau diikat di tiang bendera di tengah lapangan dan dibiarkan dijemur di terik matahari. Mungkin dibiarkan kehujanan dan kedinginan.

“Kasihan Ms Joko. Kasihan Mas Joko!,” kata-kata itu puluhan kali diucapkan Inah.

“Semoga Gusti Allah melindungi Mas Joko. Semoga Malaikat melindungi dirinya.

Semoga dia baik-baik saja. Semoga Mas Joko tetap sehat dan mampu merasakan semua penderitaan. Itulah doanya.

“Tidak usah khawatir, Mas Joko. Aku akan mencarimu kemana saja. Aku akan menyusulmu sampai ke ujung langit untuk menyelamatkan Mas Joko. Sabarlah sampai aku datang,Mas Joko.”

***

Tanpa mengenal lelah Inah berjalan ke setiap kantor. Kantor kelurahan juga didatangi tapi tidak tahu menahu soal penggusuran di depan hotel internasional. Ia juga mendatangi kantor kecamatan, tetapi setiap PNS yang ditanya selalu menghindar. Padahal di kantor camat terdapat puluhan PNS yang kerjanya hanya ngobrol atau membaca koran. Yang bermain catur juga ada. Paling enak memang jadi PNS, gaji sudah lumayan tetapi tugasnya cuma ongkang-ongkang, Cuma ngorol dan baca koran. Kalau bicra tentang inflasi , sebenarnya yang inflasi adalah PNS yang jumlahnya berlebihan di setiap kantor pemerintah. Inflasi PNS inilah yang perlu dituntaskan. Jangan sampai beban negara semakin berat membiayai pegawai yang kerjanya hanya baca koran atau cuma mengisi daftar absen. Yang datang jam sembilan dan pulang pukul empat belas juga ada. Alangkah enaknya jadi PNS. Memang saat ini PNS memang sangat dimanjakan pemerintah. Kerjanya enak gajinya lumayan ketimbang buruh pabrik.

Untunglah Inah bertemu seorang ibu bertubuh gembrot yang sedang mengurus passport untuk dapat menjadi TKI. Inah memang tidak pernah mengalami kesulitan seperti itu, tidak pernah menjadi korban penggusuran, hingga ia menacari Mas Joko sampai ke kantor Imigrasi. Padahal kantor imigrasi hanya melayani orang-orang yang mengurus pasport untuk menjadi TKI atau untuk belajar ke luar negeri atau untuk berlibur di negeri orang.

“Mbak salah alamat, di sini bukan tempat mengurus barang-barang dagangan yang jadi korban penggusuran,” ujar perempuan gembrot calon TKI itu.

“Lalu dimana saya harus mengurusnya?”

“Saya juga pernah menjadi pedagang kaki lima. Bertahun-tahun saya berjualan serabi dengan gerobak dorong. Sudah puluhan kali saya menjadi korban penggusuran yang sewenang-wenang.. Gerobak saya disita padahal saya sudah berusaha menghindar, tapi terus dikejar. Gerobak saya diangkat ke atas truk bersama isinya. Padahal tiap hari saya membayar biaya restribusi.”

“Kue serabi di dalam gerobak ikut dibawa?”

“Tentu saja!”

“Mereka terlalu kejam. Mereka tidak memiliki hati nurani yang lembut!”

“Berkali-kali saya mengurusnya. Setiap mengurus gerobak yang disita saya harus mengeluarkan uang puluhan ribu, padahal saya hanya pedagang serabi yang untungya pas-pasan untuk membiayai hidup dan membayar uang sekolah anak. Bahkan terkadang serabi saya juga tidak laku karena ekonomi sedang sulit dan daya beli masyarakat sangat menurun.”

“Lalu ibu mau berusaha cara lain untuk hidup.”

“Saya jijik melihat tampang para petugas penggusuran yang mata duitan itu. Saya pernah melempar petugas itu dengan batu! Saya juga pernah melontar mereka dengan botol. Terakhir saya melempar mereka dengan telur busuk.”

“Tapi mereka tidak juga kapok?”

“Justru semakin menjadi-jadi perbuatan kotor mereka. Semua pedagang kaki lima digusur terutama yang berjualan dengan menggunakan gerobak. Sebab petugas itu tahu, dalam gerobak selalu ada uang hasil jualan. Uang dalam gerobak itu ikut musnah!”

“Sungguh menjijikkan prilaku mereka. Gusti Allah akan menurunkan kutukannya kepada mereka nanti!”

“Saya juga berdoa begitu.”

“Dimana ibu mengurus gerobak itu?. Saya juga ingin mengurus sesuatu karena saya juga korban penggusuran.”

“Berupa apa milik Mbak yang disita petugas jahat itu?”

“Mas Joko!. Mereka membawa Mas Joko pergi.”

“Maksud Mbak, Mas Joko suami ibu ditangkap petugas itu karena melakukan perlawanan?. Memang selalu terjadi bentrok antara korban penggusuran dengan petugas itu. Tidak jarang mereka melakukan penangkapan disaat kericuhan sedang terjadi.”

“Mas Joko bukan suami saya!”

“Lalu siapa?. Anak Mbak?. Mereka sampai hati menangkap anak-anak dibawah umur?. Sungguh sangat kejam kalau hal itu yang terjadi.”

“Bukan!. Bukan anak saya!”

“Lalu siapa Mas Joko yang dibawa petugas itu.”

“Mas Joko adalah seekor monyet milik saya. Mas Joko adalah monyet kesayangan saya. Saya memberi nama monyet itu Mas Joko dan dia adalah pemain topeng monyet. Saya dan Mas Joko sudah bertahun-tahun bersama-sama mencari nafkah, hingga suatu saat ada penggusuran dan Mas Joko yang tidak berdosa itu dibawa petugas entah kemana.”

“Mbak adalah pawang monyet?.”

“Ya. Saya dalang topeng monyet yang datang dari jauh!”

“Saya mengerti sekarang. Cobalah Mbak cari Mas Joko di kantor Pemda, mungkin Mas Jokoi ada disana.”

“Saya kehilangan nafkah kalau Mas Joko tidak ada.”

“Saya mengerti kesulitan Mbak. Saya doakan semoga Mbak segera menemukan Mas Joko biar Mbak dapat mencari nafkah lagi.”

Ibu betubuh gembrot itu masih sempat bercerita tenang penggusuran yantg sudah sering terjadi dan gerobaknya disita petugas, bersama uang hasil penjualan serabi yang ada kalanya mencapai ratusan ribu rupiah. Gerobak yang disita memang kembali, tapi uang hasil penjualan serabi dalam gerobak itu sudah lenyap ditelan petugas-petugas jahat itu. Inah sangat bersyukur ibu yang sudah sering menjadi korban penggusuran itu memberikan alamat gudang tempat penampungan barang-barang pedagang kaki lima korban penggusuran..

“Itulah sebabnya saya bosan jadi pedagang serabi. Ibu ingin merobah nasib dengan menjadi TKI di negeri orang.”

“Mudah-mudahan ibu berhasil merobah nasib. Saya akan tetap menjadi dalang topeng monyet. Biarlah saya tetap sebagai pawang monyet.”

“Cepatlah cari dimana Mas Joko berada. Kasihan dia tidak diberi makan dan minum.Mudah-mudahan Mas Joko dilindungi Tuhan dan selalu sehat.”

“Terima kasih atas doa dan bantuan moral yang ibu berikan. Saya akan segera kesana untuk menjeput Mas Joko “

Inah buru-buru melangkah pergi, tapi perempuan bertubuh gembrot itu segera memanggil:

“Tunggu,Mbak! Tunggu!”

“Ada apa lagi,Bu?”

“Kalau mengurus Mas Joko jangan dengan tangan kosong.”

“Artinya saya harus membawa uang?”

“Ya,benar!”

“Berapa?”

“Bisa puluhan ribu, bisa juga ratusan ribu rupiah”

“Wah, luar biasa. Tapi berapapun uang yang diminta, saya akan berusaha memberinya asal Mas Joko dapat bebas dan pulang bersama saya kemudian kami mencari nafkah lagi..”

“Mudah-mudahan berhasil secepatnya.”

Inah melangkah pergi. Ia menyentuh seuntai kalung yang melingkar di lehernya. Bila uang yang dibawanya kurang, ia rela menjual kalung itu. Demi Mas Joko. Demi mahluk yang amat disayanginya, dicintai dan ia kasihi, ia rela berkorban apa saja.

***

Tidak ada rasa takut dan canggung ketika Inah memasuki sebuah kantor yang tampak megah, tapi seram karena kantor itu tidak lain berupa gudang tempat menampung barang-barang sitaan milik pedagang kaki lima.korban penggusuran, mulai gerobak dorong, steling tempat berjualan sarapan pagi, meja kursi, gelas dan piring, kompor untuk memasak mie balap, alat tempel ban dan juga mesin genset untuk tambal ban. Pemilik mesin genset itu sudah datang untuk dapat memperoleh kembali miliknya, tapi uang yang diminta petugas di kantor itu terlalu besar jumlahnya sehingga belum mampu tertebus..

Inah melihat para PNS yang bertugas di kantor itu tampak tidak acuh dan tampak wajah-wajah yang sanger. Ia tidak tahu kepada siapa harus bertanya dan tidak tahu ke ruang mana yang harus dituju. Pada saat ia berjalan dengan pikiran bingung terdengar suara lelaki memanggilnya:

“Tunggu,Mak Inah!. Tunggu!”

Langkah gadis dalang topeng monyet itu tertegun mendengar namanya dipanggil oleh seseorang di sebuah kantor yang masih sangat asing baginya. Ia menoleh ke belakang dan melihat seorang lelaki berlari-lari menghampiri.

“Mbak Inah mencari siapa?” tanya lelaki berpakaian seragam hitam.

“Saya mencari Mas Joko yang terjaring pada penggusuran dua hari lalu. Kasihan Mas Joko tidak makan dan tidak minum”

“Ya,Tuhan. Ternyata monyet itu milik Mbak Inah.”

“Ya, milik saya dan saya harus membawanya pulang.”

“Saya ingin membantu”

“Mas siapa?,” Inah bertanya dan menatap wajah lelaki berseragam itu.

“Saya Widodo, karyawan honorarium di kantor ini. Mbak lupa siapa saya sebenarnya?”

“Ya, saya lupa. Sama sekali saya lupa.”

“Saya pernah meminta bantuan Mbak Inah ketika isteri saya akan melahirkan tetapi mengalami kesulitan.”

“Oh,ya. Saya baru ingat, saya pernah menolong seorang perempuan hamil tua yang sudah tiba saatnya melahirkan, tapi ari-arinya tidak mau kelur dari rahimnya.”

“Mbak Inah benar sekali. Nah saya ingin menolong Mbak Inah membebaskan Mas Joko. Tapi silahkan temui dulu atasan saya untuk menyelesaikan urusan administrasi.”

Lelaki itu menyebut nama seseorang dan menunjukkan letak ruangannya.

“Baik saya akan menemuinya, mudah-mudahan saya dapat membawa Mas Joko pulang ke rumah hari ini!”

Inah segera melangkahkan kaki ke arah pimpinan kantor itu. Melihat tampangnya saja Inah mau muntah. Tubuhnya kurus, ceking, berkumis lebat dan matanya merah, seperti seorang pemabuk. Pasti laki-laki ini mata duitan. Dan juga pecandu perempuan!. Itu yang terpikir di benak Inah ketika disilahkan masuk dan duduk di depan lelaki kurus dan berkumis itu.

“Saya sudah tahu maksud kedatangan anda kemari. Untuk mengurus gerobak dorong,bukan?”, sapa lelaki ceking itu.

“Tidak!. Sama sekali tidak. Saya datang untuk membawa kembali Mas Joko!”

“Anda keliru. Kami tidak pernah melakukan penangkapan manusia kecuali ia seorang provakator , kecuali dia biang keladi kericuhan.”

“Mas Joko adalah milik saya. Dia sahabat saya dalam mencari nafkah.”

Lelaki bertubuh jangkung, ceking dan berkumis lebat itu mengira,bahwa Mas Joko adalah seorang lelaki dewasa.

Inah menyebutkan bahwa Mas Joko bukanlah manusia, tetapi seekor kera yang bersih dan mengerti untuk diajak mencari nafkah. Sesaat lelaki kurus dan berkumis lebat itu memikir-mikir, tapi pandangannya terhadap Inah amat dalam dan penuh arti.

“Anda dapat membawa pulang milik anda dengan segera, tapi dengan satu syarat yang harus dipenuhi.”

“Bagaimana bentuk syarat itu?”

“Uang administrasi.”

“Berapa?”

“Tiga ratus ribu rupiah.”

“Saya tidak punya uang sebanyak itu. Maklum saya hanya dalang permainan topeng monyet yang datang dari Jawa Tengah Apalah daya seorang pawang monyet?.”. Inah sengaja berbohong, padahal dia membawa uang hampir setengah juta.

“Berapa anda mempunyai uang?”

“Hanya lima puluh ribu.”

“Kami tidak dapat meloloskan barang siataan dengan tebusan begitu rendah.”

“Bagaimana kalau seorang pedagang kaki lima tidak dapat menebus gerobak dorongnya?,”, Inah ingin tahu. Sebab tidak semua pedagang kaki lima punya uang untuk menebus gerobak dorong yang disita aparat penertiban saat penggusuran terjadi.

“Kami akan memusnahkannya. Tidak mungkin gudang dan kantor ini menampung gerobak yang sangat banyak.”

“Lalu bagaimana kalau yang terkena gusur adalah pedagang burung atau hewan?”

“Kami akan mengembalikan hewan-hewan itu ke tempat habitatnya semula, apalagi binatang yang dilindungi.”

“Dikembalikan ke hutan?”

“Ya!”

Sesaat gadis malang itu termenung, terbayang di pelupuk matanya seandainya Mas Joko tidak bisa dibawa pulang lalu dilepas di tengah hutan untuk dikembalikan ke tempat habitatnya. Inah amat sedih. Entah bagaimana jadinya bila monyet itu kembali di hutan belantara. Entah bagaimana pula nasib Inah seandainya ia tidak memiliki Mas Joko lagi. Pasti tidak dapat mencari nafkah. Tentu ia tidak mempunyai mata pencaharian. Pasti ia tidak akan dapat bertahan hidup.

“Apakah Mas Joko juga akan dikembalikan ke hutan?”

“Pasti!. Itu yang terbaik kami lakukan!”

Berdesir kencang darah dalam tubuh Inah mendengar jawaban itu.

“Jangan!. Jangan kembalikan Mas Joko ke hutan. Saya sangat menyayangi dia. Saya sangat mencintai dia. Saya tidak dapat hidup tanpa Mas Joko,” Inah memelas dan hatinya amat sedih.

“Anda bisa saja membawanya pulang. Tapi anda harus memenuhi kewajiban!” desak lelaki bertubuh kurus namun perutnya buncit itu.

“Membayar uang tebusan, begitukah?”

“Ya!”

“Baiklah saya akan usahakan untuk memberikan seratus ribu.”

Sesaat lelaki itu menatap wajah Inah dari mulai ujung rambut, pipi, mata, bibir yang mengundang berahi hingga dada yang membuat darah lelaki berdebur-debur.

Dan darah lelaki bertubuh ceking serta berkumis tebal itu memang berdebur-debur ketika memandang bibir merah yang merekah itu dan dadanya yang indah. Pastilah amat lembut bila disentuh.

“Baiklah, Anda boleh membawa pulang Mas Joko sesaat lagi, tapi beri saya sebuah kesempatan.”

“Kesempatan apa?”

Lelaki kurus itu menatapnya amat tajam, seperti tatapan iblis yang mengerikan. Ia mengedipkan sepasang matanya. Kalau seorang lelaki sudah mau bermain mata, itu tandanya ada maksud jahat di hatinya.

“Bibir anda indah sekali!,” terdengar suara lelaki berkumis tebal itu. Kalau seorang lelaki sudah memuji bentuk bibir pasti ada maksud jahat dihatinya..Gombal, pikir Inah. Pasti dia pemain nomor wahid dalam menghadapi perempuan. Pasti dia pecandu perempuan. Laki-laki jahat. Laki-laki gombal. Lelaki itu bangkit dari kursinya dan menghampiri Inah yang ketakutan.

“Kantor ini sepi, apa lagi ruangan kerja saya. Tidak ada orang lain yang berani masuk ke ruangan saya kalau tidak saya panggil.”

“Saya tidak mengerti maksud bapak,” sahut Inah pura-pura tidak memahami, padahal dia sudah tahu dari sorot mata lelaki itu bermaksud tidak baik. Ia sudah menduga lelaki bertubuh kurus itu adalah pencandu perempuan dan mungkin masuk daftar kelas wahid. Dari tampangnya terlihat lelaki itu sangat doyan perempuan.

“Maksud saya ,bibir anda indah sekali.”

“Jangan memuji seperti itu.”

“Saya sudah memberi keringanan untuk tebusan Mas Joko. Saya berharap anda juga mengerti keinginan saya.”

“Keinginan apa maksud bapak?,” Inah tetap saja pura-pura bodoh dan lugu.

Ia membiarkan lelaki itu bangkit dari kursinya dan mendekati Inah. Tatapan mata lelaki berkumis lebat itu semakin tajam ketika sudah berdiri di sisinya.

“Jangan sentuh saya!,” tiba-tiba Inah meronta ketika lelaki itu menyentuh pundaknya. Ia menepiskan tangan lelaki itu.

“Tidak bolehkah saya memuji keindahan tubuh seorang perempuan yang ada di depan saya?”

“Jangan rayu saya. Saya perempuan baik-baik.”

“Hmmm,” lelaki itu hanya bergumam. Tapi pandangannya tetap berapi-api, seperti mengandung racun berbahaya. Tatapan sepasang mata lelaki itu seperti penuh berahi,seperti lahar panas yang baru menyembur dari kepundan gunung berapi yang baru meletus. Nafsu lelaki itu memang sedang meledak-ledak, seperti sebuah bom. Di kantor itu ia memang dikenal sebagai atasan yang doyan duit, tetapi lebih doyan lagi terhadap perempuan.

Tidak seorangpun bawahannya yang berani masuk ruangannya kalau tidak dipanggil. Apa lagi ruangan itu lalu ditutup dan dikunci rapat dari dalam.

“Kenapa bapak mengunci ruangan ini?,” Inah berdiri untuk menghindar dan siap untuk lari bila lelaki itu menyentuh dirinya

“Biar kita aman untuk berdua.”

“Apa maksud bapak?”

“Kita hanya berdua..Tidak ada orang lain yang melihat kita disini. Biar saya mengagumi bibir anda yang sangat indah!”

Tangan lelaki bertubuh kurus dan berkumis itu mulai merayap menyentuh pundak Inah. Tatapan matanya semakin berapi-api..

“Saya bukan perempuan pinggir jalan,Pak!,” cetus Inah.

“Saya juga tidak berkata begitu!”

“Saya bukan perempuan murahan!”

“Siapa yang berkata begitu?.”

“Tapi tangan bapak mulai iseng. Tangan bapak mulai gatal!”

“Itu tandanya saya mengagumi kamu yang cantik!”

“Jangan merayu saya”

“Kamu cantik.”

“Jangan sentuh saya!,” ujar Inah ketika lelaki bertubuh kurus itu berusaha memeluknya. Inah meronta amat keras.

“Jangan takut!”

“Saya akan berteriak kalau bapak berbuat yang tidak baik.”

“Jangan kecewakan saya. Percuma saja kalau berteriak. Anggota saya tidak akan mendengarnya dan tidak akan masuk kemari!”

Sekali lagi dan sekali lagi lelaki bertubuh ceking dan berkumis lebat itu berusaha memeluk tubuh Inah yang elok,tapi Inah tetap meronta dan mendorong tubuh lelaki itu hingga hampir terjerembab.

“Jangan,Pak!. Jangan!”, Inah tetap mencegah. dan setengah berteriak. Tapi laki-laki bertubuh kurus itu tidak perduli. Berahinya benar-benar memuncak. Darahnya gemuruh dan jantungnya berdebur amat keras seperti mesin pesawat terbang yang akan tinggal landas. Ia tetap berusaha memeluk Inah. Ia tetap berusaha mencium sepasang bibir Inah yang merah merekah.

“Toloooooong!. Toloooong!,” Inah terpaksa berteriak ketika lelaki bertubuh kurus itu sekali lagi berusaha memeluknya dan menciumnya. Lelaki itu tetap tidak perduli dan tubuhnya tetap dibakar api berahi. Ia tetap tergiur melihat dada Inah yang indah dan elok. Ia semakin tergiur oleh bibir tipis yang merah merekah.

Inah hanyalah seorang perempuan, seorang mahluk yang tidak berdaya. Ia tidak berdaya untuk mencegah lelaki itu memeluknya. Tangannya terlalu lemah untuk menepiskan tangan seorang lelaki yang sudah disusupi iblis. Ia tidak berdaya ketika lelaki itu mengecup bibirnya.

Tetapi Tuhan selalu memberi pertolongan kepada mahluk yang lemah dan dalam keadaan terhimpit. Mas Widodo yang pernah datang ke rumah Inah untuk meminta pertolongan agar isterinya yang akan melahirkan dapat diselamatkan sudah berhasil melepas Mas Joko dari ikatannya di kaki meja. Sekarang Mas Joko ingin menolong Inah dari nafsu berahi seorang lelaki jahat. Sekarang monyet jantan yang perkasa itu ingin membebaskan Inah dari tangan-tangan iblis. Monyet jantan itu mendorong pintu tetapi tidak berhasil karena terkunci dari dalam. Satu-satunya jalan adalah memanjat loteng ruangan yang terkunci dari dalam lalu menjebol asbes yang memang agak lunak.

Pada saat lelaki yang sedang disusupi iblis itu sedang memeluk Inah dan sedang mengecup bibirnya terdengar suara menggelegar karena asbes jebol lalu seekor monyet jantan menjatuhkan dirinya tepat di atas sofa. Monyet itu tetap bersemangat untuk membela Inah padahal lebih dari dua puluh empat jam ia disekap. Lebih dua hari Mas Joko dalam keadaan terkurung tanpa makan dan minum. Ia haus dan lapar, tapi monyet itu masih memiliki sisa tenaga. Bahkan binatang itu seperti mendapat tambahan tenaga gaib. Matanya melotot lebar, tandanya monyet itu sedang marah. Giginya gemeretuk tidak sabar untuk menggigit laki-laki jahat yang sedang disusupi nafsu iblis.

Mas Joko langsung menerkam tubuh lelaki kurus yang sudah disusupi syetan. Monyet itu langsung menggigit tengkuknya dan lelaki itu kaget setengah mati. Seperti sebuah keajaiban, tiba-tiba saja seekor monyet jantan muncul, padahal monyet idu sejak dua hari lalu dalam keadaan disekap dan dirantai di kaki meja.

“Ampun!. Ampun!. Jangan gigit aku!,” teriak lelaki yang sudah disusupi iblis itu. “Lepaskan aku!.”.

Tapi monyet itu tidak perduli, ia terus menggigit tengkuk dan telinga lelaki bertubuh kurus itu hingga darah mengucur

“Ayo ,Mas Joko. Ajar terus syetan itu!. Gigit terus tubuhnya!,” gadis pawang monyet itu memberi komando sehingga lelaki jahat itu kesakitan dan ketakutan. “Ajar terus bangsat itu. Gigit terus karena dalam dirinya ada syetan jahat!. Habisi dia!”

“Lepaskan aku!. Jangan gigit aku!” teriaknya dan berusaha menghindar, tapi monyet itu tetap saja terus menggigit dan mencakar.

“Gigit terus dia!. Jangan beri ampun dia!,” Inah memberi komando lagi. Pakaian dinas lelaki itu sobek dan berlumur darah. Lelaki itu berteriak sekuat-kuatnya meminta pertolongan.

“Toloooooong!. Tolooong!”,” lelaki itu berteriak dekat jendela biar teriakannya didengar oleh seluruh karyawan yang sedang istirahat makan siang.

Kemanapun lelaki itu pergi, sang monyet mengejar dan menggigit kakinya hingga berdarah.

“Bunuh dia,Mas Joko. Bunuh dia!,” sekali lagi gadis pawang monyet itu memberi komando karena dendamnya terhadap lelaki jahat itu.

“Jangan!. Jangan bunuh aku. Tolooong!,” teriaknya lagi dan berlari ke arah pintu lalu membukanya biar karyawan datang memberi pertolongan.. Pintupun terbuka lebar, tapi sang monyet masih menggigit bagian pahanya. Dua orang karyawati mendengar teriakan itu dan langsung menyerbu ke ruang kerja sang kepala administrasi yang doyan duit dan doyan perempuan. Tapi dua orang karyawati yang masuk ke ruangan itu justru ketakutan dan melangkah surut ketika melihat seekor monyet sedang mengamuk.

Dua karyawati itu berteriak memanggil karyawan lainnya yang kemudian berhamburan masuk ruangan itu. Semua terheran-heran melihat atasan mereka diamuk monyet hingga luka-luka dan berdarah.

“Tangkap monyet itu. Tangkap dia!,” teriak salah seorang yang bertubuh kekar.

“Bunuh monyet itu. Cari kayu dan pukul kepalanya biar mampus!”, sambung yang lainnya.

Seorang karyawan mencari sepotong kayu untuk memukul sang monyet, tapi Inah segera mencegah.

“Jangan sakiti Mas Joko. Jangan pukul dia. Kalau mau bunuh, bunuhlah saya!,” Inah pasrah.

Semua karyawan tertegun.

“Ayo bunuh saya. Ayo pukul saya dengan kayu itu biar saya mati di sini. Biar besok kantor ini masuk koran telah terjadi kezaliman disini. Biar masyarakat tahu, telah terjadi kemaksiatan di sini. Biar masyarakat luas tahu, sudah banyak masyarakat sangat dirugikan dengan dalih penggusuran dan keindahan kota”

Dengan suara lantang bagaikan seorang orator, Inah berkata lagi, bahwa kesewenang-wenangan sudah lama berlangsung di instasi itu. Penggusuran sudah lama terjadi, lalu gerobak, tempat jualan, alat tempel ban disita paksa tanpa tanda terima tapi mereka meminta tebusan . Penggusuran terus saja terjadi dimana-mana,padahal restribusi terus dipungut tiap hari. Jelas hal itu merupakan pemerasan terhadap pedagang kaki lima yang jumlahnya tidak sedikit.

Semua terdiam mendengar ucapan Inah yang lantang.

“Ayo pukul saya. Bunuh saya. Saya hanyalah seorang perempuan yang tidak berdaya. Saya siap untuk mati demi membela kebenaran!”

“Monyet yang mengamuk di kantor ini pantas dibunuh!,” teriak salah seorang lelaki yang bertubuh gemuk..

“Jangan sebut dia konyet. Panggil dia Mas Joko. Mas Joko teraniaya dirantai tanpa diberi makan dan minum, Dia mengamuk karena membela saya akan diperkosa oleh laki-laki jahat ini!. Ketika saya berharap untuk membawanya pulang, bapak ini meminta tiga ratus ribu. Bukankah itu pemerasan terhadap rakyat kecil?.”” Inah menuding seorang lelaki yang berlumur darah.

“Itu tidak benar!. Itu tidak betul!,”: teriak karyawan itu lagi

“Jangan katakan tidak benar. Coba perhatikan bapak yang jahat ini. Coba perhatikan bibir dan pipinya penuh lipstik karena mencium saya!”

Semua karyawan memandang wajah lelaki kurus yang sudah jadi korban amukan monyet jantan itu. Semua terheran-heran melihat ada lipstik di bibir dan pipinya. Mereka baru sadar apa yang telah dilakukan oleh lelaki bertubuh kurus itu.

“Mas Joko membela kebenaran dan kebenaran itu ada di pihak saya. Kebenaran itu ada di pihak rakyat kecil!”, teriak Inah lagi lantang dan penuh semangat.

Semua terdiam.

“Sekarang pilih salah satu. Pukul dan bunuh saya di sini atau bawa bapak ini ke rumah sakit untuk diobati! Lalu serahkan dia kepada polisi!”

Tidak ada yang bergeming.

“Ayo lakukan!. Bunuh saya atau bawa bapak ini ke rumah sakit kemudian antar ke kantor polisi!!”

Dua orang lelaki bergerak untuk menolong lelaki bertubuh kurus dan berkumis lebat itu. Lelaki yang doyan duit dan doyan perempuan tiu akhirnya dilarikan ke rumah sakit untuk perawatan luka-lukanya.

“Tidak usah khawatir dia akan terkena virus rabies. Mas Joko tidak memiliki penyakit rabies. Mas Joko sehat.” ujar Inah. Tiba-tiba saja monyet jantan itu melompat ke gendongan Inah. Mereka berdua pergi meninggalkan kantor yang merupakan neraka itu. Kantor itu tidak lebih dari pusatnya pemerasan terhadap orng-orang yang lemah. Di tempat itu para pedagang kaki lima selalu mengulurkan rupiah yang tidak sedikit.

***

Meskipun tidak tersiar melalui surat kabar, tapi berita tentang seekor monyet yang mengamuk di kantor itu tersebar luas dari bibir ke bibir. Apa yang terjadi di instansi itu memang banyak hikmahnya. Lelaki bertubuh kurus dan berkumis lebat itu akhirnya dipindahkan ke bagian lain. Mendadak lelaki itu dimutasikan di tempat yang kering. Bahkan ia tidak lagi punya meja . Lelaki itu telah kehilangan meja basah. Lelaki itu sudah terlalu kenyang dari hasil memeras para pedagang kaki lima hingga tubuhnya kurus tapi perutnya buncit.

Tidak sampai di situ. Tuhan juga menurunkan hukuman yang setimpal bagi lelaki jahat itu. Setelah kehilangan jabatan, lelaki itu mengalami stress berat dan akhirnya mengalami stroke.

Tidak harus buru-buru Inah tampil melakukan atraksi bersama Mas Joko. Mereka harus beristirahat dan Mas Joko memang tampak sedikit letih. Mas Joko ketika diberi makan apel dan minum susu tapi tidak segera melahapnya.. Inah merasa amat iba dan kasihan. Air matanya berlinang dan hampir menitik.

“Aku sangat bersyukur Mas Joko sudah melindungi diriku.” Bisik Inah di depan Mas Joko.

Mas Joko hanya berdiam diri.

“Andainya saat itu Mas Joko tidak ada, andainya Mas Joko tidak lompat dari loteng kantor itu, mungkin aku sudah menjadi korban nafsu bejat pejabat di kantor itu.”

Mas Joko hanya menatapnya, tapi ia tampak lesu.

“Terima kasih,Mas Joko. Kita memang benar-benar senasib. Kita saling melindungi.” Inah mencium monyet itu. Tapi hewan itu tampak belum bersemangat .

“Jangan sakit,Mas Joko. Bukankah Mas Joko sudah bebas dari belenggu?. Mas Joko sudah bebas dari perbuatan zalim. Untuk yang akan datang kita harus berhati-hati. Kalau ada penggusuran kita harus segera menyingkir.”

Mas Joko menunduk. Sedih. Ia memang kehilangan semangat sejak jadi korban penggusuran lalu tubuhnya di rantai di kaki meja. Ia seperti menderitai sakit. Wajahnya pucat. Tubuhnya lemah. Bergerakpun rasanya berat dan malas. Mas Joko lebih banyak termenung dan berdiam diri.

Penggusuran pedagang kaki lima memang terkesan selalu membawa masyalah. Tidak jarang setiap berlangsung aksi penggusuran selalu diwarnai dengan kerusuhan dan kericuhan antara pedagang kaki lima dengan aparat penertiban. Apalagi kalau sudah dibarengi dengan penyitaan alat-alat barang dagangan. Kasihan kalau pedagang kue lalu sejumlah kue dan mejanya dilempar ke atas truk dengan kasar. Bahkan uang dalam gerobak juga sudah sering terjadi ikut disita dan hilang entah kemana, mungkin ditilep oleh petugas-petugas jahat itu.

Tidak jarang petugas penertiban itu dilempari dengan tomat busuk. Dilempari batu atau benda-benda lain juga sering. Dilempati dengan telur busuk juga sering terjadi. Rakyat kecil seperti pedagang kaki lima itu berbuat anarkis hanya kalau dalam keadaan terpaksa, kalau miliknya disita dengan paksa dan tanpa tanda terima.

“Ayo kita ke dokter. Biar dokter memeriksa dirimu. Mas Joko mungkin perlu suntikan dan vitamin,” ujar Inah kemudian.

Inah menyalin pakaian. Ia memoleskan lipstik di bibirnya dan membedaki dirinya dengan bedak harum. Ia tampak cantik sekali ketika membawa Mas Joko ke dokter hewan.

Jangan anggap klinik hewan sepi dari pasien. Di klinik itu sudah antri berbagai jenis binatang peliharaan untuk mendapat perawatan dan kesehatan. Ada seorang gadis memabwa seekor kucing yang berbulu lebat, cantik, bersih tapi tubuhnya lesu. Ada burung kakak tua yang tampak sakit. Juga ada anjing herder yang perlu sentuhan tangan dokter hewan. Burung beo yang sakit juga ada di sana. Burung kakak tua yang sedang sakit juga tampak di klinik hewan itu.

Tapi yang paling banyak adalah anjing yang sakit. Padahal anjing-anjing itu cantik, bagus dan berharga mahal serta makanannya lebih mewah dari manusia. Itulah nasib binatang terkadang amat dimanjakan oleh pemiliknya dan memberinya makan daging serta susu dan keju.

Meskipun sangat dimanjakan, tapi anjing yang mengidap rabies juga ada dan harus dikarantinakan beberapa hari sambil diobati. Seorang kakek terlihat mengusap-usap ayam jagonya yang sakit, padahal ayam jago itu selalu tampil dalam berbagai pertarungan laga ayam. Lelaki itu memang tampaknya adalah seorang pelaku laga ayam yang profesional. Ia memang sudah sering memenangkan adu ayam. Memang ayam jagonya tampak sangat perkasa dan tajinya tampak panjang dan amat tajam. Lelaki itu tampak sangat sayang pada ayam jagonya yang pernah memenangkan taruhan ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Tapi sayang, wabah flu burung tidak terelakkan. Ayam jago yang selalu perkasa, yang selalu memenangkan adu ayam, tidak mampu menepis flu burung. Dan penularan virus flu burung amat cepat melalui kontak dengan unggas itu.

Itulah sebabnya orang-orang tidak ada yang berani dekat dengan sang kakek yang membawa ayam jago itu. Inah juga duduk berjauhan. Ia duduk di sisi seorang lelaki China yang membawa anjingnya yang sakit.

Semua pemilik hewan-hewan itu terheran-heran ketika melihat Inah masuk dengan menggendong seekor monyet jantan. Mas Joko amat manja dalam gendongan gadis itu. Bagaikan seorang bocah Mas Joko amat erat memeluk tubuh Inah.

“Seperti anak manusia!,” cetus seorang perempuan pemilik anjing herder.

“Ya, saya memanjakannya seperti manusia. Saya juga memberi nama manusia pada dirinya.”

“Siapa namanya?,” perempuan itu ingin tahu.

“Mas Joko.”

“Nama yang bagus. Tetangga saya juga bernama Mas Joko dan seorang insinyur teknik dan baru saja pulang dari Amerika untuk menyelesaiakn program doktor” cetus perempuan pemilik anjing herder yang sedang sakit. “Di sini saya bertemu Mas Joko, tapi ujudnya seekor kera.””

“Beda dengan Mas Joko yang saya anggap sahabat dan saudara saya yang tidak mengecap pendidikan resmi. Tapi dalam hal mencari duit, Mas Joko , sahabat saya juga cukup andal,” ujar Inah penuh rasa bangga.

“Mencari uang dengan cara apa?”

“Seni pertunjukan topeng monyet.”

“Wah anak dan cucu saya paling senang nonton atraksi topeng monyet yang lucu dan kocak. Saya selalu memberinya saweran sepuluh ribu.”

Inah tersenyum

“Anda tampak seperti sangat memanjakan dan menyayangi Mas Joko.”

“Ya, lebih daripada persaudaraan biasa. Biarlah saya tidak usah buru-buru menikah asal selalu dekat dengan Mas Joko. Bahkan saya tidak ingin kawin buat selamanya karena sudah ada Mas Joko di sisi saya..”

“Aneh, Mas Joko seperti suami anda.”

“Begitulah adanya. Saya senang padanya dan saya merasa tidak dapat hidup tanpa Mas Joko.”

“Saya kagum. Jarang ada orang seperti anda memelihara hewan , menyayanginya sekali gus mencintainya..”

“Biarlah Mas Joko sebagai pengganti suami.”

Inah bangga ketika berkata seperti itu. Di depan para pemilik hewan di klinik hewan itu ia mengusap bulu kuduk Mas Joko dan menciumnya.

Dokter hewan itu tersenyum ketika Inah dan Mas Joko masuk dan duduk di depan dokter hewan itu. Inah masih sempat mengusap kepala Mas Joko yang memeluk tubuhnya amat erat, seperti ketakutan.

“Jangan takut,Mas Joko. Kita sedang berada di depan dokter yang akan memeriksa kesehatan Mas Joko. Dokter akan memberi Mas Joko obat kalau sakit. Dokter juga akan memberi vitamin supaya Mas Joko perkasa lagi.”, ujar Inah kepada Mas Joko..

Dok ter hewan itu heran, pasiennya seekor monyet jantan , tapi seperti mengerti bahasa manusia. Dokter hewan itu juga heran, gadis di depannya amat akrab dengan sang monyet yang diberi nama Mas Joko.

“Sangat jarang seseorang akrab dengan hewan peliharaannya, seperti anda, seperti saling mengerti, seperti saling menyayangi.” cetus dokter itu

“Ya, kami saling menyayangi. Saya datang dari Jawa Tengah hanya ditemani Mas Joko. Kami hanya berdua dan saling menyayangi, saling mencintai. Mas Joko adalah bagian dari hidup saya.”

Ketika dokter itu memeriksa tubuh sang monyet, Inah masih sempat bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya bersama sang monyet yang menjadi mitra pada pertujukan topeng monyet. Kepada dokter hewan itu ia berkata ,bahwa dirinya adalah dalang topeng monyet. Di depan dokter hewan itu, ia bangga menyebut dirinya sebagai pawang monyet. Dokter hewan itu semakin heran dan kagum.

“Anda memang luar biasa. Anda mampu menciptakan hubungan batin yang sangat akrab antara manusia dan hewan, suatu hal yang jarang terjadi.”

“Saya memang selalu melakukan hal-hal yang terbaik untuk Mas Joko. Saya tidak dapat hidup tanpa Mas Joko.”

Dokter itu semakin heran dan makin kagum.

“Bagaimana dengan kesehatan Mas Joko, dokter.” Gadis pawang tmonyet itu menatap wajah dokter yang simpatik itu.

“Mas Joko tampak bersih dan harum, beda dengan hewan-hewan lainnya.”

“Saya selalu merawatnya,memandikannya dan terkadang mengajaknya menari bersama.”

“Mas Joko sehat. Dia hanya stress berat.”

“Mas Joko baru saja mengalami penyiksaan berat.”

“Siapa yang menyiksanya?”

“Aparat penertiban. Mas Joko jadi korban penggusuran lalu dibawa ke kantor dan diikat tanpa diberi makan dan tanpa minum”

“Kasihan!”

Dokter hewan itu memberikan vitamin dan obat.

“Apakah Mas Joko menderita rabies,dokter?”

“Tidak!. Sama sekali tidak. Mas Joko benar-benar sehat, seperti halnya anda yang mengasuh dan memeliharanya. . Berbahagialah anda bisa bersahabat dengan Mas Joko yang sehat dan bebas dari virus rabies. Padahal sebagian besar hewan seperti kucing dan anjing yang sakit dan dibawa kemari menderita virus rabies. Anda bebas bersama Mas Joko.”

“Saya akan tidur bersama Mas Joko nanti!”

Ucapan itu hanya membuat heran dokter hewan itu. Aneh, bila ada seorang gadis berusia hampir tiga puluh mencintai seekor monyet dan mau tidur bersama hewan itu.

“Biarlah Mas Joko istirahat dua atau tiga hari,” itulah anjuran terakhir dokter hewan itu.

“Terima kasih , dokter. Mas Joko akan beristirahat dengan tenang di sisi saya. Saya akan menyanyikan lagu-lagu Jawa untuknya. ”

“Mas Joko tentu senang sekali mendengar suara anda.”

“Ya,senang sekali!”

Semua orang yang hadir membawa hewan-hewan peliharaannya memperhatikan Inah dan Mas Joko dengan sikap heran. Inah melangkah dengan tenang menggendong Mas Joko yang amat manja.

***

Belum sempat duduk ketika tiba di rumah, dua orang tamu mengendari sepeda motor sudah menantinya di rumah. Gadis yang dikenal orang ramai sebagai paranormal itu belum sempat minum sama sekali ketika tamunya berkata:

“Kami datang dari desa Batang Kuwis,”

“Jauh sekali”

“Ada sesuatu maksud kemari?”

“Kami datang untuk mohon bantuan Mbak Inah.”

“Bantuan apa?”

“Isteri saya menderita demam tinggi”.

”Sudah dibawa ke Puskesmas?” Inah menatap tamunya yang keduanya adalah lelaki.

“Isteri saya melahirkan seorang anak lelaki di Puskesmas, tapi dokter itu tidak mampu menyembuhkan demamnya, sehari setelah pulang dari Puskesmas.”

“Saya akan membantu, tapi harus naik apa?”

“Sepeda motor.”

“Saya berharap ada seseorang yang menemani dari rumah saya, maklum saya seorang perempuan..”

“Boleh saja!.

“Saya ditemani Mas Joko!”

Tentu saja tamunya keheranan ketika Mbak Inah bersiap-siap dengan menggendong seekor monyet jantan untuk berangkat ke desa Batang Kuwis di Kecamatan Deli Serdang.

“Apakah Mas Joko tidak menggigit saya nanti?” tanya sang tamu dengan perasaan amat khawatir dan takut.

“Mas Joko baik hati, dia tidak akan menggigit siapapun.”

“Tidak mau mencakar?”

“Yakinlah, Mas Joko baik hati dan tidak mau melukai orang lain, tidak mau menyakiti siapapun.”

Inah memberikan jaminan, bahwa Mas Joko tidak akan menggigit dan tidak akan mencakar dan tidak mau melukai siapapun.

Mbak Inah tampak cantik sekali ketika ia mengenakan celana longgar dan baju panjang berwarna biru laut serta rambutnya ditutupi selendang hitam Mbak Inah duduk di belakang dan persis seperti induk monyet, Mas Joko ada dalam gendongannya. Dua sepeda motor itu meluncur di tengah perkampungan. Mereka menempuh jarak yang cukup jauh, melewati beberapa desa dan jalanpun berlumpur..

Seperti layaknya manusia Mas Joko memperhatikan pemandangan indah sepanjang perjalanan menuju kawasan Batang Kuwis. Jalan desa tidak beraspal tentulah tidak mulus dan berlumpur sehingga sepeda motor itu tidak dapat meluncur kencang. Apalagi ketika harus menyeberangi sungai dan jembatanpun sudah tua sehingga setiap kenderaan yang lewat harus super hati-hati.

Ketika musim kemarau berlangsung seperti saat itu, debu beterbangan setiap ada kenderaan yang lewat. Hujan memang sudah lama tidka turun di kawasan itu.

“Kenapa jauh-jauh mencari saya. Kenapa tidak mencari orang pintar di sekitar Batang Kuwis?” tanya Mbak Inah ketika mereka melewati jembatan darurat di atas sungai yang airnya keruh.

“Nama Mbak Inah sudah sangat terkenal di desa kami sebagai seseorang yang bertangan dingin dalam mengobati penyakit.”

Mbak Inah tersenyum dalam hati. Inilah kehidupan, pikirnya. Di dasar hatinya ia mengakui, bahwa dirinya bukanlah seorang dukun. Ia mengakui dirinya sendiri bukan seorang paranormal. Hanya orang lain yang menganggapnya dukun. Banyak orang menanggapnya sebagai paranormal. Kalaupun ia pernah mengobati orang lain yang sakit, karena ia melakukannya dengan berpedoman pada buku primbon Jawa. Bila ia banyak menyembuhkan orang sakit, bukan karena pintar, tetapi karena petunjuk primbon warisan orang tuanya.

Aku hanya dalang pertunjukan topeng monyet. Aku hanya pawang monyet. Aku bukan dukun. Aku hanya sahabat Mas Joko. Kalau aku dapat meracik ramuan karena aku membacanya di buku primbon yang sudah kumuh dan kusut. Aku bukan paranormal. Aku bukan dukun yang bertangan dingin. Hanya masyarakat yang menganggap diriku sebagai orang pintar!. Ujarnya berkali-kali dalam hati.

Apalagi ketika matahari sangat terik ketika musim kemarau sudah berlangsung berbulan-bulan, Inah membaca mantera:

Lir-lir, lir-lir

tandure wis semilir

tak-iji royo-royo,

tak-sengguh penganten anyar

Bocah angon, bocah angon

penekna blimbing kuwi

lunyu-lunyu peneken,

kanggo masuh dodotiro

Dodotiro,dodotiro

kumilir bedah ing pinggir

dondamana, jlumatana,

kanggo seba mengko sore

Mumpung gede rembulane

mumpung jembar kalangane,

Suraka surak horeeee

Aneh, dalam waktu beberapa saat kemudian berhembus angin semilir membawa udara sejuk. Gerimispun turun dari langit membasahi bumi yang kering kerontang. Orang awam semakin kagum kepada Mbak Inah. Anggapan orang, bahwa Mbak Inah adalah dukun yang bertangan dingin semakin meluas. Ia mampu memanggil angin dan menurunkan hujan.

Dan penampilannya bersama Mas Joko yang sangat akrab menyebabkan penilaian masyarakat terhadapnya sebagai dukun semakin yakin. Suasana akrab dan penuh persaudaraan antara gadis pawang monyet itu dengan Mas Joko menyebabkan masyarakat dan orang awam menganggapnya Mbak Inah memiliki prewangan yang menjelma dalam bentuk seekor monyet,yakni Mas Joko. Seolah-olah Mas Joko adalah penjelmaaan dewa dari langit yang pintar mengobati dan meramal nasib seseorang.

“Tapi biarlah masyarakat menganggapku begitu. Jang penting aku berbuat baik Yang penting aku dan Mas Joko tidak menyakiti orang lain. Biarlah aku dianggap dukun. Biarlah aku dianggap orang pintar. Biarlah aku dianggap paranormal. Pokoknya semua itu datangnya bukan dariku dan bukan dari Mas Joko. Terima kasih, Gusti Allah. Syukur pada-Mu, Gusti Allah yang melindungi diriku dan memberiku kemurahan rezeki di Sumatera ini,” ujarnya dalam hati sepanjang perjalanan menuju Batang Kuwis yang cukup jauh.

Kasihan. Perempuan yang baru saja melahirkan dalam keadaan sekarat dan maut sudah amat dekat dengan kerongkongannya. Sebelum Mbak Inah membacakan mantera dan sebelum menyemburkan air putih, sebelum ia memberikan ramuan obat, Mbak Inah melihat ada sebuah tahi lalat berwarna hitam di pipi kanan perempuan malang yang terbaring lemah itu.

“Wah. tahi lalat di pipi kanan mempunyai makna tertentu,” ujarnya kepada suami perempuan malang yang sedang menderita itu.

“Makna apa?” tanya sang suami

“Yang penting makna yang bagus!” Mbak Inah tidak segera berterus terang. Ia membiarkan sang suami perempuan itu menatapnya dan bertanya lagi:

“Tidak bolahkah kami tahu apa makna andeng-andeng di pipi kanan isteri saya?”

“Boleh saja!”

“Kami akan mendengarnya.”

“Seorang laki-laki sangat beruntung kalau mengawini perempuan yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan.”

“Murah rezeki?”

“Ya!”

“Wah, ramalan Mbak Inah benar!. Sejak saya menikah dengan isteri saya, rezeki kami memang lumayan. Saya hanya bekerja sebagai kuli bangunan pada awalnya, tapi lambat laut bisa jadi tukang. Pesanan untuk membuat rumah baru datang dari berbagai penjuru dan tidak sempat mengerjakannya. Tapi waktu tidak mengizinkan, pekerjaan itu sebagian saya berikan kepada orang lain dan saya mendapat persen yang cukup lumayan”

“Nah itulah berkah perempuan yang ada tahi lalat di pipi kanan.”

“Masih ada yang lain menurut ramalan Mbak Inah?”

“Masih!”

“Apa lagi?”

Mbak Inah seperti berbisik di telinga Mas Joko seakan-akan Mas Joko mengatakan sesuatu kepadanya. Padahal apa yang diucapkan adalah menurut wasiat primbon Jawa yang selalu disimpan dan selalu dibacanya.

“Perempuan yang memiliki tahi lalat di pipi kanan mempunayi watak rendah hati, jujur, suka menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan dan jiwanya tulus.”

“Benar!. Sungguh benar!” cetus suami perempuan yang terbaring itu. “Isteri saya selalu membantu orang lain. Dia suka membantu orang miskin. Ia suka memberi derma kepada masjid atau pengemis. Dia sangat setia kepada saya dan selalu menyajikan makanan kesukaan saya. Kalau membantu orang lain atau memberi derma, tangan kanannya mengulurkan sesuatu, tapi tangan kirinya tidak mengetahui.“

“Itulah yang terbaik! Orang lain tidak boleh tahu kebaikan kita. Hanya Gusti Allah yang tahu dan membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.”

Inah tersenyum ketika mengatakan hal itu..

“Berbahagialah anda memiliki isteri cantik dan rezekinya murah.” ujar Mbak Inah lagi.

“Ya, saya merasa berbahagia. Saya sangat mencintai isteri saya. Karena itulah ketika isteri saya sakit saya sangat sedih dan saya berharap Mbak Inah dapat menyembuhkan penyakit isteri saya. Siapa tahu ada roh jahat menempel dalam diri isteri saya.”

“Saya dan Mas Joko akan berusaha, agar kesehatan isteri anda kembali pulih.”

“Terima kasih.”

Di depan si sakit, Mbak Inah membaca mantera sibisanya. Di sisinya Mas Joko juga melakukan gerakan-gerakan kaki depan dan kepalanya. Mbak Inah memberikan ramuan rebusan yang terdiri dari kayu rapat, sambiroto, daun jinten, daun ilor atau maina, Asam Jawa, daun sendokan dan air putih. Inah juga menyapukan air putih yang sudah diberi mantera ke wajah si sakit.

Tuhan memang memperkenankan doa umatnya seperti yang dilakukan Mbak Inah dan doa Mas Joko, hingga si sakit perlahan sekali sadarkan diri.

“Tunggulah hingga besok, mudah-mudahan isteri anda sudah sembuh,”, ujarnya kepada suami si sakit.

“Terima kasih.”

Mbak Inah dan Mas Joko mohon diri. Tuhan memang masih melindungi perempuan sakit itu dan sembuh.

Mbak Inah sangat bersyukur ketika suami perempuan yang sedang sakit itu memberinya uang yang lumayan. Itulah sebabnya, meskipun selama lima hari ia tetap di rumah bersama Mas Joko, ia tidak mengalami kesulitan untuk nafkah hidupnya bersama Mas Joko. Mbak Inah tetap tampak hidup santai, enjoi dan berbahagia. Dari arah rumahnya selalu terdengar lantunan lagu-lagu Jawa, karena Mbak Inah memang paling suka berkaraoke mengiringi tembang dari tampiln VCD.

Bahkan di rumah itu, Mbak Inah selalu tampak berjoget bersama Mas Joko yang kini sudah memiliki semangat. Bersama Mas Joko, Mbak Inah menikmat buah apel, pier,duku dan mangga. Perempuan yang sudah tidak memiliki ayah bunda karena direnggut bencana longsor itu tampak hidup bahagia jauh di rantau orang. Mbak Inah tidak pernah menangis menyesali nasibnya. Ia tidak pernah menitikkan air mata. Ia tidak pernah mengeluh. Mbak Inah tidak pernah murung dan bersedih. Bahkan ia lebih sering bercanda bersama temannya yang paling setia, yakni bersama Mas Joko.

***

Sebagai gadis yang berdarah Jawa, seharusnya petunjuk primbon selalu menjadi panutan. Gadis yang dilahirkan pada hari Jum’at Legi seharusnya mencari rezeki di arah Barat dan Utara. Tiap Mbak Inah melakukan pertunjukan topeng monyetnya di arah itu, pasti rezekinya jauh dari lumayan. Pasti pulang dari arah itu, ia dapat membeli bedak, sampo, parfum, buah apel. Rezekinya yang lumayan membuatnya enggan naik bis umum yang sarat dengan muatan. Ia sengaja naik taksi. Dalam taksi ia selalu duduk di jok belakang, tepat di belakang sopir. Mas Joko selalu berada di sisinya dan terkadang menyandarkan kepalanya di tubuh Mbak Inah. Monyet itu memang amat manja kepada Mbak Inah di mana saja, ketika di rumah, ketika dalam anggkutan umum atau ketika mengobati orang sakit.

Itulah sebabnya bila ia melakukan pertunjukan di Tanjung Balai, tidak langsung pulang, tapi singgah di Kisaran dan di kota itu penonton sangat banyak. Siapa lagi yang menonton di kota itu kalau bukan orang-orang yang bekerja sebagai buruh perkebunan?. Mbak Inah dan Mas Joko amat bahagia banyak menerima salam dan uluran tangan dari para penonton yang mengaguminya.

Di mana lagi menginap jauh dari rumah kalau tidak di hotel?. Kadang-kadang sampai dua malam ia harus menginap di hotel bersama Mas Joko. Di mana lagi Mas Joko tidur kalau tidak di sisi Mbak Inah?. Bahkan tidurpun monyet jantan itu memeluk Mbak Inah. Seperti suami isteri. Berkasih sayang.

Di kawasan Asahan dan Batubara memang terdapat sangat banyak perkebunan milik pemerintah dan swasta. Juga milik asing dan para asisstennya bergaji besar. Itulah sebabnya ketika melakukan pertunjukan penonton yang terdiri dari anak-anak asisten memberi saweran yang lumayan. Itulah sebabnya gadis pawang monyet itu menjelajah satu perkebunan ke perkebunan lainnya.

Tetapi dengan cara itu, Inah telah melakukan kesalahan besar. Ia tidak lagi menempuh arah utara dan barat seperti yang dituntun dalam primbon Jawa kuno. Dari satu kebun, ia menempuh arah selatan untuk dapat sampai ke perkebunan lainnya. Padahal itulah yang salah arah dan rezekinya jauh berkurang. Inah seperti mendapat surat peringatan dari langit, tapi ia tidak mendengarnya.

“Jangan menempuh arah itu, hai gadis Jawa!.” Peringatan itu terdengar dari langit bersama angin dan rintik hujan, ketika Mbak bersama Mas Joko dalam taksi.

“Kamu akan mengalami apes nanti. Kamu akan mengalami hambatan dan kesulitan nanti. Tempuhlah arah yang benar, hai Gadis Jawa. Tempuhlah arah barat dan utara seperti yang tertera dalam primbon. Rezekimu ada disana, hai gadis Jawa yang baik dan cantik.”

Berkali-kali suara dari langit itu terdengar dibawa angin dan rintik hujan. Tapi tetap saja Inah tidak mendengar dan tidak perduli. Kasihan peringatan itu tidak terdengar karena deru taksi yang meluncur di jalan kebun yang tidak beraspal dan debu beterbangan dimana-mana. Lalu kalau musim hujan jalan itu penuh lumpur.

Dalam taksi yang membawanya pulang bersama Mas Joko, Mbak Inah bernyanyi kecil karena hatinya gembera selama beberapa hari menjelajah perkebunan demi perkebunan ia dapat mengantongi banyak rezeki dari saweran. Taksi itu meluncur cepat di jalan raya lintas Sumatera yang biasanya dipadati dengan bis-bis jarak jauh maupun truk angkutan barang antar propinsi. Sopir taksi menginjak rem karena di depannya kenderaan tampak antri.

“Kenapa lambat ,bang sopir?,” tanya Inah.

“Macet!,” sahut sang sopir.”

“Kenapa macet?”

‘Biasanya ada kecelakaan.”

“Berhati-hatilah!” Mbak Inah memberi peringatan.

“Saya sudah lebih lima belas tahun jadi sopir taksi, Alhamdulillah belum pernah sekalipun nabrak orang,” ujar sang sopir yang mengenakan topi lebai layaknya seorang haji. Sang sopir memang terbilang taat pada agamanya. Di kaca depan tergantung seuntai tasbih dari manik-manik yang indah. Hadis nabi bertuliskan Arab juga terlihat ditempel di mobil itu yang mengingatkan sholat dan bersedekah. Doa dalam perjalanan beraksara Arab tampak ditempel di kaca depan sehingga setiap penumpang otomatis membaca doa mohon perlindungan dalam perjalanan.

“Tabrakan juga tidak pernah?”

“Mudah-mudahan Tuhan melindungi saya.”

Taksi berjalan amat lamban, seperti merayap karena antrian kenderaan yang cukup panjang.

“Tampaknya bukan karena ada kecelakaan,” terdengar lagi suara sang sopir taksi:

“Ada apa sebenarnya?”

“Tampaknya seperti ada pemeriksaan.”

“Pemeriksaan kenderaan?. Banyak kenderaan curian melintas di jalan ini?” Mbak Inah ingin tahu.

“Bukan kenderaan curian!”

“Lalu kenderaan apa yang diperiksa?”

“Biasanya truk besar!”

“Truk yang membawa sembako juga diperiksa?” Mbak Inah menatap jauh ke depan, kenderaan amat banyak.

“Truk membawa sembako biasanya aman-aman saja, sebab untuk kepentingan rakyat banyak. Pejabat juga butuh sembako.”

“Lalu apa yang diperiksa di jalan raya ini sampai macet?”

“Biasanya kayu ilegal?”

“Banyak pencuri kayu lewat di sini?”

“Ya, sangat banyak.”

“Nilainya jutaan?”

“Bukan lagi jutaan, tapi milyaran. Tapi meskipun tiap hari diadakan razia kayu curian, tapi . pencurian kayu terus saja terjadi.”

“Kenapa begitu?”

“Soalnya duit. Kalau kenderaan yang membawa kayu curian tertangkap tangan lalu kepada petugas disodori duit.”

“Berapa?”

“Banyak?”

“Bisa ratusan ribu, bisa juga jutaan.”

“Jahat!. Sungguh jahat kalau petugas mau menerima uang sogok. Negara ini akan hancur kalau suap terus merajalela. Kapan negara ini akan makmur kalau tidak ada lagi petugas yang jujur?,” Mbak Inah bicara seperti diplomat, padahal dia hanya seorang dalang topeng monyet. Padahal dia hanya pawang monyet.

“Negara kita sudah lama makmur kalau petugasnya jujur. Bangsa kita sudah lama kaya dan rakyatnya sejahtera, kalau aparatnya berjalan lurus. Rakyat kita tidak ada lagi yang hidup miskin kalau aparatnya jujur.”

Mbak Inah diam sejenak.

“Suap memang ada dimana-mana. Rakyatpun akan terus miskin karena kebocoran uang negara ada dimana-mana.” ujar sang sopir lagi.

“Rakyat juga menderita dimana-mana.”

“Ya rakyat semakin kurus dan kurang gizi sementara yang namanya pejabat dan aparat bertambah gendut dan perutnya buncit.”

Sepanjang jalan tampak kenderaan truk besar membawa kayu gelondongan, pura-pura diperiksa aparat, tetapi akhirnya diperkenankan lewat setelah memberikan sejumlah uang. Sopir-sopir yang tidak mampu memberikan uang sogok lalu truk dan muatannya ditahan di pinggir jalan itu sehingga menyebabkan kemacetan panjang.Taksi yang ditompangi Mbak Inah juga dihentikan aparat ketika akan lewat.

“Kami mohon lewat,Pak. Kami tidak membawa kayu,” ujar sang sopir.

“Tapi penumpang anda membawa hewan”

“Hanya seekor kera,Pak!”

“Kera juga ada yang harus dilindungi. Kera ini harus ditahan dan dikembalikan ke habitatnya serta pemiliknya harus diproses menurut hukum.”

Bergidik bulu roma Mbak Inah mendengar ucapan itu.

“Anda dipersilahkan turun!,” ucap seorang aparat.

“Saya hanya dalang topeng monyet,Pak. Saya tidak bersalah!”

“Anda membawa hewan yang dilindungi! Kami berharap anda dapat menunjukkan dokumen tentang hewan yang dibawa”

“Mana ada dalang topeng monyet mempunya dokumen. Saya memelihara Mas Joko sejak masih bayi.”

Tidak ada alasan apapun. Mbak Inah dipaksa untuk menyerahkan Mas Joko kepada aparat yang melakukan pemeriksaan di jalan raya itu. Aparat itu berkata lebih lanjut tentang hewan penghuni hutan atau fauna yang dilindungi dan dilarang untuk diburu, dipelihara maupun diperjual belikan. Pelakunya dapat dijerat hukuman.

Dengan lagak pejabat yang faham akan semua undang-undang yang menyangkut tentang kehutanan , seorang aparat menjelaskan beberapa jenis fauna yang dilindungi seperti Macan Jawa, Macan Kumbang, Jalak Putih, Burung Gosong, Kakak Tua Putih Jambul Kunjing, Monyet asal Sulawesi dan banyak lagi.

“Monyet anda kami tahan,” uajr petugas itu.

“Jangan,Pak!. Jangan!”

“Harus kami tahan demi hukum.”

“Tolong saya,Pak. Jangan tangkap Mas Joko.”

“Tidak ada alasan apapun. Hewan yang dilindungi harus dilepaskan ke habitatnya.”

“Kasihanilah saya, Pak. Mas Joko sudah bertahun-tahun bersama saya. Mas Joko sudah sangat lama menjadi teman saya, menjadi saudara saya. Kasihanlah kepada saya. Tolonglah saya, biarlah Mas Joko bersama saya.”

Mbak Inah memelas dan berharap agar Mas Joko tidak ditangkap dan dilepas dihutan belantara. Tapi petugas itu tidak mau mendengar ucapan Mbak Inah. Aparat itu tetap besikeras untuk menyita kera milik Mbak Inah.

“Tolonglah saya,Pak. Maafkan saya,Pak. Jangan pisahkan Mas Joko dari sisi saya. Dia lebih senang di sisi saya daripada dilepas di hutan bebas. Mas Joko akan mati disana. Mas Joko tidak dapat mencari makanannya sendiri karena sudah terbiasa saya berikan. Bahkan Mas Joko tidak dapat memanjat pohon karena sudah terbiasa saya gendong kemana-mana.”

Apapun yang dikatakan Mbak Inah, aparat itu tidak perudli. Bahkan dengan kasar salah seorang petugas berusaha menurunkan Mas Joko dari dalam taksi.

“Jangan,Pak. Jangan paksa Mas Joko turun. Kasihanlah kepadanya,Pak. Dia akan sangat menderita nanti. Dia akan mati di tengah hutan nanti.”

Tetap saja Mbak Inah memelas mohon agar Mas Joko yang sangat dicintainya dapat diberi izin pergi bersama Mbak Inah. Tapi tetap saja aparat dari instansi kehutanan itu bertindak kasar untuk menyita sang monyet

“Ampuni saya, Pak. Izinkan Mas Joko tetap bersama saya. Kasihanlah kepada saya yang tidak mempunyai sanak famili di Sumatera.”

Masih sempat Mbak Inah berkata ,bahwa ayah bundanya tewas ketika desanya dilanda bencana tanah longsor.. Tapi tetap saja aparat itu bersikukuh untuk menangkap sang monyet yang juga tampak ketakutan dalam taksi.

“Tolong saya,Pak. Seandainya bapak suruh saya mencium kaki bapak akan saya lakukan demi Mas Joko dapat pulang bersama saya. “

Aparat itu tetap saja berusaha dengan kasar untuk menurunkan sang monyet dari dalam taksi.

“Demi Tuhan, saya akan menyembah kaki bapak!”

“Tidak!. Tidak ada gunanya!”

“Kalau bapak tetap akan menangkap Mas Joko, tangkap juga diri saya. Biar Mas Joko tetap bersama saya, biar dia tetap hidup!”

Kata-kata itu tampak membuat sang aparat bingung dan berpikir dua kali.

“Tangkap saya,Pak. Biar Mas Joko tetap hidup, biar saya tetap hidup bersama saya di tengah hutan.”

“Monyet ini harus segera dikembalikan ke hutan!”

“Kalau begitu tekad bapak, tangkaplah saya. Biarlah diri saya dibuang ke tengah hutan, biar saya tetap bersama Mas Joko. Ayo tangkap saya sekarang”.

Petugas kehutanan itu tampak ragu-ragu dan gadis pawang monyet itu pasrah.

“Ayo tangkap saya sekarang bersama Mas Joko. Ayo antarkan saya ke tengah hutan bersama Mas Joko!”

Mbak Inah benar-benar pasrah. Dia benar-benar rela dibuang ke tengah hutan asal bersama Mas Joko. Baginya tidak ada pilihan lain. Biarlah di hutan dia akan makan buah-buahan hutan atau dedaunan. Ia rela mati bersama Mas Joko yang sangat dicintai dan dikasihaninya sepenuh hati.

“Ayo tangkap saya sekarang juga!. Ayo antarkan saya kehutan sekarang. Demi Gusti Allah saya rela tinggal di tengah hutan.”

Sopir taksi menghampiri Mbak Inah dan berbisik

“MBak membawa duit?,” bisik sopir taksi di telinga Mbak Inah..

Mbak Inah mengangguk.

“Berapa duit harus saya berikan?”

“Lima puluh ribu.”

“Koq sebanyak itu.”

“Itupun mungkin masih kurang.”

Inah merogoh saku celana jinnya. Memang ada uang lima puluh ribuan tiga lembar. Selembar uang itu disodorkan kepada sang aparat yang mata duitan. Lelaki aparat itu tidak segera menerimanya, tapi melihat jumlahnya dulu.

“Tidak cukup!,” cetus aparat itu.

“Saya tidak punya uang lagi.” Mbak Inah memelas.

“Kalau memang tidak punya uang lagi, biarlah monyet ini kami tangkap!.”

“Jangan!. Jangan tangkap Mas Joko.”

Sesaat Mbak Inah memikir-mikir. Pemerasan telah terjadi dimana-mana. Pungli sudah merajalela dan di setiap tempat, tidak hanya di kantor pemerintah, tapi juga di jalan raya dan di pasar-pasar. Korban-korban penggusuran yang gerobaknya digusur dan ditertibkan sebenarnya sudah sering mengajukan protes dan perlawanan karena mereka setiap bulan, bahkan setiap hari dikenakan kutipan restribusi.

Keterlaluan!. Kejam!. Zalim!.Biar dikutuk Gusti Allah!. Mbak Inah melontarkan sumpah serapah ketika ia mengulurkan selembar lagi uangnya. Itupun masih kurang dan tanpa malu-malu meminta selembar lagi uang lima puluhan ribu. Setelah tiga lembar uang lima puluh ribuan diterima sang petugas barulah taksi yang ditompangi Mbak Inah diperkenankan melanjutkan perjalanan.

Pantaslah negara ini semakin terpuruk karena aparatnya bermental ular berbisa. Pantaslah rakyat bangsa ini semakin miskin karena uang yang seharusnya masuk kas pemeritnah, tapi akhirnya masuk kantong pribadi. Yang namanya kutipan, yang namanya pemerasan ada dimana-mana. Sampai ke desa-desa, sampai ke pelosok tanah air, di sepanjang kaki langit. Apa lagi rakyat cilik yang berurusan dengan hukum, pasti uangnya dikuras habis. Mau kerjapun butuh duit segepok. Mohon izin sesuatu keperluan butuh setumpuk uang. Apapun urusannya, pasti ujung-ujungnya duit. Semua urusan butuh duit!.

Apa lagi dalam pengurusan surat-surat di lembaga pemerintahan pasti membutuhkan duit. Uruslah pasport untuk menjadi TKI, pasti modalnya adalah duit. Uruslah surat izin mendirikan bangunan, pasti butuh uang. Uruslah yang namanya KTP yang dikabarkan gratis pasti butuh dana .

Taksi itu meluncur menuju Medan. Sumpah serapah tidak habis-habisnya terlontar dari celah bibir Mbak Inah.

“Hampir saja kita berpisah,Mas Joko.” ucap Mbak Inah “Tapi percayalah Mas Joko, kalau Mas Joko dikembalikan ke hutan, Mas Joko tidak akan sendirian karena aku akan ikut ke hutan untuk mendampingi Mas Joko.”

Dengan kasih sayang, Mbak Inah mencium kening monyet itu. Ia hampir menangis. Mbak Inah merasa telah terhindar dari bencana besar.

“Syukur padaMu ,Gusti Allah!,” berkali-kali Mbak Inah mengucap syukur. Andainya aparat itu tidak mau disodori duit , pasti ia sudah kehilangan Mas Joko. Tanpa Mas Joko, gadis pawang monyet itu tidak tahu akan berbuat apa. Tanpa monyet jantan itu, Mbak Inah tidak tahu dengan cara apa dia akan mencari nafkah. Lama Mbak Inah mengusap monyet jantan di sisinya dengan kasih sayang. Barkali-kali ia mencium kepala Mas Joko. Ia membiarkan Mas Joko memeluknya erat sekali. Taksi itu meluncur cepat menuju Medan.

Permainan pat gulipat semakin menjadi-jadi. Kebohongan semakin meluas. Para pemain sulap sudah masuk ke berbagai instansi pemerintah. Angka-angkapun amat mudah disulap. Sulit dicari orang yang berjalan lurus. Sukar ditemukan aparat yang jujur. Entah dimana sekarang orang-orang yang hatinya bersih. Dimana orang meletakkan sumpah jabatan?. Padahal setiap orang yang akan diangkat sebagai aparat harus menjalani sumpah jabatan. Kejujuran amat mahal harganya saat ini. Yang namanya perbuatan nakal ada di darat, ada di laut dan di udara juga ada. Korupsi ada dimana-mana, di seantaro nusantara. Yang namanya pungutan liar terjadi di sepanjang kaki langit tanah air ini. Nusantara yang amat luas ini telah menjadi lahan yang empuk bagi pencoleng harta Negara..

Sopir taksi itu pernah mendengar dari penumpangnya yang bekerja di instansi kehutanan, bahwa yang dilindungi tidak hanya binatang liar, tapi juga berbagai jenis fauna atau tetumbuhan, yakni pohon yang berdasarkan ordonansi perlindungan alam. Seperti pohon pinus markusi, pohon unggul, pohon induk, tidak boleh sembarang ditebang atau dirusak. Juga pepohonan yang jadi sumber kehidupan masyarakat banyak, seperti untuk sarang lebah. Juga pohon-pohon yang tumbuh di atas daerah yang dianggap suci atau keramat. Yang paling dilindungi lagi adalah pohon-pohon yang tumbuh di sekitar sumber air sungai dan peresapan air.

“Kapan negara ini akan makmur kalau pegawai pintar bermain sulap?,” terdengar suara Mbak Inah amat kesal ketika taksi itu meluncur cepat. Gadis pawang monyet itu harus mengeluarkan uang, bahkan tidak hanya uang. Mbak Inah sudah menjadi korban pelecehan ketika Mas Joko ditangkap saat terjadi penggusuran. Sekarangpun ia baru saja menjadi korban pungutan liar, ketika melewati poas penjagaan oleh aparat kehutanan. “Kapan kemiskinan akan berakhir kalau aparat tidak lagi berlaku jujur?”

“Masih ada satu dua manusia yang jujur. Tidak semuanya jahat. Masih ada satu dua orang yang hidupnya bersih.” Sahut sopir taksi yang menginjak pedal gas dan taksi itu meluncur amat kencang menuju Medan, menuju desa Bandar Setia tempat Mbak Inah bermukim.

“Dimana?”

“Suatu saat ini Mbak akan bertemu dengan orang-orang yang jalan hidupnya bersih, yang tidak mau menerima uang satu senpun.”

“Wartawankah dia?” cetus Mbak Inah ketus. Ia selalu melihat di layar kaca, wartawan dari teve tidak mau menerima uang imbalan uang dan selalu dibekali surat tugas. “Saya dengar wartawan juga banyak yang nakal.”

“Betul. Surat kabar sudah puluhan banyaknya, malah yang tidak memberi gaji kepada wartawannya juga ada.”

“Lalu dari mana wartawan itu makan kalau tidak diberi gaji?”

“Dari mana lagi kalau tidak menanduk”

“Apa wartawan punya tanduk?”

“Itulah anehnya negara ini, dia bukan hewan berkaki empat tapi amat lihai menanduk.”

“Lalu yang ditanduk itu pejabat?”

“Bisa pejabat, bisa pedagang, bisa kontraktor, bisa developer yang meyalahi prosedur dan banyak lagi”

“Saya ingin bertemu dengan seseorang yang jujur dan bersih, yang tidak mau duit, yang tidak pintar bermain sulap, yang tidak pintar menukangi angka-angka.”

“Perjalanan hidup Mbak masih panjang. Suatu saat akan bertemu dengan orang-orang yang jujur di anatara ribuan permain sulap dan pembohong.”

Rasa kesal masih ada dalam dada Mbak Inah ketika taksi itu menurunkannya tepat di depan rumahnya di kawasan Bandar Setia.

“Mampir,Mas Sopir,” ajak Mbak Inah ramah setelah menguluran ongkos taksi.

“Mbak sendiri di rumah ini?”

“Tidak sendiri.”

“Dengan suami?”

“Dengan Mas Joko!,” Mbak Inah mengusap kepala monyet di sisinya. Sang sopir terheran-heran.

“Tidak takut?”

“Kenapa harus takut?. Mas Joko selalu melindungi saya. Kami saling menjaga. Kalau saya dalam kesulitan orang atau dileecehkan, Mas Joko tiba-tiba muncul membantu saja. Tapi kalau Mas Joko terancam jiwanya, saya harus menyelamatkan dirinya.”

“Luar biasa!”

“Saya senang ngobrol bersama Mas Sopir yang sangat banyak pengalaman dalam meniti kehidupan ini. Mari mampir ke ruamh saya, sekedar minum kopi hangat bersama Mas Joko.”

“Terima kasih. Terima kasih!”

Sopir yang tampak rajin beibadah itu mengucap salam dan mohon diri.

***

Musim kemarau memang sudah berakhir. Tanah dan sawah yang kekeringan kini sudah ditanami orang dengan padi yang kini menghijau. Parit-parit sudah berair. Kuntum-kuntum bunga sudah mulai mekar dimana-mana. Pohon jambu berbuah lebat. Hampir tiap hari turun hujan dan terkadang sangat lebat sehingga selokan melimpah. Terkadang udara amat dingin, dan burung-burungpun menggigil kedinginan di sarangnya. Mbak Inah juga merasakan dinginnya udara malam. Andainya Mas Joko adalah seorang manusia perkasa, pasti mereka tidur berdekapan dalam satu selimut. Mbak Inah hanya mendekap tubuh Mas Joko sesaat saja.

Hampir tiap hari mendung pekat bergumpal di langit. Hampir tiap hari angin berhembus amat kencang, meluruhkan daun-daun pohon mangga dan daun pohon mahoni di pinggir jalan, bahkan terkadang rantingnya patah dan terhempas ke bumi. Sangkar burungpun ikut terhempas di atas tanah dan terkadang jatuh di atas parit. Kasihan anak burung dalam sangkar yang terhempas itu terdengar merintih tapi tidak seorangpun yang perduli.

Angin kencangpun tiap hari berhembus membawa mendung pekat dari arah laut dan bergumpal di langit sehingga matahari tersembunyi. Alam menjadi gelap seperti malam hari padahal masih pukul dua belas siang hari. Pintu langitpun di atas rumah Mbak Inah juga seakan tertutup oleh mendung pekat. Kalau langit sedang tertutup mendung pekat, dari arah mana lagi Tuhan akan mnruunkan rezeki untuk Mbak Inah dan Mas Joko?.

Kalau hujan sedang turun mana mungkin Inah dan Mas Joko melakukan pertunjukan topeng monyet. Kalaupun tampil pasti penonton sepi. Itulah sebabnya selama musim hujan berlangsung Mbak Inah dan Mas Joko lebih sering di rumah. Itulah sebabnya Inah selalu menatap langit yang masih gelap. Sesekali ada seseorang yang datang untuk meminta bantuan pengobatan tradisional.

“Bersabarlah ,Mas Joko. Gusti Allah masih menutup pintu langit. Besok atau lusa mudah-mudahan pintu langit akan terbuka dan rezeki untuk kita akan turun.”

Mas Joko tampak murung.

“Kita di rumah saja ya, Mas Joko. Kita nyanyi besama, kita main karaoke.”

Mas Joko diam.

“Atau Mas Joko mau ronggeng?”

Monyet itu mengedipkan matanya, seperti setuju apa yang dikatakan Mbak Inah. Gadis itu menghidupkan VCD dan bergemalah sebuah tembang Jawa yang amat populer dan kocak, berjudul Gundul-Gundul Pacul:

Gundul-Gundul pacul – cul

Gembelengan

Nyugi-nyugi wakal-kal

Gembelengan

Wakal glempeng

Segane dadi sak ratan

Segane dadi sak rattan

Sejak masih gadis cilik dulu, di desa kelahirannya, ia selalu melantunkan tembang itu. Semua anak-anak berdarah Jawa pasti sangat menyukai tembang itu. Sebuah tembang yang enak didengar dan kocak. Seiring dengan tembang itu, Mbak Inah berjoget bersama sang monyet kesayangannya. Mbak Inah benar-benar larut dalam lagu itu. Ia teringat masa bocah di desanya dulu. Masa bocah adalah saat-saat yang teramat indah dan tidak terlupakan meskipun di desanya hampir semua warganya hidup miskin. Tidak makan nasi juga pernah. Sepanjang hari hanya makan singkong yang dijadikan gaplek. Masih enak kalau yang dimakan singkong yang diolah jadi sawut yang dicampur dengan kelapa dan dibubuhi gula.

Tapi masa bocah yang amat indah itu sudah lama berlalu, sudah ia tinggalkan. Sekarang Leginah sudah merantau jauh ke Pulau Sumatera. Sekarang gadis yang dulu amat lugu itu terbawa langkahnya hingga ke seberang laut, hingga ke Tanah Deli dan sekarang bermukim di pinggiran kota Medan.

Bersama Mas Joko, Mbak Inah menari di atas lantai seperti seorang ronggeng yang berjoged bersama pasangannya, padahal pasangannya hanya seekor monyet jantan.. Mbak Inah mersa seperti sedang meronggeng bersama seorang lelaki gagah perkasa yang masih berusia muda. Kontak batin antara Mbak Inah dan Mas Joko memang terasa amat kental. Hubungan batin antara seorang gadis berdarah Jawa dengan seekor monyet tampak demikian akrab dan penuh kasih sayang. Seperti ada simpul tali yang mengikat keduanya amat erat. Bahkan simpul mati.

Terlalu asyik bejoged besama Mas Joko menyebabkan Mabk Inah tidak menyadari ada tiga buah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Dua mobil di antaranya membawa kerankeng dan didalamnya terdapat beberapa binatang , seperti burung kasuari, burung gunting, burung nuri merah, burung jalak putih, bangau putih susu, burung betet besar. Lalu di kerangkeng lainnya tampak ornag utan, landak semut, kuwuk, harimau dahan dan banyak lagi.

Gadis pawang monyet itu tidak menyadari, bahwa sudah beberapa minggu sebuah LSM yang bergerak dibidang perlindungan hewan-hewan yang tidak boleh dimusnahkan dan harus dilindungi melakukan sweeping ke berbagai pelosok. Lembaga Swadaya Masyarakat itu bergerak untuk menyelamatkan berbagai jenis binatang dilindungi yang dipelihara masyarakat untuk dikembalikan kepada habitatnya dihutan belantara. Seperti halnya orang utan yang saat ini hampir punah dari muka bumi tapi banyak dipelihara masyarakat. Orang utan itu harus dikembalikan ke hutan. Populasi Orang Utan harus dipertahankan agar tidak musnah dari muka bumi.

Buru-buru Mbak Inah mematikan VCD ketika mendengar ketukan pintu depan. Ia mengira yang datang adalah warga yang memohon bantuan untuk berobat secara tradisonal. Ia menduga yang datang adalah warga yang sakit dan mohon bantuannya untuk diberi pengobatan.

“Kami dari el-es-em,” tamunya memperkenalkan diri. Dan Mbak Inah yang hanya mengecap pendidikan kelas 4 Sekolah Dasar tidak mengerti apa itu LSM.

“Apa itu el-es-em?,:” tanya Mbak Inah polos.

“Lembaga Swadaya Masyarakat yang berusaha membebaskan hewan yang dilindungi untuk dikembalikan ke habitatnya,”

“Saya tidak mengerti.”

“Kami melihat di rumah ini ada seekor monyet yang seharusnya tidak boleh dimiliki, tidak boleh dipelihara, tidak boleh dijual belikan, tidak boleh dibunuh.”

Berdebar keras jantung Mbak Inah ketika mendengar kata-kata itu. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ada aturan pemerintah yang melarang seseorang memelihara hewan yang seharusnya dilindungi. Ia tidak menyangka ada undang-undang yang tidak membolehkan masyarakat memiliki binatang langka.

Orang-orang dari LSM itu menjelaskan kedatangannya untuk membebaskan hewan liar yang tidak boleh dipelihara dan harus dikebalikan ke hutan.

“Tapi saya memelihara Mas Joko baik-baik, seperti mengurus anak sendiri.” Mbak Inah mengelak dengan tegas. “Kalau Mas Joko sakit, saya membawanya ke dokter hewan. Mas Joko amat senang dan berbahagia bersama saya. Mas Joko tidak ingin kembali ke hutan. Di hutan belum tentu ia makan dengan layak. Belum tentu badannya bersih di tengah hutan. Tapi bersama saya, Mas Joko selalu saya mandikan dan saya beri parfum sehingga tubuhnya harum. Silahkan anda cium”

Inah memberi contoh, ia segera mencium kening Mas Joko.

“Harum baunya!. Ayo silahkan anda menciumnya!” cetus Mbak Inah lagi ketus.

Tentu saja orang-orang dari LSM itu enggan untuk mencium sang monyet.

“Ayo cium Mas Joko. Baunya pasti harum karena saya selalu mengurusnya dengan baik, saya selalu memandikannya dan memberinya parfum. Siapa yang akan perduli kalau dia kembali ke hutan?. Bersama saya Mas Joko selalu makan apel dan minum susu.”

Tetap saja petugas dari LSM tidak ada yang mau mencium. Mereka merasa risih dan jijik. Juga takut dicakar atau digigit. Mereka tidak mau ditulari rabies. Mereka tidak mau ambil risiko.

“Kami hanya melaksanakan surat keputusan bapak menteri,” sahut aparat LSM itu lagi dan menyebut keputusan menteri nomor 66/Kpts/Um/3/73 dan No.25/Kpts/Um/1/75 yang isinya melindungi binatang liar seperti monyet jambul atau Crested Macaque, juga Macaca tonkeana serta Monyet Sulawesi atau Macaca muara.

“Tidak!. Mas Joko tidak boleh dibawa ke hutan!”

“Apa boleh, Mbak harus merelakannya.”

“Tidak!. Saya tidak merelakannya! Dia akan mati di hutan. Mas Joko tidak punya siapa-siapa di sana.”

“Monyet ini akan hidup layak di hutan. Dia akan berkembang biak.”

Mbak Inah tetap mempertahankan Mas Joko dengan alasan ia sangat menyayangi Mas Joko dan sudah bertahun-tahun memeliharanya.

“Mas Joko sahabat saya. Mas Joko saudara saya. Kami berdua selalu mencari nafkah bersama-sana,” Mbak Inah menjelaskan profesinya sebagai pawang monyet dan sudah bertahun-tahun mencari nafkah sebagai dalang topeng monyet yang mengadakan atraksi dari kampung ke kampung yang lain.

Mbak Inah menangis ketika pihak LSM itu tetap bersikukuh untuk membawa Mas Joko ke hutan. Tidak hanya Mas Joko, tapi masih banyak lagi hewan yang dilindungi sudah ditarik dari pemiliknya untuk dilepas di hutan, seperti orang utan, seperti nuri, kasuari, macan dan banyak lagi.

“Saya tidak dapat hidup tanpa Mas Joko. Saya tidak dapat mencari nafkah tanpa Mas Joko. Kasihanilah saya,” Mbak Inah tetap memelas dengan air mata yang mengalir seperti hujan lebat. Tapi tetap saja pihak LSM itu bertekad untuk membebaskan Mas Joko ke hutan.

“Saya akan memberikan apa saja asal Mas Joko jangan dibawa!,” ujarnya memelas dan air matanya semakin deras mengalir. Mbak Inah amat sedih. Hatinya hancur.

“Tidak bisa. Kami harus membebaskan monyet ini dari pemiliknya. Kami harus mengembalikan monyet ini ke hutan..”

“Saya akan memberi apapun yang kalian minta.”

“Tidak!”

Mbak Inah lari ke kamar dan membawa segepok uang untuk LSM itu.

“Maaf, kami tidak dapat menerimanya.”

“Masih kurang?. Saya akan memberinya berapapun yang diminta.”

Mbak Inah lari ke kamar lagi untuk menambah jumlah yang akan diberikan kepada LSM itu. Ia ingat ketika menjadi korban penggusuran lalu aparat ketertiban meminta sejumlah uang dan akhirnya Mas Joko bebas. Begitu juga ketika terkena razia hasil hutan di tengah perjalanan pulang dari berbagai perkebunan, dengan menyodorkan sejumlah uang Mas Joko dapat lolos. Iapun menduga petugas LSM itu mau menerima sejumlah uang dan Mas Joko tidak akan dibawa ke hutan untuk dilepas.

Tapi LSM bukanlah aparat instansi pemerintah yang sudah biasa dimanjakan dengan uang. Pihak LSM diharamkan menerima uang. LSM adalah lembaga yang masih berpegang pada kejujuran. Bila ada manusia yang tidak mau duit, itulah LSM.

Air mata mengalir di pipi Mbak Inah semakin deras, lebih deras dari hujan lebat ketika pihak LSM tetap menolak segepok uang Mereka tetap bersikukuh membawa Mas Joko untuk dikembalikan ke hutan.

“Jangan bawa Mas Joko!. Jangan bawa dia!” Mbak Inah berteriak-teriak histeris ketika pihak LSM membawa Mas Joko dengan paksa lalu dimasukkan dalam kerangkeng bersama orang utan dan hewan-hewan liar lainnya yang dilindungi. Seharian air mata mengalir di pipi Mbak Inah setelah ia berpisah dengan Mas Joko. Barulah sekarang Mbak Inah menyadari, bahwa tidak semua orang doyan duit. Tidak semua mau main pat gulipat. Tidak semua orang doyan suap. Tidak semua orang pintar main sulap. Masih ada di nusantara ini orang yang jalannnya masih lurus dan bersih.

Sepanjang hari, sepanjang malam Mbak Inah hanya mampu menangis dan berdoa agar ada mukzizat yang bisa menolong agar Mas Joko kembali ke sisinya. Mbak Inah benar-benar kehilangan. Mungkin besok atau lusa ia akan jatuh sakit dan segera mati kalau Mas Joko tidak segera kembali ke sisinya seperti sedia kala. Ia hanya mampu berdoa kepada Gusti Allah agar Mas Joko bisa pulang sendiri ke sisi Mbak Inah. Sepanjang malam ia tidak dapat memejamkan mata. Bahkan perutnya sama sekali tidak terasa lapar. Tidak sesuap nasipun melewati tenggorokannya. Mbak Inah amat sedih. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia amat berharap Mas Joko kembali ke sisinya. Mbak Inah merasa kehilangan sahabatnya . Ia merasa telah kehilangan saudaranya, bahkan juga kehilangan kekasihnya. Inah merasa telah kehilangan segalanya. Juga semangatnya

untuk hidup.

“Kuatkan dirimu,Mas Joko!. Kuatkan semangatmu. Aku akan selalu mencarimu sampai ke ujung langit. Aku akan menyusulmu.”, berkali-kali Mbak Inah selalu berkata kepada angin lalu. “Aku akan selalu berusaha agar kita dapat bertemu lagi.”

Kepada angin yang berhembus, kepada awan yang berarak, kepada burung yang terbang tinggi, Mbak Inah selalu titip pesan agar Mas Joko baik-baik saja. Ia selalu berkata kepada angin lalu agar memberi petunjuk kepada Mas Joko untuk pulang ke sisinya. Doanya kepada Gusti Allah selalu panjang agar Mas Joko kembali kepadanya.

***

Tidak ada rasa lapar. Sepotong singkong gorengpun tidak dapat melewati tenggorokannya karena kerinduannya terhadap Mas Jokoi amat besar di hatinya. Ia ingin segera beremu dengan Mas Joko di hutan mana ia berada. Ia ingin tahu keberadaannya. Ia ingin tahu keadaannya.

Itulah sebabnya pagi-pagi benar Inah sudah naik bis ke arah pantai, siapa tahu Mas Joko dilepas orang-orang dari LSM di hutan pinggiran pantai. Di hutan bakau itu Mbak Inah berteriak memanggil:

“Mas Jokoooooo!. Pulang Mas Jokoooo!”

Suara itu bergema. Berkali-kali Inah berteriak memanggil nama Mas Joko, tetapi tidak ada sahutan. Ia amat sedih. Hatinya semakin hancur berkeping-keping. Ia berjalan lagi dari satu hutan ke hutan lainnya. Ketika bis yang ditompanginya melewati perkebunan karet, Mbak Inah melihat beberapa ekor monyet. Mbak Inah segera minta diturunkan di tengah kebun karet itu. . .Ia berjalan kaki hingga ke tengah kebun itu. Ia bertemu dengan beberapa ekor monyet tapi monyet-monyet itu berlari menjauh karena ketakutan.

“Mas Jokoooo!”. Teriak Mbak Inah. “Aku mencarimu Mas Joko!”

Suara itupun bergema di tengah kebun karet. Juga tidak ada sahutan. Mbak Inah semakin sedih.

“Ya,Gusti Allah. Tunjukkan kepadaku dimana Mas Joko berada, biar dia kugendong pulang.” Itulah doanya setiap ia melangkah dari satu hutan ke hutan lainnya. Di tengah hutan jati ia juga memanggil-manggil nama Mas Joko. Juga di tengah perkebunan kelapa sawit suaranya juga melengking memanggil nama Mas Joko, tapi tetap tetap tidak ada sahutan.

Hampir semua hutan di kawasan Deli Serdang sudah ditelusurinya., tapi sia-sia. Juga semua hutan di kawasan Serdang Bedagei. Langkahnya semakin jauh dan semakin jauh hanya untuk mencari Mas Joko. Hingga langkah Mbak Inah menyeberang hingga ke kabupaten Simalungun.

“Aku mencarimu,Mas Joko. Aku datang!”, suaranya terdengar melengking di sebuah htan di kawasan Simalungun. Tapi monyet jantan yang dipanggilnya tetap saja tidak menyahut dan tidak hadir di depannya. Hati Mbak Inah semakin sedih. Tangisnya berderai lagi dan berderai lagi , membentuk sungai kecil di pipinya Ia tidak tahu lagi kemana harus mencari Mas Joko.

“Mas Jokooo!. Pulanglah,Mas Joko. Pulaaaang!.” Suaranya kembali melengking ketika berada di sebuah hutan lebat di kabupaten Asahan. Tapi tetap saja tidak ada monyet yang datang. Tetap saja tidak ada sahutan.

“Kau dengar suaraku,Mas Joko?. Aku datang!!”

Lelah membuatnya terduduk di pinggir hutan di kabupaten Asahan, tidak jauh dari sebuah proyek pengendalian banjir. Sambil duduk ia berteriak lagi:

“Aku datang menjemputmu,Mas Joko!”

Inah tidak menyadari, bahwa seorang pekerja proyek pengendalian banjir itu mendengar suaranya dan melihatnya duduk di sebuah batang kayu tumbang. Pekerja proyek itu adalah seorang operator excavator yang sedang menggali dan menimbun tanah untuk membangun pengendalian banjir. Dari atas alat berat yang namanya excavator itu, sang pekerja poryek itu amat lama memperhatikan. Mbak Inah yang duduk di pinggir hutan dan berteraik-teriak seorang diri. Suaranya bergema.

Ketika jam istirahat untuk makan siang tiba, lelaki itu masih memperhatikan Mbak Inah yang masih tetap duduk di pinggir hutan, seperti kelelahan, seperti kebingungan. Pekerja proyek itu merasa amat kasihan. Dalam hatinya pekerja proyek itu bertanya-tanya. Siapa dia?. Orang gilakah dia?. Perempuan tidak bereskah dia?. Atau perempuan yang dibuang orang di hutan setelah diperkosa?. Mungkin juga perempuan itu tersesat tidak tahu jalan pulang.

Rasa kasihan menyebabkan lelaki itu menghampiri dan menyapa.

“Mbak tersesat?,” sapa pekerja proyek itu.

Mbak Inah kaget dan menoleh sambil menyahut:

“Tidak!”

“Kenapa ada di sini?”

Mbak Inah tidak segera menyahut dan membiarkan pekerja proyek itu bertanya lagi dan menatapnya amat dalam.

“Mbak kelelahan?”

“Ya!”

“Kenapa berada di pinggir hutan ini?”

“Aku mencari sesuatu!”, Mbak Inah tidak canggung lagi menyebut dirinya aku karena sudah amat banyak begaul dengan orang Sumetera, dengan suku Melayu, Aceh dan Batak..

“Mencari siapa?”

“Mas Joko!”

“Aku sudah lima bulan bekerja di proyek ini, tapi tidak pernah melihat ada seorang laki-laki masuk hutan ini.”

“Mas Joko bukanlah seorang manusia”

“Lalu berupa apa?”

“Mas Joko adalah seekor monyet jantan. Mas Joko adalah sahabat saya, juga saudara saya. Mas Joko adalah saudara saya dalam mencari nafkah.”

“Mencari nafkah bagaimana dengan Mas Joko?,” lelaki pekerja proyek itu menatapnya amat tajam dengan sikap heran.

“Kami selalu main bersama mengadakan pertunjukan”

“Pertunjukan apa?”

“Topeng monyet!”

Barulah lelaki itu mengerti dan memahami keberadaan seorang perempuan berparas cantik berada di hutan.

“Ada orang-orang yang mengaku dari :LSM mengambil dengan paksa Mas Joko dari rumahku dengan alasan untuk dikembalikan ke hutan karena hewan seperti Mas Joko adalah hewan liar yang dilindungi.”

“Ya,benar. Ada banyak binatang liar yang dilindungi yang tidak boleh dibunuh, tidak boleh dipilhara, tidak boleh dijual belikan. Binatang liar itu dilindungi untuk menjaga agar tidak punah dari muka bumi.”

“Mas siapa?. Kenapa Mas ada di sini?,” terdengar suara Mbak Inah dengan logat Jawa yang amat medhok.

“Namaku Oloan.Aku orang Batak, tapi Batak Islam. Aku dilahirkan di kawasan Sipirok di Mandailing Natal. Panggil aku Bang Olo ,lengkapnya Bang Oloan, yang artinya selalu mengiyakan semua perintah.. Aku bekerja di proyek yang membangun pengendalaian banjir”

“Bang Olo bekerja sebagai apa di sini?”

“Aku bekerja sebagai operator alat berat yana namanya Excavator,” lelaki itu menujuk ke arah sebuah alat berat berwarna kuning yang seperti memiliki tangan raksasa dan bekerja menggali dan menimbun tanah.

Lelaki ini tampaknya baik hati, pikir Mbak Inah. Siapa tahu Bang Olo bisa membantu aku mencari Mas Joko. Siapa tahu Bang Olo tahu dan memahami di mana hutan yang banyak monyet dan mungkin di sanalah Mas Joko dikembalikan ke habitatnya.

“Bang Olo tahu dimana ada hutan yang banyak dihuni oleh kera?”

“Rasanya aku pernah mendengar hutan itu”

“Di mana?. Aku akan ke hutan itu untuk mencari Ms Joko. Terus terang, aku tidak dapat hidup tanpa Mas Joko.”

Sesaat lelaki itu memikir-mikir.

“Oh,ya aku tahu”

“Di mana?. Meskipun jauh meskipun di ujung langit, aku akan ke sana untuk membawa pulang Mas Joko.”

“Hutan itu namanya Bahorok.”

“Aku akan ke sana?. Dimana Bahorok itu?. Dekat Prapat?”

“Bukan dekat Prapat.”

“Dekat Brastagi?”

“Bukan!”

“Dekat Kisaran?. Atau dekat Tanjung Balai?. Aku sudah pernah ke sana.”

“Bahorok cukup jauh dari tempat ini”..

“Biarpun di seberang laut, aku akan ke sana. Bukankah aku datang dari Jauh?.. Aku datang dari Jawa Tengah merantau ke Sumatera. Untuk melangkah jauh aku tidak canggung lagi. Aku tidak takut untuk berjalan hingga ke ujung dunia untuk mencari Mas Joko.”

“Bahorok ada di Kabupaten Langkat. Di hutan itu banyak berbagai binatang liar yang dilindungi. Di sana ada hutan lindung yang dihuni banyak sekali binatang yang namanya Orang Utan. Ada perempuan asing bertugas di sana untuk melestarikan Orang Utan.”

“Aku akan ke sana.”

“Tempatnya sangat jauh.”

“Biarlah jauh.”

“Aku ingin menolongmu untuk mengantarmu ke Bahorok!”

“Ayolah kita berangkat sekarang!,” Mbak Inah mendesak tidak sabar.

“Tidak mungkin hari ini karena aku sedang bekerja. Aku satu-satunya operator alat berat di sini, tidak sembarang waktu dapat kutinggalkan.”

“Kapan lagi?. Besok?”, Mbak Inah mendesak.

“Jangan besok?”

“Kapan Bang Olo bisa mengantarku kesana?”

“Tunggulah hari minggu, aku libur”

“Aku sudah tidk sabar untuk segera bertemu Mas Joko.”

“Mudah-mudahan Mas Joko baik-baik saja.”

“Aku juga berharap begitu.”

“Suatu saat nanti aku akan berkunjung ke rumahmu.”

“Kapan?”

“Mungkin malam ini atau besok malam.”

“Pintu rumahku selalu terbuka untuk siapa saja, terutama untuk Bang Olo yang baik hati.”. ujar Mbak Inah dan menjelaskan rumahnya terletak di kawasan Bandar Setia. Mbak Inah merasa mendapat petolongan Gusti Allah. Ia bertemu dengan seorang lelaki Batak yang baik bernama Oloan. Gusti Allah seperti membuka jalan agar ia dapat bertemu dengan Mas Joko dan membawanya pulang.

Ada getar-getar halus dalam jiwa Mbak Inah ketika bertatapan mata dengan lelaki itu. Ada perasaan indah. Lelaki itu juga merasakan hal yang sama. Hati manusia berlainan jenis itu saling bergetar. Darah dalam tubuh keduanya seperti tiba-tiba menyatu dalam sebuah perasaan yang amat indah dan lembut.

Ada perasaan kasihan di hati Oloan ,sang operator alat-alat berat itu kepada seorang gadis dalang topeng monyet yang sedang ditimpa nasib malang. Ada perasaan iba yang amat mendalam di dasar hati lelaki berdarah Batak tetapi seorang muslim yang taat. Ingin rasanya lelaki itu berbuat baik kepada Inah. Ingin rasaanya saat itu juga ia mengantar gadis malang itu ke kawasan Bahorok. Tapi ia sedang dinas. Ia adalah pekerja proyek yang andal di kawasan itu.

***

Ketika azan Isya baru saja berakhir, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah di kawasan Bandar Setia. Mbak Inah segera membuka pintu depan setelah menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Hatinya berbunga-bunga ketika yang tampak di depan pintu adalah seorang lelaki bertubuh kekar yang dikenalnya di pinggir hutan di kawasan Kabupaten Asahan. Lelaki itu adalah Bang Olo lengkapnya Bang Oloan.

Lelaki itu sebelum duduk masih sempat melihat ada sisa air mata di pipi Inah. Masih sempat melihat sepasang matanya yang basah.

“Kamu baru menangis?,” tanya lelaki itu.

“Tidak!,” sahut Mbak Inah berbohong dan menunduk.

“Jangan bohong. Kalau kamu berbohong aku tidak akan duduk di sini. Kalau kamu tidak berterus terang, aku akan pulang !”

“Ya!. Hatiku terlalu sedih.”

“Sedih kenapa?”

“Aku rindu kepada Mas Joko. Aku terlalu menyayangi dia. Aku khawatir entah bagaimana keadaannya.”

“Berdoalah semoga keadaannya baik-baik saja. Bukankah aku sudah berjanji akan mengajakmu ke Bahorok minggu nanti?”

“Sungguh?”

“Aku tidak pernah berbohong!”

“Aku tidak sabar menunggu sampai hari minggu.”

“Aku tidak dapat meninggalkan tugasku di proyek. Aku sengaja datang malam ini untuk mengenalmu lebih dekat. Juga untuk menghiburmu agar kamu tidak terlalu memikirkan Mas Joko.”

“Terima kasih.”

“Banyak persamaan antara orang Jawa dan orang Batak meskipun lebih banyak perbedaannya.” ujar lelaki suku Batak itu.

“Apa persamaannya?”

“Orang Jawa banyak mematuhi berbagai pantangan. Orang Batak juga begitu.”

“Boleh aku tahu apa saja pantangan itu, biar tidak kulanggar nanti.”

“Orang Batak juga menjunjung tinggi sopan santun. Dalam kekerabatan ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan.”

“Maksudnya bersenda gurau?”

“Ya!. Misalnya antara mertua lelaki atau yang disebut amang boru harus membatasi pergaulannya dengan menantu perempuannya atau disebut parumaen. Juga menantu perempuan dengan mertua lelaki atau tulang.”

“Sungguh sopan santun yang tinggi.” Cetus Inah.

“Penghindaran itu dalam bahasa Sipirok disebut Marbaso. Mereka hanya boleh berbicara pada hal-hal-hal yang sangat penting saja. Marbaso atau adat itu biasanya sangat dipatuhi oleh orang Batak di manapun dia tinggal.“

“Remajanya juga begitu?”

“Ya. Kalau di Jawa gadis-gadis di Jawa selalu dipingit orangtuanya, di Sipirok hal seperti itu juga berlaku. Anak gadis tidak boleh bebas bergaul. Tetapi ada sarana untuk mereka bergaul, yakni dengan cara markusip.”

“Apa itu markusip?”

“Berbicara melalui balik dinding secara berbisik-bisik dan dilakukan hanya pada larut malam Tapi hal itu dulu. Saat ini suasana dan kemajuan jaman membuat adanya beberapa perubahan..”

Mbak Inah tersenyum.

“Aku senang kamu sudah dapat tersenyum ,artinya tidak lagi terlalu memikirkan Mas Joko. “

“Aku senang Bang Olo datang kemari malam ini.”

“Syukurlah. Kamu harus tahu, bahwa pengaruh Hindu juga ada di Sipirok. Masih ada reruntuhan candi yang dipugar dan bernama Candi Bahal di Portibi..Candi Ciwa juga selalu disebut-sebut para ahli sejarah ada di Tapanuli Tengah yang berasal dari abad ke delapan. Kalau di Pulau Jawa ada hari-hari menurut hitungan masyarakat Jawa, di desa kelahiranku jgua ada.”

“Di Jawa dikenal weton, yakni kliwon, pon, wage, legi dan pahing.”

“Di Sipirok ada hari-hari yang disebut dengan dialeg setempat, seperti adittia untuk sebutan hari minggu, suma untuk hari senin, anggara untuk hai selasa, muda untuk hari rabu, bors pati untuk hari kamis, sikkora untuk jumat dan samisara atau sabtu.”

“Aku jadi mengerti sekarang. Aku jadi amat senang mengenal seorang lelaki dari suku Batak.”

“Pengaruh agama Hindu memang pernah ada di tanah Batak, terutama di Sipirok yang ditandai dengan adanya beberapa candi dan lain-lain. Tapi jangan lupa dengan sejarah yang mencatat, bahwa masuknya Islam juga diawali di daerah kami. Islam masuk negara kita di abad ke tujuh diawali dengan pedagang Arab yang mendarat di Barus.”

Lelaki yang profesinya sebagai operator alat-alat berat itu menuturkan, bahwa di pantai barat Tapanuli sebuah masyarakat Muslim yang sangat besar dan di puncak sebuah bukit pernah didirikan sebuah mahligai yang didiami oleh pemerintahan Islam dan membangun masjid. Di sekitar masjid itu terdapat pemakaman keluarga-keluarga muslim. Berkembangnya Islam di Sipirok sendiri baru berlangsung tujuh abad kemudian. Sementara masyarakat Sipirok sendiri baru terbentuk di tahun 1550 atau di abad ke 16.

“Bang Olo juga meremehkan martabat orang Jawa?. Sebab di Sumatera banyak orang Jawa dulu dibawa Belanda sebagai buruh kontrak, sehingga di masyarakat timbul anggapan orang Jawa di sebut Jawa Kontrak.,” Inah menatap wajah lelaki itu.

“Aku tidak pernah menganggap begitu!. ” sahut Bang Olo.

“Sungguh?”

“Demi Tuhan.”

“Lalu bagaimana Bang Olo menilai orang Jawa seperti halnya aku?”

“Terus terang dulu aku selalu mendengar istilah Jawa Kontrak selalu disebut-sebut orang. Aku sering mendengar tentang kuli kontrak. Tapi lambat laun julukan itu hilang setelah adanya orng-orang Jawa yang membentuk organisasi Putera Jawa Kelahiran Sumatera yang disingkat Pujakesuma. Ungkapan itu lebih manis, lebih cantik ketimbang sebutan Jawa Kontrak yang sepertinya sebuah pelecehan..”

“Hmmm,” gadis dari Jawa itu bergumam dan tersenyum.

“Hampir sama dengan ungkapan Jawa Kontrak, di Sipirok juga ada ungkapan yang hampir sama.”

“Apa itu?”

“Hatoban!. Hatoban artinya adalah budak, tapi kata hatoban hanya ada pada jaman penjajahan Belanda dulu, seperti halnya dengan buruh kontrak. Yang termasuk hatoban adalah orang-orng yang ditawan atau kalah dalam perang. Atau orang yang melakukan kesalahan berat dan menjalani hukuman sebagai budak. Hatoban juga bisa terjadi karena orang yang tidak sanggup membayar hutangnya lalu dijadikan budak. Ada juga orang-orang yang sengaja dibeli oleh orang kaya untuk dijadikan budak.”

Lelaki yang bekerja di proyek pengendalian banjir itu juga berkata, bahwa perbudakan di Tanah Batak sudah berakhir sejak tahun 1876.

“Tidak ada lagi yang membedakan masyarakat bangsawan atau rakyat jelata sekarang. Juga dalam hal budak!” ujar lelak itu lagi.

“Aku senang Bang Olo banyak bercerita tentang Sipirok dan Tanah Mandailing. Bolehkah aku belajar bahasa Sipirok?”

“Aku senang mengajarnya kepadamu?”

“Bagaimana kalau bilang satu, tiga dan tujuh?”

“Sada, tolu dan pitu!”

“Sada, tolu dan pitu,” gadis dari Jawa itu seperti mengeja.

“Kalau ibu, ayah dan kakek?”

“Inang, amang dan Oppung Doli.”

Inah mengulangi kata-kata itu meskipun lidahnya terasa agak berat dan kaku. Tapi ia amat senang menyebut kata-kata itu.

“Kalau mau berkata jangan tinggalkan aku,Mas Joko?”

“Ulang tinggalkan au ,.Mas Joko!”

“Pulanglah,Mas Joko!”

“Mulak ma ho, Mas Joko!”

“Kalau di sini tidak aman, kita pulang ke Jawa saja!”

“Molo di son indak aman eta mulak to Jawa!”

“Itulah doaku,Bang Olo. Aku memohon kepada Gusti Allah agar Mas Joko pulang kepadaku dan kalau di sini tidak aman, kuajak Mas Joko pulang ke Jawa.”

“Jangan!. Jangan pulang ke Jawa,Inah!,” lelaki itu buru-buru mencegah.

“Kenapa?”

“Karena aku senang kepadamu. Aku senang memandang matamu, senang memandang hidungmu dan juga bibirmu. Aku senang pada dirimu!”

Baru sesaat Bang Olo bertemu dengan Inah, gadis dari Jawa itu, tapi rasanya sudah amat akrab, seperti sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun bersahabat dan lebih dari persahabatan biasa.

Bang Olo merasa amat senang di rumah itu, merasakan udara sejuk dan nyaman. Apalagi Inah menyuguhkan kopi kental. Mereka ngobrol panjang lebar, tentang kampung halaman lelaki itu di Sipirok yang indah dan bergunung-gunung. Di sana ada Tor Simago-mago, ada Tor Sibohi, ada Palakka Gading dan banyak lagi. Sungai di sana airnya bening dan bersih. Hutan-hutan masih hijau dan lestari. Tidak ada warga yang merusak hutan.

Sungai-sungai mengalir dengan tenang dan ikan-ikan bermain di dalamnya.

“Di desa kelahiranku, sungai disebut aek. Ada Aek Huraba, ada Aek Lampesong, ada Aek Barerang dn banyak lagi.”

“Desa Bang Olo,pasti subur.”

Lelaki itu mengangguk.

“Aku dilahirkan di Sipirok dan orangtuaku hidup dari bertenun. Sebagian besar warga Sipirok memang bertenun. Hasil tenun yang paling populer di sana adalah Abit Godang dan Parompa Sadun. Kedua kain tenunan ini selalu dipakai pada upacara adat di Sipirok atau di mana saja orang-orang Sipirok berkumpul.” tutur lelaki itu setelah meneguk kopinya yang terasa amat nikmat. Ingin rasanya ia berlama-lama di rumah tiu, duduk berdua bersama Mbak Inah yang malam itu tampak cantik dan anggun meskipun dihatinya masih ada kesedihan yang mendalam karena kehilangan Mas Joko.

“Di Jawa juga sangat banyak orang yang hidupnya dari membatik, sama dengan di kampung Bang Olo.”

“Ya, banyak persamaannya, meskipun lebih banyak perbedaannya. Dan itulah yang membuat aku senang kepadamu,Inah

“Kalau Bang Olo tidak datang, mungkin saat ini aku sedang menangis karena kehilangan Mas Joko. Kepergiannya sangat memukul jiwaku.”

“Jangan terlalu memikirkan Mas Joko.”

“Sulit untuk melupakannya. Aku sudah terlanjur akrab, sudah terlanjur sayang kepadanya. Mas Joko sudah terlanjur lekat di hatiku. Aku sangat merindukan kepulangannya.”

“Kalau Mas Joko tidak pulang bagaimana?”

“Aku tidak berdaya. Aku tidak dapat mencari nafkah. Mungkin aku akan jatuh sakit.. Mungkin aku akan lekas mati.”

“Kuatkan hatimu,Inah!,” Lelaki itu menyentuh ujung jari Mbak Inah dan meremas-remasnya.

“Perlahan-lahan, lupakan Mas Joko!”

“Tidak!. Tidak mungkin aku melupakannya.”

“Kenapa?. Bukankah masih ada monyet yang lain. Kamu dapat melatihnya lagi sampai pintar. Kamu dapat tampil lagi mengadakan pertunjukan topeng monyet.Bukankah kamu adalah pawang monyet yang pintar. Dalam waktu singkat tentu dapat melatih monyet lain menjadi aktor topeng monyet.”

“Tidak!. Mas Joko tidak bisa disamakan dengan yang lainnya.”

“Aku hanya berharap, kamu tidak terlalu memikirkannya. Dan aku juga berharap kita dapat menemukannya dan membawanya pulang.”

“Itulah yang sangat kuharapkan. Itulah doaku setiap saat. Aku selalu memanggilnya, aku selalu menyebut namanya. Siapa tahu angin yang berhembus menyampaikan suaraku kepada Mas Joko jauh di tengah hutan sana. Siapa tahu awan yang berarak di langit membawa panggilanku kepada Mas Joko dan menggerakkan hatinya untuk pulang. Kepada burung-burung yang terbang jauhpun aku selalu titip pesan rasa rinduku kepada Mas Joko. Aku titip pesan agar ia berhati-hati dan menemukan jalan pulang ke sisiku.”

Kata-kata itu membuat hati lelaki itu terenyuh. Bang Oloan menyadari, betapa cinta Mbak Inah terhadap sang monyet amat besar. Seperti cinta Mbak Inah kepada seorang manusia yang gagah dan perkasa. Padahal Mas Joko hanya seekor monyet jantan.

“Hari minggu nanti aku libur,” lelaki itu berkata kemudian. “Aku akan mengantarmu ke Bahorok.”

“Mudah-mudahan Mas Joko ada di sana dan kita membawanya pulang.”

“Mudah-mudahan kita menemukannya.”

“Kita berangkat pagi-pagi benar!,.” imbau Mbak Inah.

“Jam tujuh. Biasanya kalau libur aku bangun jam sembilan!”

“Jangan jam tujuh. Harus lebih cepat.”

“Bersama terbit fajar?”

“Sebaiknya memang begitu. Ketika fajar terbit, kita sudah berangkat, biar lekas sampai di Bahorok. Bukankah burung-burungpun keluar dari sangkarnya ketika fajar terbit?. Burung-burung itu terbang ketika hari masih gelap biar terhindar dari terik matahari.”

“Tapi masih banyak embun ketika fajar.”

“Apa salahnya pergi bersama embun pagi yang sejuk?”

Sesaat lelaki itu merunduk. Ia heran, betapa tekad Mbak Inah amat besar untuk segera bertemu dengan seekor monyet kesayangannya. Tapi ia tidak dapat membantah. Ia juga ingin membuat hati gadis dari Jawa itu senang.

“Kita sarapan di jalan saja nanti.”

“Baiklah,Inah. Kita berangkat pagi-pagi,selagi kenderaan belum ramai”

“Dan belum ada debu.”

“Tapi dingin!”

Mbak Inah tersenyum.

“Lebih pagi berangkat, berarti lebih cepat sampai di sana. Lebih cepat aku bertemu dengan Mas Joko dan membawanya pulang.”.

“Baiklah, demi kamu Inah. Padahal selama ini aku tidak pernah pergi sepagi itu.”

“Terima kasih ,Bang Olo. Aku senang sekali bertemu dengan Bang Olo. Kalau tidak Bang Olo, siapa lagi yang mau menolongku?”

Mbak Inah membiarkan jari tangannya diremas lelaki itu.

***

Embun pagi yang dingin masih melekat di daun-daun pohon, masih melekat di atas rumput di pinggir jalan, masih melekat di rumpun ilalang, tapi burung-burung sudah terbang melalang buana. Sebuah sepeda motor juga sedang meluncur di jalan raya, menembus embun yang terus turun dari langit. Padahal jalan raya masih sepi, hanya satu dua kenderaan yang lewat.

Fajar baru saja terbit. Azan subuh baru saja terdengar dan masjid masih dipenuhi oleh jamaah yang membentuk barisan yang rapi menghadap kiblat. Para jamaah sholat subuh itu tidak perduli pada embun pagi, tidak perduli dengan udara dingin. Seperti halnya dengan Bang Olo dan Mbak Inah yang berboncengan dengan sepeda mtor menuju Bahorok. Mbak Inah mengenakan jeket tebal dan sepasang tangannya berpegang amat erat di pinggang Bang Olo.

“Pegang aku erat-erat,Inah!,’ terdengar suara Bang Olo ketika sepeda motor itu meluncur cepat.

“Ya!”

“Yang erat!”

“Ya!,” Inah memeluk lebih erat.

“Kurang erat!”

“Cukup!”

“Aku takut kamu terjatuh. Sepeda motor ini berjalan kencang.”

“Biarlah kencang.”

“Kau kedinginan nanti!”

“Biarlah dingin, biarlah kencang. Aku ingin cepat-cepat sampai di Bahorok, biar cepat-cepat bertemu dengan Mas Joko.”

“Kalau tidak bertemu bagaimana?”

“Aku tidak akan pulang.”

“Lalu kamu akan tinggal di mana?”

“Biarlah aku tinggal di hutan, akan kucari Mas Joko sampai bertemu. Biar kucari siang dan malam. Biarlah aku tidak tidur untuk mencari Mas Joko.”

“Hutan itu sangat luas,Inah.. Langkahmu tidak akan sampai ke tengah hutan itu.”

“Aku sudah siap untuk menelusuri hutan itu sampai ke ujung Barat, sampai ke ujung Utara, sampai ke ujung langit sekalipun!”

“Bersama siapa di tengah hutan lebat itu?”

“Biarlah bersama nyamuk.”

“Tidak hanya nyamuk, tapi juga ular, rusa dan harimau.”

“Biarlah bersama harimau.”

“Kamu tidak takut diterkam si belang?”

“Aku sudah rela mati demi Mas Joko.. Aku rela diterkam si belang.”

“Tubuhmu akan dicabik-cabik si belang nanti.”

“Biarlah tubuhku tercabik-cabik oleh binatang buas, daripada aku kehilangan Mas Joko.. Aku sudah bersumpah untuk mencarinya sampai bertemu. Aku akan bunuh diri kalau tidak bertemu dengan Mas Joko.”

“Aku heran, kenapa perhatianmu terhadap Mas Joko teramat besar, melebihi batas!”

“Aku memang teramat menyayangi Mas Joko. Karena Mas Joko sahabatku dalam mencari nafkah.”

“Kukira ada alasan lain. Tidak pernah ada manusia yang mencintai seekor binatang demikian berlebihan, kecuali kamu.Sepertinya ada hubungan batin.”

“Ya. Mungkin hanya aku.”

Tiba-tiba lelaki itu menginjak rem. Langit mulai cerah dan terang karena matahari sudah terbit. Mereka berpapasan dengan pedagang sayur yang menuju pasar. Mereka berpapasan dengan petani yang membawa pacul dan pupuk. Mereka berpapasan dengan peternak yang mengembalakan sapinya ke padang rumput.

“Kenapa berhenti?,” tanya Mbak Inah dan kedua tangannya masih memeluk pinggang Bang Olo.

“Aku ingin tahu, mengapa kamu mencintai Mas Joko seperti mencintai manusia.”

“Bang Olo tidak usah tahu!”

“Aku harus tahu. Ada keanehan pada dirimu.”

“Tidak ada yang aneh. Aku hanya perempuan biasa yang dilahirkan di desa di Jawa tengah. Aku hanya manusia biasa.”

“Tapi ada yang aneh pada dirimu.”:

“Kenapa aneh?”

“Karena perhatianmu yang luar biasa kepada seekor monyet yang kamu beri nama Mas Joko.”

“Karena aku memeliharanya sejak kecil, sejak bertahun-tahun yang silam.”

“Kukira tidak hanya karena itu. Pasti ada hal-hal lain yang tersembunyi dalam dirimu. “

“Tidak ada. Aku manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya!”

“Pasti ada sesuatu yang tersembunyi pada dirimu!,”

“Tidak!. Tidak ada!”

“Aku tidak akan melanjutkan perjalanan kalau kamu tidak berterus terang ada apa dalam dirimu sehingga mencintai seekor monyet seperti manusia, seperti kekasihmu.”

“Tidak ada!”

“Ayo katakan!. Aku tidak akan melanjutkan perjalanan kalau kamu tidak berterus terang. Aku tidak akan mengantarmu ke Bahorok kalau kamu tidak mau mengatakan ada apa dalam dirimu.”

Sesaat Mbak Inah menekur. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Ayo katakan, ada apa dalam dirimu, baru aku akan melanjutkan perjalanan.”

“Nanti saja!”

“Kapan?”

“Setelah kita bertemu dengan Mas Joko.”

“Kalau tidak bertemu bagaimana?”

“Tinggalkan aku di sana!”

“Kamu benar-benar aneh, Inah.”

“Ayo kita lanjutkan perjalanan ini. Ayo antarkan aku ke Bahorok,” pinta Inah memelas. “Biarlah kucium ujung kaki Bang Olo asal mau mengantarkan aku.”

“Tidak. Aku tidak rela kamu mencium ujung kakiku.”

Mbak Inah melihat ada sebuah bis di kejauhan.

“Kalau Bang Olo tidak mau mengantarku, turunkan aku di sini. Biarlah aku naik bis. Apapun yang akan terjadi aku harus sampai ke sana. Aku harus sampai di Bahorok. Aku harus mencari Mas Joko hingga bertemu atau aku tidak akan pulang lagi.”

Mbak Inah bergegas turun dari jok belakang sepeda motor yang dikenderai Bang Oloan. Bis dengan trayek Bahorok itu semakin dekat. Mbak Inah buru-buru melambaikan tangannya mengentikan bis itu..

“Tidak usah,Inah. Tidak usah naik bis!” Bang Oloan segera mencegah padahal bis itu sduah berhenti di depan Inah.

“Aku berani sendiri. Aku tidak akan salah arah. Aku akan pergi sendiri karena Bang Olo tidak mau mengantarku lagi.”

“Jangan!. Jangan naik bis!”

“Biarkan!. Biarkan aku pergi sendiri!”

Inah sudah bertekad untuk naik bis, tapi Bang Oloan tetap mencegah dan pasrah.

“Baiklah,Inah. Hatimu sudah menjadi batu cadas yang amat keras untuk bertemu dengan Mas Joko. Ayo kuantar!”

Inah mengurungkan niatnya untuk naik bis. Ia duduk lagi di sadel belakang dan kedua tangannya kembali memeluk pinggang Bang Oloan. Sepeda motor itu meluncur lagi di jalan raya yang mulai ramai oleh kenderaan.

Seperti seorang pembalap ulung Bang Olo mengenderai sepeda motornya amat cepat. Sepeda motornya mendahului satu demi satu kenderaan di depannya, mobil pribadi, bis penumpang, truk yang mengangkut pasir, mobil boks yang membawa sembako, sepeda motor dan banyak lagi. Belasan sepeda motor yang dikenderai oleh orang-orang yang berpasangan untuk pergi ke arah objek wisata Bahorok itu juga didahului oleh Bang Oloan. Matanya lurus ke depan menatap jalanan sementara di jok belakang Inah berpegang erat pada pinggangnya.

Hampir saja sebuah kecelakaan terjadi, hampir saja Bang Oloan dan Mbak Inah mengalami cedera ketika seekor anjing jantan menyeberang jalan. Untunglah Bang Oloan masih bisa mengelak ke kiri sehingga mereka tidak sempat melindas anjing itu dan tidak sempat tersungkur. Untunglah lelaki itu cekatan menginjak rem sehingga anjing itu tidak sempat terkapar di tengah jalan.

“Hati-hati,Bang Olo,” Inah memperigatkan lelaki pekerja proyek itu yang kembali memandang lurus ke depan.

“Namanya juga binatang. Namanya juga anjing, seenaknya menyeberang jalan,” Bang Oloan menggerutu di atas sepeda motornya.

Lebih dua jam di atas sepeda motornya lelaki itu merasa perutnya mulai perih. Perutnya menagih janji untuk segera diisi setelah menempuh perjalanan jauh. Lelaki itu menginjak rem lagi di depan sebuah warung.

“Kenapa berhenti?,” Mbak Inah bertanya dan kedua tangannya tetap saja berpegang erat pada pinggang lelaki itu.

“Kita makan dulu!,”

“Nanti saja!”

“Aku lapar.”

“Jangan membuang waktu. Tahanlah rasa lapar itu sesaat”

“Perutku sudah menagih janji dan harus segera diisi.”

“Kita harus segera sampai di Bahorok. Makan nanti saja sesudah kita sampai di sana..”

“Kalau begitu kita minum saja. Aku haus!”

“Nanti saja, sesudah kita sampai. Aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu Mas Joko!”

Mbak Inah tetap saja menolak berhenti untuk makan meskipun hanya sebentar saja. Bahkan untuk minum saja Mbak Inah juga tidak memperkenankan. Ia memaksakan kehendaknya agar Bang Oloan segera memacu sepeda motornya menuju kawasan hutan lindung Bahorok. Meskipun lelaki itu sudah lapar, meskipun terasa haus ia kembali memacu kenderaannya demi untuk Inah. Padahal lelaki itu adalah seorang pecandu kopi. Baginya minum kopi adalah sumber tenaga.

Di sisi kiri dan kanan jalan tampak tanaman padi sedang menghijau. Pak tani sedang menyemprotkan pupuk ke arah padinya agar tidak diserang hama, agar hasil panen tidak terganggu. Puncak pepohonan bergoyang-goyang dibelai angin. Burung-burung mencericit di ranting pohon. Sepeda motor itu terus meluncur cepat dan kedua tangan Inah masih berpegang erat pada pinggang lelaki kelahiran Mandailing Natal itu.

Sepeda motor itu mendahului sebuah bus pariwisata yang membawa sejumlah wistawan mancanegara ke Bahorok. Kawasan itu memang merupakan objek wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Ada bule dari Eropa, ada orang-orang bermata sipit yang merupakan wisatawan dari Singapura atau Malaysia. Mereka ingin menikmati pemandangan indah di Bahorok. Mereka ingin menyaksikan Orang Utan yang memang dilestarikan di kawasan itu.

Bahkan dalam sebuah bus pariwisata tampak sejumlah anak-anak remaja yang membawa perlengkapan untuk arung jeram. Sungai yang mengalir di Bahorok memang andal untuk olahraga arung jeram.

Puluhan bule sudah lebih dulu sampai di kawasan wisata itu. Para bule dari mancanegara itu sebagian mendaki bukit terjal dan berbatu-batu. Tidak berhati-hati akan menyebabkan jatuh dan terhempas di batu cadas.

Bang Olo dan Mbak Inah juga sudah sampai di kawasan itu, Mbak Inah segera turun dari sepeda motor dan beberapa saat menatap bukit-bukit hijau. Sesaat ia tertegun mendengar suara Orang Utan bersahut-sahutan.

“Tempat ini sangat indah!,” gumamnya penuh rasa kagum.

“Ya, sungguh amat indah. Aku yakin Mas Joko kerasan di sini!,” cetus Bang Olo dan ikut menatap puncak bukit yang ditumbuhi berbagai pepohonan berwarna hijau.

“Di sini ada bule yang sengaja tinggal di hutan untuk melestarikan Orang Utan.”

“Ia menyatu dengan Orang Utan itu?”

“Ya.”

“Kalau demikian sama halnya dengan diriku yang selama ini menyatu dengan Mas Joko.”

“Tapi tidak berlebihan seperti halnya dirimu dan Mas Joko.”

Mbak Inah hanya menatap bukit-bukit hijau dan angin segar berhembus lembut membelai rambutnya. ..

“Bukit-bukit hijau , lebat dan molek.”

“Berbagai binatang liar ada di sini.”

“Mereka damai menghuni hutan ini.”

“Begitu juga halnya dengan Mas Joko, ia sudah kerasan dan damai hidup di sini, di alam bebas.. Dia lebih senang tinggal di sini daripada tinggal bersama seorang manusia. Mas Joko tentu ingin hidup bebas di alam terbuka.”

“Tidak!. Tidak demikian halnya dengan Mas Joko. Ia merasa lebih senang tinggal bersamaku. Ia sudah terbiasa kumandikan, kuberi sampo dan parfum. Aku sudah biasa memberinya buah pier, apel, sawo dan minum susu. Dia sudah terbiasa bermanja-manja bersamaku.”

“Belum tentu,Inah. Mas Joko adalah seekor monyet, di sini banyak hewan sejenisnya. Ia butuh pasangannya. Dia akan lebih senang di sini.”

“Jangan Bang Olo katakan seperti itu. Aku sedih mendengarnya!” Mbak Inah mencegah.

“Aku mengatakan yang sebenarnya. Sebentar lagi kita mendaki bukit itu dan kita akan melihat sejumlah binatang liar berkumpul dengan hewan-hewan sejenisnya dan mereka berpasangan.”

“Ayo kita mendaki bukit-bukit itu.” ajak Mbak Inah dan menarikkan tangan Bang Olo. “Aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan Mas Joko.”.

“Tapi bukit-bukit itu terlalu terjal dan licin.”

“Biarlah terjal. Biarlah licin.”

“Risikonya terlalu besar.”

“Biarlah aku terjatuh. Biarlah aku terhempas!”

“Kalau kamu terjatuh dan terhempas pasti tidak akan bertemu dengan Mas Joko. Kamu akan masuk rumah sakit karena kakimu patah.”

Mbak Inah akhirnya menghela nafas panjang dan menatap puncak bukit Belasan orang bule sudah sampai di puncak bukit itu.

“Kita harus berhati-hati!”

“Bukankah di sisiku ada Bang Olo. Pegang tanganku erat-erat agar aku tidak terhempas, agar aku tidak tergelincir.”

“Ya, aku akan memegang tanganmu erat-erat.”

“Bang Olo tidak sampai hati melihat aku terhempas,bukan?. Bang Olo tidak akan membiarkan kakiku patah dan masuk rumah sakit,bukan?”

“Ya, aku akan menjagamu. Aku akan melindungi keselamatan dirimu.”

“Terima kasih, aku sangat senang bertemu Bang Olo.”

Sepasang manusia itu menyeberangi sungai dengan menompang sebuah sampan kecil yang dipandu seorang lelaki muda belasan tahun bertubuh hitam legam. Belasan bule dari Eropa juga akan menyeberang dan mendaki bukit itu.

Kicau burung yang bersahut-sahutan menyambut sepasang anak manusia di kaki bukit dan berjalan dengan berbimbingan tangan. Berbagai jenis burung ada di hutan lindung itu. Juga binatang buas seperti harimau dan beruang. Apalagi yang namanya monyet pasti amat banyak. Ular berbisa juga amat banyak di hutan itu.

Di pinggir hutan itu, Inah menghentikan langkahnya. Sesaat ia memandang keliling bukit yang hijau dan lebat.

“Mas Jokooooo!,” Inah berteriak memanggl. “Aku datang,Mas Jokooo!”

Suaranya bergaung. Tidak ada sahutan.

“Hutan ini terlalu lebat, mungkin Mas Joko tidak mendengar suaramu!”

“Kalau Mas Joko mendengar suaraku pasti dia akan datang menghampiri aku!”

“Ayo kita ke tengah hutan. Kamu tidak takut bertemu dengan harimau atau beruang,bukan?”

“Kenapa harus takut?. Semua demi Mas Joko!”

“Aku benar-benar heran melihat dirimu!,” cetus Bang Olo dan mereka melangkah ke tengah hutan. Tangan Mbak Inah berpegang erat pada lelaki itu. Setelah belasan langkah , Mbak Inah menghentikan langkahnya dan suaranya nyaring memanggil:

“Mas Jokoooo!. Aku datang menjemputmu,Mas Jokoooo!”

Suara nyaring itu bergaung. Harimaupun mendengar suara itu. Ular berbisapun ikut mendengar panggilan itu dan tertegun. Apalagi rusa jantan juga berhenti mengunyah rumput saat mendengar suara nyaring itu. Burung-burung yang sedang terbangpun berhenti dan hinggap di ranting pohon ketika mendengar suara seorang perempuan dari tengah hutan memanggil seseorang. Burung-burung itu tampak seperti amat iba dan kasihan mendengar suara perempuan memanggil nama seseorang dengan suara amat nyaring. Ingin rasanya burung-burung itu menyampaikan panggilan itu kepada seseorang yang bernama Mas Joko.

“Aku ada di sini,Mas Joko!. Datanglah kemari. Mari kita pulang!,” teriaknya lagi dengan suara nyaring. Saat memanggil-manggil itulah setetes demi setetes air matanya mengalir di pipinya. Inah tidak mampu menahan kesedihan hatinya. Rasanya sudah terlalu lama ia kehilangan Mas Joko, seperti sudah berbulan-bulan, bahkan seperti sudah bertahun-tahun.

“Mas Jokoooo!,” teriaknya lagi lebih nyaring dan lebih kuat. Berkali-kali, beulang-ulang Mbak Inah menyebut nama itu. Rusa betina yang sedang bunting dan mencari makanan bersama pasangannya tertegun mendengar panggilan itu. Rusa betina itu ikut iba dan kasihan.

Lebih satu jam Mbak Inah memanggil-manggil nama itu dan berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat yang lain. Bang Oloan senantiasa berada di sisinya dan tidak dapat berbuat banyak. Lelaki itu juga merasa iba, juga merasa amat kasihan. Ingin rasanya ia berbuat sesuatu agar Mbak Inah tidak terlalu berharap untuk bertemu kembali dengan sang monyet kesayangannya yang sudah berhari-hari dilepas di tengah hutan lebat dan berkumpul dengan hewan-hewan liar sejenisnya.

“Mungkin Mas Joko suidah kerasan di hutan ini,Inah,” terdengar suara Bang Oloan dan mengusap pundak Mbak Inah dengan perasaan iba.

“Tidak mungkin!,” cepat Inah membantah.

“Kenapa tidak mungkin?. Di hutan ini banyak monyet lainnya sejenis Mas Joko. Siapa tahu Mas Joko sudah menemukan pasangannya dan ingin menetap di hutan ini. Kalau dia bertemu dengan pasangannya, pasti dia berharap akan lahir keturunannya.”

“Tidak!. Aku tidak ingin mendengar kata-kata seperti itu. Jangan ulangi lagi ucapan seperti itu.”

Wajah Mbak Inah cemberuit.

“Kenapa?”

“Aku tidak suka mendengarnya. Lebih baik katakan tentang hal-hal lain.”

Sesaat Bang Oloan terdiam.”

“Kalau Bang Olo tetap ingin mengulangi kata-kata itu, lebih baik tinggalkan aku sendiri di sini!”

“Aku tidak akan sampai hati meninggalkanmu sendiri di tengah hutan belantara seperti ini dan yang ada hanya binatang buas atau ular berbisa.”

“Biarlah aku memanggil Mas Joko lagi. Aku yakin benar, Mas Joko akan mendengar suaraku. Atau burung-burung yang terbang di hutan ini akan menyampaikan suara panggilanku kepada Mas Joko. Dia akan datang kemari dan pulang bersamaku”

Bang Oloan menatap wajah Inah amat dalam. Sepasang mata perempuan itu tampak menyimpan genangan air mata.

“Bantu aku memanjat pohon,” pinta Mbak Inah kepada lelaki suku Mandailing di sisinya.

“Untuk apa memanjat pohon?”

“Aku akan memanggilnya dari puncak pohon, biar suaraku lebih bergema sampai ke ujung hutan ini.”

“Kamu akan terjatuh nanti,Inah. Kamu perempuan, tidak sepantasnya memanjat pohon.”

“Aku akan memanjatnya meskipun Bang Olo tidak mau membantuku!”

Hati perempuan yang lahir di desa di Jawa tengah itu memang sudah menjadi baja yang amat keras dan sukar dilunakkan. Ia berusaha mencari pohon yang dapat dipanjat. Bang Oloan merasa kasihan dan berusaha membantu Inah memanjat. Dari atas pohon itulah suara Mbak Inah terdengar bergema memanggil:

“Mas Jokoooo!. Mari kita pulang!!!”

Berulang-ulang suara nyaring itu bergema dari atas pohon dan terdengar kemana-mana. Tiba-tiba saja daun-daun di semak belukar bergoyang-goyang, seperti ada sesuatu yang berjalan di balik belukar itu.. Seperti sebuah keajaiban, tiba-tiba saja muncul sosok seekor monyet jantan. Seperti ada sebuah mukzijat tiba-tiba saja ada seekor monyet berjalan ke arah Mbak Inah yang masih berada di atas pohon.

Kegembiraan amat meluap di hati Inah ketika ia melihat tiba-tiba Mas Joko muncul dari balik semak belukar. Ia segera melompat dari atas pohon untuk menyambut sang buah hati yang amat dirindukannya berhari-hari. Untunglah kakinya tidak sempat patah. Bahkan Inah tidak merasa sakti sedikitpun meskipun ia melompat dari dahan yang tinggi. Ia memang rela mati demi Mas Joko.

“Mas Joko! Mas Joko mendengar suaraku. Syukurlah Mas Joko mendengar aku memanggilmu.”

Mbak Inah menyambut kedatangan sang monyet kesayangan itu dengan pelukan hangat.

“Akhirnya kita bertemu lagi,Mas Joko. Akhirnya kita berkumpul lagi. Mari kita pulang!”

Mbak Inah menggendong sang monyet dan menciumnya berkali-kali.
”Mas Joko baik-baik saja di hutan ini,bukan?. Mas Joko tidak sakit?. Mas Joko tidak kedinginan,bukan?”

Sang monyet mendekap tubuh Mbak Inah amat erat. Binatang berkaki empat itu seperti tidak ingin berpisah lagi dengan Mbak Inah.

Di tengah hutan itu, Mas Joko memang mendengar suara Inah memanggilnya padahal monyet itu sedang berada di tempat jauh. Monyet itu memang amat menandai suara Mbak Inah. Monyet itu memang amat kenal dengan suara Mbak Inah yang selama ini tiap hari memandikannya, memberinya parfum dan tiap hari mengusap jambulnya serta menciumnya dengan kasih sayang.

Andainya yang memanggil adalah Bang Oloan, meskipun suaranya sekeras petir pasti Mas Joko tidak akan mendengarnya. Meskipun Bang Oloan memanggilnya dari atas puncak gunung yang tinggi dan suaranya bergema hingga kemana-mana, monyet jantan itu tidak akan terpanggil.

Hanya karena ada kontak batin yang amat kental antara Mbak Inah dan sang monyet itu, Mas Joko mendengar suara panggilan itu. Hanya karena ada hubungan batin yang amat akrab antara gadis kelahiran Jawa Tengah itu dengan sang monyet, maka Mas Joko terimbau dan segera mencari dari mana datangnya suara Mbak Inah memanggil.

Itulah sebabnya ketika sang monyet kesayangan itu mendengar suara Mbak Inah memanggilnya, ia segera berlari-lari dan batinnya memang merasa terpanggil.

“Ayo kita pulang,Mas Joko. Tinggalkan hutan ini. Aku tidak dapat hidup tanpa Mas Joko. Kita akan mengadakan pertunjukan lagi dari kampung ke kampung seperti semula. Kita akan mencari saweran. Aku berjanji akan melindungimu agar tidak ada siapapun yang dapat memisahkan kita. Aku bersumpah untuk melindungi dirimu agar tidak seorangpun merenggutmu dari sisiku. Kita akan selalu bersama. Kita akan selalu mengadakan pertunjukan bersama dari satu kampung ke kampung lainnya.”

Sekali lagi Mbak Inah memeluk tubuh monyet itu dengan kasih sayang. Sekali lagi dan sekali lagi Mbak Inah mencium sang monyet itu. Mas Joko tampak sangat riang dalam gendongan gadis itu.

Akan halnya Bang Oloan terheran-heran melihat suasana akrab antara sang monyet dengan Inah, seorang manusia. Pertemuan itu ibarat pertemuan sepasang manusia yang saling merindukan dan sudah bertahun-tahun berpisah jauh dan amat lama. Pertemuan itu amat mesra. Pertemuan itu amat mengharukan.

“Mas Joko aman-aman saja di sini?,” tanya Mbak Inah kepada sang monyet.

Sang monyet seakan mengerti pertanyaan itu. Batin Mbak Inah seperti mendengar jawaban dari sang monyet itu, bahwa ia baik-baik saja selama di tengah hutan.

“Mas Joko tidak dimusuhi harimau?,” Mbak Inah bertanya lagi. Sekali lagi batin Inah seperti mendengar jawaban dari sang monyet kesayangannya, bahwa selama di hutan itu harimau bagaikan sahabatnya yang baik.

Batin Inah mendengar penuturan monyet kesayangannya, bahwa selama di hutan itu ia banyak bertemu dengan berbagai hewan-hewan lainnya, juga binatang liar yang dilindungi dan tidak boleh diburu, tidak boleh dipelihara, tidak boleh dibunuh dan tidak boleh dijual belikan, tidak boleh diawetkan dan dijadikan pajangan di rumah-rumah.

Batin Inah seperti mendengar kisah Mas Joko selama beberapa hari menjelajah hutan dan bertemu dengan hewan langka yang dilindungi, seperti macan Jawa, burung jalak putih, kakak tua raja, rusa dan burung beo. Di hutan itu Mas Joko juga bertemu dengan bajing tanah, musang air, burung nuri merah, beruang madu, landak, kucing hutan dan harimau dahan. Binatang air yang dilindungi juga banyak ditemui oleh Mas Joko, seperti buaya muara, biawak coklat, penyu belimbing, kura-kura gading dan banyak lagi.

***

Ketika berangkat Bang Oloan hanya berdua bersama Inah yang berpegang erat pada pinggangnya, lalu ketika pulang kini bertiga, bersama Mas Joko yang berada di gendongan Mbak Inah. Bagaikan seorang bocah yang amat manja, sang monyet itu memeluk tubuh Inah amat erat dan kepala sang monyet lekat tepat di dada gadis Jawa itu yang selalu lembut dan indah.

“Stop,Bang Olo!. Berhenti!,” teriak Mbak Inah ketika kenderraan mereka melewati sebuah warung di pinggir jalan.

“Kenapa harus berhenti?” Bang Olo menginjak rem.

“Kita minum dulu dan juga makan!”

Tentu saja Bang Oloan tidak menolak untuk berhenti karena ia memang sudah lelah menjelajah hutan menemani Mbak Inah. Lidahnya sudah rindu kopi kental. Pemilik warung amat heran melihat seekor monyet dalam gendongan Inah yang memesan susu kental. Yang meneguk susu itu bukan Mbak Inah, bukan Bang Oloan, tapi sang monyet yang tampak lahap menyedotnya.

“Mas Joko sudah lama tidak menikmati susu. Mana ada susu di tengah hutan.” suara Inah penuh kasih sayang.

Bang Oloan meneguk kopi hangat, tapi pandangannya selalu tertuju pada monyet di sisi Mbak Inah. Tampak amat akrab dan penuh persaudaraan. Demi Tuhan, Bang Oloan tidak pernah melihat hubungan yang amat akrab antara seekor hewan yang namanya monyet dengan seorang gadis cantik. Demi Tuhan, Bang Oloan tidak pernah mendengar hubungan batin yang amat kental antara seorang gadis dengan seekor kera.

Demi Tuhan, Bang Oloan tidak pernah melihat seekor monyet amat manja terhadap seorang wanita yang belum menikah. Entah bagaimana gadis itu membina persahabatan yang amat kental. Sungguh luar biasa.

Tidak hanya minum susu di sebuah warung di pinggir jalan, ketika melewati warung buah-buahan, Mbak Inah juga minta berhenti dan mampir. Ia memberikan apel yang segar untuk monyet kesayangannya.

“Ayo nikmati apel ini,Mas Joko. Bukankah sudah lama Mas Joko tidak makan apel selama di hutan?. Yang ada di hutan hanya buah-buahan hutan yang tidak enak rasanya.”

Tidak hanya apel segar yang dikunyah oleh sang monyet itu, tapi juga buah pier dan sawo. Monyet itu tampak senang sekali. Dan bahagia, seperti manusia. Mas Joko memang amat dimanjakan oleh Inah.

Hari-hari yang indah kini dirasakan oleh gadis asal Jawa Tengah itu sejak monyet kesayangannya sudah kembali di sisinya. Mereka berdua kembali menelusuri komplek perumahan dan perkampungan penduduk untuk mengadakan atraksi pertunjukan topeng monyet. Mereka menerima saweran yang cukup lumayan setiap hari. Tiada hari tanpa saweran yang lumayan, bisa untuk membeli nasi, susu, apel, parfum dan juga bedak serta sisanya ditabung. Tuhan kembali membukakan pintu langit dan dari sana turunlah rezeki yang lumayan untuk Mbak Inah dan Mas Joko yang sudah teramat jauh meninggalkan kampung kelahirannya di Jawa Tengah.

Hari-hari yang penuh kemesraan kini dinikmati Inah bersama Mas Joko. Hampir tiap malam setelah pulang dari melakukan pertunjukan, bagaikan seorang ronggeng ia menari dan bernyanyi bersama monyet kesayangannya. Hubungan batin antara Mbak Inah dan Mas Joko semakin kental. Semakin akrab.

Bahkan Inah terlalu asyik dengan Mas Joko padahal di rumah itu hadir seorang lelaki pekerja proyek yang ingin duduk berdua dan berpegangan tangan dengannya. Bang Oloan hanya duduk sendiri menikmati kopi, sementara Mbak Inah bersama monyet itu. Bang Oloan merasa kecewa. Ia merasa tidak diperdulikan. Kehadirannya di rumah itu sia-sia. Kedatangannya untuk mengunjungi Mbak Inah tidak punya arti apa-apa. Untuk apa datang dari jauh kalau yang menemaninya hanya segelas kopi?. Bang Oloan merasa iri. Lelaki itu merasa cemburu.

“Berhentilah memanjakan Mas Joko,” terdengar suara Bang Oloan ketika Mbak Inah memberikan susu kepada Mas Joko.

“Mas Joko haus!,” Mbak Inah berkata tanpa memandang wajah Bang Oloan yang menatap wajahnya amat dalam.

“Memberi minum boleh saja, tapi tidak usah berlebihan.”

“Tidak bolehkah aku menyayangi Mas Joko yang menjadi temanku mencari rezeki?”

“Boleh saja!. Tapi ada harus ada batas. Kamu harus ingat, bahwa dirimu adalah seorang gadis dan Mas Joko tidak lebih dari seekor hewan.”

“Mas Joko perlu perhatian khusus dariku.”

“Tapi tidak harus dengan sikap dan perlakuan yang berlebihan. Kamu menganggap Mas Joko seperti kekasihmu, seperti pacarmu. Kamu seperti memberi peluang kemesraan dan kehangatan kepadanya. Itu berlebihan,Inah.”

“Tidak bolehkah aku mengusap tubuhnya?. Tidak bolehkah aku menciumnya?. Tidak bolehkah aku menggendongnya?. Tidak bolehkah Mas Joko duduk di pangkuanku dan menyandarkan kepalanya di dadaku?”

“Perlakuan itu berlebihan,Inah. Harus ada batas!”

Inah menatap wajah Bang Oloan. Lelaki itu menyentuh pundak Inah dan mengusapnya.

“Sejak tadi aku di sini hanya ditemani segelas kopi sementara kamu terus-terusan bersama Mas Joko. Aku tidak ingin kamu abaikan aku,Inah. Aku juga ingin perhatian serius darimu. Aku berharap yang menemani aku di rumah ini adalah kamu,Inah. Aku ingin menyentuh tanganmu, aku ingin membelai tubuhmu. Aku ingin memelukmu erat sekali. Tapi bagaimana aku bisa memelukmu kalau Mas Joko ada di pangkuanmu?”

Sesaat Mbak Inah termenung.

“Atau kamu tidak menyukai kehadiranku di sini?”

“Demi Tuhan, aku amat senang Bang Olo mengunjungiku.”

“Tapi aku sangat kecewa karena sikapmu yang tidak perduli terhadapku. Kamu lebih banyak memperhatikan Mas Joko.”

“Terus terang, aku tidak dapat hidup tanpa Mas Joko. Aku banyak berharap darinya,terutama dalam hal mencari nafkah.”

“Tapi tidak dengan cara berlebihan.”

Diam-diam Bang Oloan selalu memperhatikan sikap Inah memberikan perhatian kepada sang monyet itu. Bahkan mandipun terkadang bersama-sama, memberinya bedak dan parfum, mengusap tubuh sang monyet, membiarkan binatang itu duduk di pangkuannya dan menyandarkan kepada di dada Inah, hingga cara Inah mencium monyet itu. Hubungan batin antara Inah dan monyet itu dirasakan oleh Bang Oloan terlalu akrab, melebihi ambang batas.

“Katakan terus terang padaku, ada apa dalam dirimu!,” desak Bang Oloan dan menatap mata Inah amat tajam.

“Tidak ada apa-apa,” Inah menyahut polos. “Kami hanya saling membutuhkan.”

“Itulah yang seharusnya tidak boleh terjadi. Kamu harus membatasi sikapmu terhadap Mas Joko.”

“Tapi Mas Joko seperti juga manusia, ia banyak menolong ketika aku dalam kesulitan dan himpitan. Mas Joko menolongku dalam hal mencari saweran. Mas Joko selalu melindungiku dari ancaman bahaya.”

Mbak Inah masih sempat berkata tentang kejadian dalam bis ketika ia akan berangkat dari Jawa dan kenek bis itu berusaha memeluk dan menciumnya , lalu Mas Joko menggigit kenek bus yang jahil dan nakal itu. Juga ketika Mas Joko dibawa petugas penertiban kota saat terjadi penggusuran. Saat itu Inah menjadi korban pemerasan dan juga pelecehan. Mas Joko tiba-tiba menjebol asbes ketika aparat di instansi itu berusaha melecehkan dirinya.

“Sudah sepantasnya aku membalas budi kepada Mas Joko. Kukira tidak berlebihan bila aku menyayanginya.”

“Kamu harus menyadari, bahwa dirimu adalah perempuan,Inah. Pasanganmu bermesraan bukan dengan seekor monyet, tapi dengan seorang manusia. Jangan lupa diri!”

“Aku merasakan Mas Joko seperti manusia yang dapat menjadi sahabatku sekali gus sebagai saudaraku di rantau orang.”

“Sekali gus sebagai pasanganmu,begitukah?”

Inah tidak mampu menyahut. Ia menuduk. Dan sorot mata Bang Oloan semakin tajam. Inah menurunkan Mas Joko dari pangkuannya. Monyet itu menyingkir.

“Terus terang katakan kepadaku. Kamu menganggap Mas Joko sebagai kekasihmu?. Kamu menganggap Mas Joko sebagai pasanganmu?”

Gadis itu tidak mampu menyahut. Lama ia menunduk dan Bang Oloan membelai rambutnya, juga membelai tubuhnya dengan kasih sayang.

“Terus terang ada sesuatu yang tersembunyi pada dirimu hingga terjalin hubungan batin yang sangat kental antara dirimu dengan Mas Joko. “

Gadis itu masih menunduk dan tidak mampu berkata-kata.

“Pasti ada sesuatu yang membuat kamu sangat menyayangi Mas Joko secara berlebihan. Aku ingin mendengarnya,” desak Bang Oloan.

“Ya. Aku merasa suatu saat Mas Joko akan benar-benar menjelma sebagai manusia yang gagah dan perkasa.”

“Buang jauh-jauh pikiran seperti itu,Inah!. Aku ingin menolongmu. Kalau kamu dalam kesulitan katakan kepadaku, biar aku yang akan menolongmu. Bukan Mas Joko!”

“Penuturan mendiang ibuku terlalu lekat di hatiku. Aku tidak bisa melupakannya. Aku tetap berharap suatu saat Mas Joko akan menjelma sebagai manusia yang kemudian akan menjadi kawan hidupku, yang akan menjadi suamiku,”

“Mustahil!. Itu tidak mungkin terjadi.”

“Tapi mendiang ibuku selalu berkata begitu.”

“Apa saja yang dituturkan ibumu?. Dongeng sebelum tidur?” Tatapan mata Bang Oloan semakin dalam. Lelaki itu menyelidik lebih mendalam melalui tatapan mata Inah.

“Almarhum ibuku selalu bertutur tentang Lutung Kasarung. Lutung adalah seekor kera hitam jelmaan dewa di langit. Boleh aku menceritakan hal itu kepada Bang Oloan?. Maukah Bang Oloan mendengar tentang seekor monyet yang dikatakan ibuku adalah jelmaan seorang dewa dari langit?”

“Aku akan senang sekali mendengarnya. Ayo katakan kepadaku, aku akan mendengarnya setiap kata yang kamu ucapkan.”

Sesaat Inah menunduk, seperti mengumpulkan semua ingatannya tentang kisah yang selalu dituturkan ketika sang ibundanya masih hidup dulu.

“Ibu menuturkan tentang Prabu Tapa Agung yang sangat adil dan bijaksana dalam memimpin negaranya yang makmur dan rakyatnya sejahtera. Tapi sang prabu sudah sangat sepuh dan renta.”

“Lalu sang prabu bermaksud turun tahta?” tanya Bang Oloan ingin tahu.

“Prabu Tapa Agung akan lengser dan menyerahkan tahta kerajaannya kepada puteri bungsunya.”

“Siapa nama puteri bungsunya?”

“Purbasari yang memiliki seorang kakak bernama Purbararang yang tentu saja sangat tidak setuju atas tindakan ayahandanya. Puteri Purbararang bersama kekasihnya mendatangi seorang nenek sihir dan dengan mantera-mantera serta ilmunya sang nenek sihir membuat Purbasari diserang penyakit kulit dan penuh borok.”

“Mana mungkin seorang wanita yang tubuhnya penuh borok dan kudis menjadi ratu yang memimpin sebuah kerajaan yang makmur.”

“ Jiwa dan otak ratu Purbararang memang kotor dan keji. Adiknya yang kini bertubuh penuh borok diasingkan di hutan belantara yang amat gelap. Di hutan itu Purbasari dibuatkan sebuah pondok yang rapuh padahal di sana amat banyak binatang buas seperti harimau, beruang, gajah, ular dan hewan-hewan lainnya. Ratu Purbararang berharap adiknya diterkam binatang buas itu biar mati, biar tidak kembali lagi ke kerajaan. Ratu Purbararang sangat takut kehilangan tahtanya, sangat takut kekuasannya direbut adiknya sendiri yang suatu saat akan keluar dari tengah hutan.”

“Lalu Puteri Purbasari diterkam beruang?. Atau tubuhnya dicabik-cabik harimau yang ganas dan lapar?” sela Bang Oloan yang tertarik pada kisah itu.

“Tidak!. Di hutan belantara itu memang amat banyak binatang buas yang lapar, tapi tidak satupun yang mengganggu Purbasari. Bahkan semua binatang buas itu menjadi sahabat Purbasari dan menjaga sang puteri yang nasibnya malang. Hewan-hewan yang buas itu itu pula yang mencarikan makanan untuk puteri yang sebenarnya baik hati dan jiwanya selembut sutera.”

“Kasihan puteri yang malang. Dia pasti cantik sekali!”

“Ya, mendiang ibuku menuturkan bahwa Purbasari sangat cantik, secantik bidadari di langit. Tapi apa boleh buat karena sifat serakah dan busuk hati kakaknya, tubuhnya menjadi cacat dan penuh borok. Purbasari menerima dengan lapang dada segala apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya dapat menangis di depan para binatang buas yang selalu datang menjenguk, menjaganya dan menghibur dirinya agar kerasan tinggal di tengah hutan lebat itu.”

“Adakah salah satu binatang buas itu yang menjadi teman istimewa bagi Purbasari?,” Bang Oloan menyelidik kemana akhirnya kisah itu.

“Ada!”

“Siapa? Burung nuri yang cantik?”

“Bukan!”

“Seekor kijang jantan?”

“Bukan!”

“Harimau yang ganas?”

“Bukan!”

“Seekor ular berbisakah yang menjadi sahabat kental Purbasari?”

“Bukan!”

“Lalu binatang apa yang menjadi teman paling setia sang ratu itu?”

“Seekor kera, seekor monyet hitam berbulu lebat yang namanya Lutung Kasarung.”

“Lalu terjalinlah persahabatan yang amat akrab antara Purbasari dan Lutung Kasarung itu?”

“Tidak hanya seperti persahabatan biasa. Lebih dari itu, lebih dari sekedar persaudaraan biasa. Di malam hari, ketika bulan purnama sedang menghiasi langit biru bersama jutaan bintang-bintang Lutung Kasarung selalu menemani Purbasari dan mereka duduk berdampingan. Monyet itu selalu mencarikan bunga-bunga untuk Purbasari dan meletakkan di rambutnya. Mereka seakan sepasang kekasih yang sangat setia dalam suka dan duka. Sejak kehadiran monyet itu, hati Purbasari berbunga-bunga. Hampir tiap saat dua mahluk itu selalu berdua dan bersama. Mereka selalu bersenda gurau. Mereca saling memadu kasih. Mereka tidak terpisahkan lagi.”

“Sungguh menarik kisah yang dituturkan ibumu.” cetus Bang Oloan..

“Dari hari ke hari kedua mahluk itu semakin akrab dan mesra. Mereka menjalin kasih sayang. Kedua mahluk itu seperti saling membutuhkan. Saling mencintai seperti manusia.”

“Kedengarannya aneh, anak manusia mencintai seekor monyet.”

“Tapi Lutung Kasarung bukan sembarang monyet. Lutung Kasarung adalah jelmaan dewa dari taman firdaus. Suatu saat, ketika bulan purnama sedang menghiasi langit biru, Lutung Kasarung tidak tampak bersama Purbasari sehingga gadis itu dirundung kerinduan.”

“Kemana Lutung Kasarung waktu itu?. Kenapa ia sampai hati membiarkan Purbasari sendiri di tengah hutan yang gelap?”

“Ternyata Lutung Kasarung sedang bersemedi. Monyet itu bertapa.”

“Apa yang diminta oleh monyet itu dari para dewa?”

“Lutung Kasarung berharap ada sebuah danau di tengah hutan itu. Esok hari ternyata memang muncul sebuah danau yang airnya amat jernih dan ikan-ikan berbagai jenis bermain di danau itu“

“Dan Purbasari mandi di danau itu?” sela Bang Oloan ingin tahu dan menatap wajah Inah yang cantik.

“Purbasari tanpa ragu-ragu mencebur di danau itu. Sepanjang hari ia bermain air danau yang bening tanpa merasa lapar. Keajaiban telah terjadi. Para dewa ternyata menyaksikan Purbasari bermain air di danau itu dan ternyata air danau itu mengandung mukzijat. Borok dan kudis yang memenuhi tubuh Purbasari tiba-tiba lenyap sehingga tubuh gadis itu tampak bersih dan mulus. Purbasari benar-benar sangat cantik jelita!”

“Tentu saja Lutung Kasarung amat senang memandang tubuh Purbasari yang bersih dan mulus.”

“Tentu saja!. Lurtung Kasarung senantiasa memperhatikan tubuh Purbasari seperti tidak pernah puas.”

“Apakah Purbasari berhasrat untuk kembali ke istana?. Apakah ia ingin merebut kerajaan yang ia tinggalkan dari tangan kakaknya yang jahat?”

“Tidak!. Ia tetap memilih tinggal di hutan.”

“Ia tetap memilih tinggal bersama Lutung Kasarung?. Aneh kalau dia lebih memilih untuk tetap tinggal di hutan bersama seekor monyet dari pada tinggal di istana yang mewah dan megah.Aneh gadis cantik lebih memilih tinggal di tengah hutan bersama seekor monyet.”

“Begitulah adanya!”

“Betapa luhur hati sang ratu yang terlempar dari istana itu.”

“Tentu saja kakaknya sangat kaget ketika suatu saat ia berjalan-jalan ke hutan dan melihat tubuh adiknya yang dulu penuh koreng, penuh kudis dan borok kini sudah berubah sama sekali. Purbasari terlihat sangat cantik.”

“Bagaimana sikap sang kakak melihat adiknya terlihat cantik?. Khawatirkah dia akan adiknya ayang suatu saat akan merebut tahta kerajaan?”

“Tentu saja sang kakak cemas. Apalagi dalam diri kakaknya terdapat darah dan jiwa yang amat kotor dan busuk. Sebelum sang adik kembali ke istana, sang kakak mengadakan adu rambut, siapa yang rambutnya lebih panjang dialah yang akan menjadi ratu pemegang kekuasaan di kerajaan.”

“Lalu rambut siapa yang lebih panjang?. Purbararang atau Purbasari?” Bang Oloan amat tertarik pada kisah itu dan ingin tahu kelanjutannya.

“Tentu saja Purbasari yang menang!”

“Lalu Purbasari akan segera kembali ke istana untuk memangku jabatan sebagai ratu?. Lalu Purbasari menuntut tahta kerajaan itu dari sang kakak?””

“Otak kakaknya memang kotor dan keji. Meskipun jelas Purbasari telah memenangkan sayembara itu, tapi ia belum rela menyerahkan jabatan ratunya kepada adiknya. Masih ada syarat lagi.”

“Syarat apa lagi?”

“Purbararang mengajukan syarat. Seorang ratu harus didampingi oleh raja yang tampan. Siapa yang memiliki calon suami yang lebih gagah dialah yang akan menjadi ratu. Mana mungkin seorang ratu bersuamikan laki-laki yang buruk muka. Mana mungkin ratu bersuamikan seekor monyet.”

“Syarat itu membuat Purbasari menyerah. Kasihan,” Bang Oloan memberikan reaksi. “Kasihan kalau Purbasari tetap tinggal di hutan bersama seekor monyet.”

“Para dewa di langit memang sedang menguji hati Purbasari, apakah ia tabah menghadapi sikap dan pola pikir kakaknya yang rakus kekuasaan.”

“Bantuan apa yang diberikan para dewa kepada Purbasari untuk menolongnya?”

“Monyet hitam yang selalu menemani Purbasari siang dan malam ternyata bukan monyet biasa, tapi jelmaan para dewa. Dalam waktu sesaat Lutung Kasarung berobah menjadi seorang lelaki gagah perkasa, jauh lebih perkasa dari kekasih Purbararang. Menangislah Purbararang karena ia harus kehilangan tahta.”

“Kisah itu pasti sangat melekat dalam jiwamu,Inah. Penuturan ibumu pasti sangat lekat dalam darahmu,” ujar Bang Oloan setelah Inah mengakhiri kisah yang dituturkan ibunya dulu.

“Ya, aku akan selalu ingat. Karena itulah ketika aku menemukan seorang anak monyet di lading jagung tidak jauh dari hutan, rasanya aku seperti kedatangan Lutung Kasarung.”

“Karena itulah kamu memeliharanya, menyayanginya, mencintainya dan menganggapnya sebagai kekasihmu?”

“Aku berharap Mas Joko akan menjelma menjadi seorang pemuda gagah yang kelak menjadi suamiku.”

“Apa yang dituturkan mendiang ibumu hanya sebuah dongeng,Inah. Bukan hal yang sebenarnya terjadi. Sungguh mustahil. Sungguh tidak mungkin terjadi. Mana mungkin seekor monyet menjelma jadi manusia yang tampan, gagah dan perkasa.”

“Tapi aku sangat percaya!” sela Mbak Inah dengan nada yakin.

“Tidak mungkin,Inah. Kamu hanya mimpi!. Mulai hari ini mimpi itu harus kamu akhiri. Mulai hari ini kamu harus merobah sikapmu terhadap Mas Joko. Jangan lagi berlebihan dalam menyayangi monyet itu.”

“Itulah yang teramat sulit untuk kulakukan. Aku sudah terlanjur menyayangi Mas Joko. Aku sudah terbiasa memanjakannya. Aku sudah terbiasa menggendongnya, sudah terbiasa membiarkan Mas Joko duduk di pangkuanku dan menyandarkan kepalanya di dadaku.”

“Itulah yang harus kamu robah. Kamu harus menjaga jarak. Kamu harus membatasi diri agar tidak terlalu larut dalam impian.”

“Amat sulit,Bang Olo!”

“Kamu harus mampu menahan diri. Biarlah perlahan-lahan dan aku akan membantumu. Aku akan selalu hadir di sini dan membuatmu menjaga jarak dengan Mas Joko.”

Bang Oloan memeluk tubuh Inah amat erak. Pelukan itu dirasakan Inah amat hangat dan penuh arti. Ia tidak mampu berkata apa-apa. Ia membiarkan lelaki itu membisikkan kata-kata cinta dan kasih sayang di telinganya.

Permainan pat gulipat semakin menjadi-jadi. Kebohongan semakin meluas. Para pemain sulap sudah masuk ke berbagai instansi pemerintah. Angka-angkapun amat mudah disulap. Sulit dicari orang yang berjalan lurus. Sukar ditemukan aparat yang jujur. Entah dimana sekarang orang-orang yang hatinya bersih. Dimana orang meletakkan sumpah jabatan?. Padahal setiap orang yang akan diangkat sebagai aparat harus menjalani sumpah jabatan. Kejujuran amat mahal harganya saat ini. Yang namanya perbuatan nakal ada di darat, ada di laut dan di udara juga ada. Korupsi ada dimana-mana, di seantaro nusantara. Yang namanya pungutan liar terjadi di sepanjang kaki langit tanah air ini. Nusantara yang amat luas ini telah menjadi lahan yang empuk bagi pencoleng harta Negara..

Sopir taksi itu pernah mendengar dari penumpangnya yang bekerja di instansi kehutanan, bahwa yang dilindungi tidak hanya binatang liar, tapi juga berbagai jenis fauna atau tetumbuhan, yakni pohon yang berdasarkan ordonansi perlindungan alam. Seperti pohon pinus markusi, pohon unggul, pohon induk, tidak boleh sembarang ditebang atau dirusak. Juga pepohonan yang jadi sumber kehidupan masyarakat banyak, seperti untuk sarang lebah. Juga pohon-pohon yang tumbuh di atas daerah yang dianggap suci atau keramat. Yang paling dilindungi lagi adalah pohon-pohon yang tumbuh di sekitar sumber air sungai dan peresapan air.

“Kapan negara ini akan makmur kalau pegawai pintar bermain sulap?,” terdengar suara Mbak Inah amat kesal ketika taksi itu meluncur cepat. Gadis pawang monyet itu harus mengeluarkan uang, bahkan tidak hanya uang. Mbak Inah sudah menjadi korban pelecehan ketika Mas Joko ditangkap saat terjadi penggusuran. Sekarangpun ia baru saja menjadi korban pungutan liar, ketika melewati poas penjagaan oleh aparat kehutanan. “Kapan kemiskinan akan berakhir kalau aparat tidak lagi berlaku jujur?”

“Masih ada satu dua manusia yang jujur. Tidak semuanya jahat. Masih ada satu dua orang yang hidupnya bersih.” Sahut sopir taksi yang menginjak pedal gas dan taksi itu meluncur amat kencang menuju Medan, menuju desa Bandar Setia tempat Mbak Inah bermukim.

“Dimana?”

“Suatu saat ini Mbak akan bertemu dengan orang-orang yang jalan hidupnya bersih, yang tidak mau menerima uang satu senpun.”

“Wartawankah dia?” cetus Mbak Inah ketus. Ia selalu melihat di layar kaca, wartawan dari teve tidak mau menerima uang imbalan uang dan selalu dibekali surat tugas. “Saya dengar wartawan juga banyak yang nakal.”

“Betul. Surat kabar sudah puluhan banyaknya, malah yang tidak memberi gaji kepada wartawannya juga ada.”

“Lalu dari mana wartawan itu makan kalau tidak diberi gaji?”

“Dari mana lagi kalau tidak menanduk”

“Apa wartawan punya tanduk?”

“Itulah anehnya negara ini, dia bukan hewan berkaki empat tapi amat lihai menanduk.”

“Lalu yang ditanduk itu pejabat?”

“Bisa pejabat, bisa pedagang, bisa kontraktor, bisa developer yang meyalahi prosedur dan banyak lagi”

“Saya ingin bertemu dengan seseorang yang jujur dan bersih, yang tidak mau duit, yang tidak pintar bermain sulap, yang tidak pintar menukangi angka-angka.”

“Perjalanan hidup Mbak masih panjang. Suatu saat akan bertemu dengan orang-orang yang jujur di anatara ribuan permain sulap dan pembohong.”

Rasa kesal masih ada dalam dada Mbak Inah ketika taksi itu menurunkannya tepat di depan rumahnya di kawasan Bandar Setia.

“Mampir,Mas Sopir,” ajak Mbak Inah ramah setelah menguluran ongkos taksi.

“Mbak sendiri di rumah ini?”

“Tidak sendiri.”

“Dengan suami?”

“Dengan Mas Joko!,” Mbak Inah mengusap kepala monyet di sisinya. Sang sopir terheran-heran.

“Tidak takut?”

“Kenapa harus takut?. Mas Joko selalu melindungi saya. Kami saling menjaga. Kalau saya dalam kesulitan orang atau dileecehkan, Mas Joko tiba-tiba muncul membantu saja. Tapi kalau Mas Joko terancam jiwanya, saya harus menyelamatkan dirinya.”

“Luar biasa!”

“Saya senang ngobrol bersama Mas Sopir yang sangat banyak pengalaman dalam meniti kehidupan ini. Mari mampir ke ruamh saya, sekedar minum kopi hangat bersama Mas Joko.”

“Terima kasih. Terima kasih!”

Sopir yang tampak rajin beibadah itu mengucap salam dan mohon diri.

***

Musim kemarau memang sudah berakhir. Tanah dan sawah yang kekeringan kini sudah ditanami orang dengan padi yang kini menghijau. Parit-parit sudah berair. Kuntum-kuntum bunga sudah mulai mekar dimana-mana. Pohon jambu berbuah lebat. Hampir tiap hari turun hujan dan terkadang sangat lebat sehingga selokan melimpah. Terkadang udara amat dingin, dan burung-burungpun menggigil kedinginan di sarangnya. Mbak Inah juga merasakan dinginnya udara malam. Andainya Mas Joko adalah seorang manusia perkasa, pasti mereka tidur berdekapan dalam satu selimut. Mbak Inah hanya mendekap tubuh Mas Joko sesaat saja.

Hampir tiap hari mendung pekat bergumpal di langit. Hampir tiap hari angin berhembus amat kencang, meluruhkan daun-daun pohon mangga dan daun pohon mahoni di pinggir jalan, bahkan terkadang rantingnya patah dan terhempas ke bumi. Sangkar burungpun ikut terhempas di atas tanah dan terkadang jatuh di atas parit. Kasihan anak burung dalam sangkar yang terhempas itu terdengar merintih tapi tidak seorangpun yang perduli.

Angin kencangpun tiap hari berhembus membawa mendung pekat dari arah laut dan bergumpal di langit sehingga matahari tersembunyi. Alam menjadi gelap seperti malam hari padahal masih pukul dua belas siang hari. Pintu langitpun di atas rumah Mbak Inah juga seakan tertutup oleh mendung pekat. Kalau langit sedang tertutup mendung pekat, dari arah mana lagi Tuhan akan mnruunkan rezeki untuk Mbak Inah dan Mas Joko?.

Kalau hujan sedang turun mana mungkin Inah dan Mas Joko melakukan pertunjukan topeng monyet. Kalaupun tampil pasti penonton sepi. Itulah sebabnya selama musim hujan berlangsung Mbak Inah dan Mas Joko lebih sering di rumah. Itulah sebabnya Inah selalu menatap langit yang masih gelap. Sesekali ada seseorang yang datang untuk meminta bantuan pengobatan tradisional.

“Bersabarlah ,Mas Joko. Gusti Allah masih menutup pintu langit. Besok atau lusa mudah-mudahan pintu langit akan terbuka dan rezeki untuk kita akan turun.”

Mas Joko tampak murung.

“Kita di rumah saja ya, Mas Joko. Kita nyanyi besama, kita main karaoke.”

Mas Joko diam.

“Atau Mas Joko mau ronggeng?”

Monyet itu mengedipkan matanya, seperti setuju apa yang dikatakan Mbak Inah. Gadis itu menghidupkan VCD dan bergemalah sebuah tembang Jawa yang amat populer dan kocak, berjudul Gundul-Gundul Pacul:

Gundul-Gundul pacul – cul

Gembelengan

Nyugi-nyugi wakal-kal

Gembelengan

Wakal glempeng

Segane dadi sak ratan

Segane dadi sak rattan

Sejak masih gadis cilik dulu, di desa kelahirannya, ia selalu melantunkan tembang itu. Semua anak-anak berdarah Jawa pasti sangat menyukai tembang itu. Sebuah tembang yang enak didengar dan kocak. Seiring dengan tembang itu, Mbak Inah berjoget bersama sang monyet kesayangannya. Mbak Inah benar-benar larut dalam lagu itu. Ia teringat masa bocah di desanya dulu. Masa bocah adalah saat-saat yang teramat indah dan tidak terlupakan meskipun di desanya hampir semua warganya hidup miskin. Tidak makan nasi juga pernah. Sepanjang hari hanya makan singkong yang dijadikan gaplek. Masih enak kalau yang dimakan singkong yang diolah jadi sawut yang dicampur dengan kelapa dan dibubuhi gula.

Tapi masa bocah yang amat indah itu sudah lama berlalu, sudah ia tinggalkan. Sekarang Leginah sudah merantau jauh ke Pulau Sumatera. Sekarang gadis yang dulu amat lugu itu terbawa langkahnya hingga ke seberang laut, hingga ke Tanah Deli dan sekarang bermukim di pinggiran kota Medan.

Bersama Mas Joko, Mbak Inah menari di atas lantai seperti seorang ronggeng yang berjoged bersama pasangannya, padahal pasangannya hanya seekor monyet jantan.. Mbak Inah mersa seperti sedang meronggeng bersama seorang lelaki gagah perkasa yang masih berusia muda. Kontak batin antara Mbak Inah dan Mas Joko memang terasa amat kental. Hubungan batin antara seorang gadis berdarah Jawa dengan seekor monyet tampak demikian akrab dan penuh kasih sayang. Seperti ada simpul tali yang mengikat keduanya amat erat. Bahkan simpul mati.

Terlalu asyik bejoged besama Mas Joko menyebabkan Mabk Inah tidak menyadari ada tiga buah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Dua mobil di antaranya membawa kerankeng dan didalamnya terdapat beberapa binatang , seperti burung kasuari, burung gunting, burung nuri merah, burung jalak putih, bangau putih susu, burung betet besar. Lalu di kerangkeng lainnya tampak ornag utan, landak semut, kuwuk, harimau dahan dan banyak lagi.

Gadis pawang monyet itu tidak menyadari, bahwa sudah beberapa minggu sebuah LSM yang bergerak dibidang perlindungan hewan-hewan yang tidak boleh dimusnahkan dan harus dilindungi melakukan sweeping ke berbagai pelosok. Lembaga Swadaya Masyarakat itu bergerak untuk menyelamatkan berbagai jenis binatang dilindungi yang dipelihara masyarakat untuk dikembalikan kepada habitatnya dihutan belantara. Seperti halnya orang utan yang saat ini hampir punah dari muka bumi tapi banyak dipelihara masyarakat. Orang utan itu harus dikembalikan ke hutan. Populasi Orang Utan harus dipertahankan agar tidak musnah dari muka bumi.

Buru-buru Mbak Inah mematikan VCD ketika mendengar ketukan pintu depan. Ia mengira yang datang adalah warga yang memohon bantuan untuk berobat secara tradisonal. Ia menduga yang datang adalah warga yang sakit dan mohon bantuannya untuk diberi pengobatan.

“Kami dari el-es-em,” tamunya memperkenalkan diri. Dan Mbak Inah yang hanya mengecap pendidikan kelas 4 Sekolah Dasar tidak mengerti apa itu LSM.

“Apa itu el-es-em?,:” tanya Mbak Inah polos.

“Lembaga Swadaya Masyarakat yang berusaha membebaskan hewan yang dilindungi untuk dikembalikan ke habitatnya,”

“Saya tidak mengerti.”

“Kami melihat di rumah ini ada seekor monyet yang seharusnya tidak boleh dimiliki, tidak boleh dipelihara, tidak boleh dijual belikan, tidak boleh dibunuh.”

Berdebar keras jantung Mbak Inah ketika mendengar kata-kata itu. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ada aturan pemerintah yang melarang seseorang memelihara hewan yang seharusnya dilindungi. Ia tidak menyangka ada undang-undang yang tidak membolehkan masyarakat memiliki binatang langka.

Orang-orang dari LSM itu menjelaskan kedatangannya untuk membebaskan hewan liar yang tidak boleh dipelihara dan harus dikebalikan ke hutan.

“Tapi saya memelihara Mas Joko baik-baik, seperti mengurus anak sendiri.” Mbak Inah mengelak dengan tegas. “Kalau Mas Joko sakit, saya membawanya ke dokter hewan. Mas Joko amat senang dan berbahagia bersama saya. Mas Joko tidak ingin kembali ke hutan. Di hutan belum tentu ia makan dengan layak. Belum tentu badannya bersih di tengah hutan. Tapi bersama saya, Mas Joko selalu saya mandikan dan saya beri parfum sehingga tubuhnya harum. Silahkan anda cium”

Inah memberi contoh, ia segera mencium kening Mas Joko.

“Harum baunya!. Ayo silahkan anda menciumnya!” cetus Mbak Inah lagi ketus.

Tentu saja orang-orang dari LSM itu enggan untuk mencium sang monyet.

“Ayo cium Mas Joko. Baunya pasti harum karena saya selalu mengurusnya dengan baik, saya selalu memandikannya dan memberinya parfum. Siapa yang akan perduli kalau dia kembali ke hutan?. Bersama saya Mas Joko selalu makan apel dan minum susu.”

Tetap saja petugas dari LSM tidak ada yang mau mencium. Mereka merasa risih dan jijik. Juga takut dicakar atau digigit. Mereka tidak mau ditulari rabies. Mereka tidak mau ambil risiko.

“Kami hanya melaksanakan surat keputusan bapak menteri,” sahut aparat LSM itu lagi dan menyebut keputusan menteri nomor 66/Kpts/Um/3/73 dan No.25/Kpts/Um/1/75 yang isinya melindungi binatang liar seperti monyet jambul atau Crested Macaque, juga Macaca tonkeana serta Monyet Sulawesi atau Macaca muara.

“Tidak!. Mas Joko tidak boleh dibawa ke hutan!”

“Apa boleh, Mbak harus merelakannya.”

“Tidak!. Saya tidak merelakannya! Dia akan mati di hutan. Mas Joko tidak punya siapa-siapa di sana.”

“Monyet ini akan hidup layak di hutan. Dia akan berkembang biak.”

Mbak Inah tetap mempertahankan Mas Joko dengan alasan ia sangat menyayangi Mas Joko dan sudah bertahun-tahun memeliharanya.

“Mas Joko sahabat saya. Mas Joko saudara saya. Kami berdua selalu mencari nafkah bersama-sana,” Mbak Inah menjelaskan profesinya sebagai pawang monyet dan sudah bertahun-tahun mencari nafkah sebagai dalang topeng monyet yang mengadakan atraksi dari kampung ke kampung yang lain.

Mbak Inah menangis ketika pihak LSM itu tetap bersikukuh untuk membawa Mas Joko ke hutan. Tidak hanya Mas Joko, tapi masih banyak lagi hewan yang dilindungi sudah ditarik dari pemiliknya untuk dilepas di hutan, seperti orang utan, seperti nuri, kasuari, macan dan banyak lagi.

“Saya tidak dapat hidup tanpa Mas Joko. Saya tidak dapat mencari nafkah tanpa Mas Joko. Kasihanilah saya,” Mbak Inah tetap memelas dengan air mata yang mengalir seperti hujan lebat. Tapi tetap saja pihak LSM itu bertekad untuk membebaskan Mas Joko ke hutan.

“Saya akan memberikan apa saja asal Mas Joko jangan dibawa!,” ujarnya memelas dan air matanya semakin deras mengalir. Mbak Inah amat sedih. Hatinya hancur.

“Tidak bisa. Kami harus membebaskan monyet ini dari pemiliknya. Kami harus mengembalikan monyet ini ke hutan..”

“Saya akan memberi apapun yang kalian minta.”

“Tidak!”

Mbak Inah lari ke kamar dan membawa segepok uang untuk LSM itu.

“Maaf, kami tidak dapat menerimanya.”

“Masih kurang?. Saya akan memberinya berapapun yang diminta.”

Mbak Inah lari ke kamar lagi untuk menambah jumlah yang akan diberikan kepada LSM itu. Ia ingat ketika menjadi korban penggusuran lalu aparat ketertiban meminta sejumlah uang dan akhirnya Mas Joko bebas. Begitu juga ketika terkena razia hasil hutan di tengah perjalanan pulang dari berbagai perkebunan, dengan menyodorkan sejumlah uang Mas Joko dapat lolos. Iapun menduga petugas LSM itu mau menerima sejumlah uang dan Mas Joko tidak akan dibawa ke hutan untuk dilepas.

Tapi LSM bukanlah aparat instansi pemerintah yang sudah biasa dimanjakan dengan uang. Pihak LSM diharamkan menerima uang. LSM adalah lembaga yang masih berpegang pada kejujuran. Bila ada manusia yang tidak mau duit, itulah LSM.

Air mata mengalir di pipi Mbak Inah semakin deras, lebih deras dari hujan lebat ketika pihak LSM tetap menolak segepok uang Mereka tetap bersikukuh membawa Mas Joko untuk dikembalikan ke hutan.

“Jangan bawa Mas Joko!. Jangan bawa dia!” Mbak Inah berteriak-teriak histeris ketika pihak LSM membawa Mas Joko dengan paksa lalu dimasukkan dalam kerangkeng bersama orang utan dan hewan-hewan liar lainnya yang dilindungi. Seharian air mata mengalir di pipi Mbak Inah setelah ia berpisah dengan Mas Joko. Barulah sekarang Mbak Inah menyadari, bahwa tidak semua orang doyan duit. Tidak semua mau main pat gulipat. Tidak semua orang doyan suap. Tidak semua orang pintar main sulap. Masih ada di nusantara ini orang yang jalannnya masih lurus dan bersih.

Sepanjang hari, sepanjang malam Mbak Inah hanya mampu menangis dan berdoa agar ada mukzizat yang bisa menolong agar Mas Joko kembali ke sisinya. Mbak Inah benar-benar kehilangan. Mungkin besok atau lusa ia akan jatuh sakit dan segera mati kalau Mas Joko tidak segera kembali ke sisinya seperti sedia kala. Ia hanya mampu berdoa kepada Gusti Allah agar Mas Joko bisa pulang sendiri ke sisi Mbak Inah. Sepanjang malam ia tidak dapat memejamkan mata. Bahkan perutnya sama sekali tidak terasa lapar. Tidak sesuap nasipun melewati tenggorokannya. Mbak Inah amat sedih. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia amat berharap Mas Joko kembali ke sisinya. Mbak Inah merasa kehilangan sahabatnya . Ia merasa telah kehilangan saudaranya, bahkan juga kehilangan kekasihnya. Inah merasa telah kehilangan segalanya. Juga semangatnya

untuk hidup.

“Kuatkan dirimu,Mas Joko!. Kuatkan semangatmu. Aku akan selalu mencarimu sampai ke ujung langit. Aku akan menyusulmu.”, berkali-kali Mbak Inah selalu berkata kepada angin lalu. “Aku akan selalu berusaha agar kita dapat bertemu lagi.”

Kepada angin yang berhembus, kepada awan yang berarak, kepada burung yang terbang tinggi, Mbak Inah selalu titip pesan agar Mas Joko baik-baik saja. Ia selalu berkata kepada angin lalu agar memberi petunjuk kepada Mas Joko untuk pulang ke sisinya. Doanya kepada Gusti Allah selalu panjang agar Mas Joko kembali kepadanya.

***

Tidak ada rasa lapar. Sepotong singkong gorengpun tidak dapat melewati tenggorokannya karena kerinduannya terhadap Mas Jokoi amat besar di hatinya. Ia ingin segera beremu dengan Mas Joko di hutan mana ia berada. Ia ingin tahu keberadaannya. Ia ingin tahu keadaannya.

Itulah sebabnya pagi-pagi benar Inah sudah naik bis ke arah pantai, siapa tahu Mas Joko dilepas orang-orang dari LSM di hutan pinggiran pantai. Di hutan bakau itu Mbak Inah berteriak memanggil:

“Mas Jokoooooo!. Pulang Mas Jokoooo!”

Suara itu bergema. Berkali-kali Inah berteriak memanggil nama Mas Joko, tetapi tidak ada sahutan. Ia amat sedih. Hatinya semakin hancur berkeping-keping. Ia berjalan lagi dari satu hutan ke hutan lainnya. Ketika bis yang ditompanginya melewati perkebunan karet, Mbak Inah melihat beberapa ekor monyet. Mbak Inah segera minta diturunkan di tengah kebun karet itu. . .Ia berjalan kaki hingga ke tengah kebun itu. Ia bertemu dengan beberapa ekor monyet tapi monyet-monyet itu berlari menjauh karena ketakutan.

“Mas Jokoooo!”. Teriak Mbak Inah. “Aku mencarimu Mas Joko!”

Suara itupun bergema di tengah kebun karet. Juga tidak ada sahutan. Mbak Inah semakin sedih.

“Ya,Gusti Allah. Tunjukkan kepadaku dimana Mas Joko berada, biar dia kugendong pulang.” Itulah doanya setiap ia melangkah dari satu hutan ke hutan lainnya. Di tengah hutan jati ia juga memanggil-manggil nama Mas Joko. Juga di tengah perkebunan kelapa sawit suaranya juga melengking memanggil nama Mas Joko, tapi tetap tetap tidak ada sahutan.

Hampir semua hutan di kawasan Deli Serdang sudah ditelusurinya., tapi sia-sia. Juga semua hutan di kawasan Serdang Bedagei. Langkahnya semakin jauh dan semakin jauh hanya untuk mencari Mas Joko. Hingga langkah Mbak Inah menyeberang hingga ke kabupaten Simalungun.

“Aku mencarimu,Mas Joko. Aku datang!”, suaranya terdengar melengking di sebuah htan di kawasan Simalungun. Tapi monyet jantan yang dipanggilnya tetap saja tidak menyahut dan tidak hadir di depannya. Hati Mbak Inah semakin sedih. Tangisnya berderai lagi dan berderai lagi , membentuk sungai kecil di pipinya Ia tidak tahu lagi kemana harus mencari Mas Joko.

“Mas Jokooo!. Pulanglah,Mas Joko. Pulaaaang!.” Suaranya kembali melengking ketika berada di sebuah hutan lebat di kabupaten Asahan. Tapi tetap saja tidak ada monyet yang datang. Tetap saja tidak ada sahutan.

“Kau dengar suaraku,Mas Joko?. Aku datang!!”

Lelah membuatnya terduduk di pinggir hutan di kabupaten Asahan, tidak jauh dari sebuah proyek pengendalian banjir. Sambil duduk ia berteriak lagi:

“Aku datang menjemputmu,Mas Joko!”

Inah tidak menyadari, bahwa seorang pekerja proyek pengendalian banjir itu mendengar suaranya dan melihatnya duduk di sebuah batang kayu tumbang. Pekerja proyek itu adalah seorang operator excavator yang sedang menggali dan menimbun tanah untuk membangun pengendalian banjir. Dari atas alat berat yang namanya excavator itu, sang pekerja poryek itu amat lama memperhatikan. Mbak Inah yang duduk di pinggir hutan dan berteraik-teriak seorang diri. Suaranya bergema.

Ketika jam istirahat untuk makan siang tiba, lelaki itu masih memperhatikan Mbak Inah yang masih tetap duduk di pinggir hutan, seperti kelelahan, seperti kebingungan. Pekerja proyek itu merasa amat kasihan. Dalam hatinya pekerja proyek itu bertanya-tanya. Siapa dia?. Orang gilakah dia?. Perempuan tidak bereskah dia?. Atau perempuan yang dibuang orang di hutan setelah diperkosa?. Mungkin juga perempuan itu tersesat tidak tahu jalan pulang.

Rasa kasihan menyebabkan lelaki itu menghampiri dan menyapa.

“Mbak tersesat?,” sapa pekerja proyek itu.

Mbak Inah kaget dan menoleh sambil menyahut:

“Tidak!”

“Kenapa ada di sini?”

Mbak Inah tidak segera menyahut dan membiarkan pekerja proyek itu bertanya lagi dan menatapnya amat dalam.

“Mbak kelelahan?”

“Ya!”

“Kenapa berada di pinggir hutan ini?”

“Aku mencari sesuatu!”, Mbak Inah tidak canggung lagi menyebut dirinya aku karena sudah amat banyak begaul dengan orang Sumetera, dengan suku Melayu, Aceh dan Batak..

“Mencari siapa?”

“Mas Joko!”

“Aku sudah lima bulan bekerja di proyek ini, tapi tidak pernah melihat ada seorang laki-laki masuk hutan ini.”

“Mas Joko bukanlah seorang manusia”

“Lalu berupa apa?”

“Mas Joko adalah seekor monyet jantan. Mas Joko adalah sahabat saya, juga saudara saya. Mas Joko adalah saudara saya dalam mencari nafkah.”

“Mencari nafkah bagaimana dengan Mas Joko?,” lelaki pekerja proyek itu menatapnya amat tajam dengan sikap heran.

“Kami selalu main bersama mengadakan pertunjukan”

“Pertunjukan apa?”

“Topeng monyet!”

Barulah lelaki itu mengerti dan memahami keberadaan seorang perempuan berparas cantik berada di hutan.

“Ada orang-orang yang mengaku dari :LSM mengambil dengan paksa Mas Joko dari rumahku dengan alasan untuk dikembalikan ke hutan karena hewan seperti Mas Joko adalah hewan liar yang dilindungi.”

“Ya,benar. Ada banyak binatang liar yang dilindungi yang tidak boleh dibunuh, tidak boleh dipilhara, tidak boleh dijual belikan. Binatang liar itu dilindungi untuk menjaga agar tidak punah dari muka bumi.”

“Mas siapa?. Kenapa Mas ada di sini?,” terdengar suara Mbak Inah dengan logat Jawa yang amat medhok.

“Namaku Oloan.Aku orang Batak, tapi Batak Islam. Aku dilahirkan di kawasan Sipirok di Mandailing Natal. Panggil aku Bang Olo ,lengkapnya Bang Oloan, yang artinya selalu mengiyakan semua perintah.. Aku bekerja di proyek yang membangun pengendalaian banjir”

“Bang Olo bekerja sebagai apa di sini?”

“Aku bekerja sebagai operator alat berat yana namanya Excavator,” lelaki itu menujuk ke arah sebuah alat berat berwarna kuning yang seperti memiliki tangan raksasa dan bekerja menggali dan menimbun tanah.

Lelaki ini tampaknya baik hati, pikir Mbak Inah. Siapa tahu Bang Olo bisa membantu aku mencari Mas Joko. Siapa tahu Bang Olo tahu dan memahami di mana hutan yang banyak monyet dan mungkin di sanalah Mas Joko dikembalikan ke habitatnya.

“Bang Olo tahu dimana ada hutan yang banyak dihuni oleh kera?”

“Rasanya aku pernah mendengar hutan itu”

“Di mana?. Aku akan ke hutan itu untuk mencari Ms Joko. Terus terang, aku tidak dapat hidup tanpa Mas Joko.”

Sesaat lelaki itu memikir-mikir.

“Oh,ya aku tahu”

“Di mana?. Meskipun jauh meskipun di ujung langit, aku akan ke sana untuk membawa pulang Mas Joko.”

“Hutan itu namanya Bahorok.”

“Aku akan ke sana?. Dimana Bahorok itu?. Dekat Prapat?”

“Bukan dekat Prapat.”

“Dekat Brastagi?”

“Bukan!”

“Dekat Kisaran?. Atau dekat Tanjung Balai?. Aku sudah pernah ke sana.”

“Bahorok cukup jauh dari tempat ini”..

“Biarpun di seberang laut, aku akan ke sana. Bukankah aku datang dari Jauh?.. Aku datang dari Jawa Tengah merantau ke Sumatera. Untuk melangkah jauh aku tidak canggung lagi. Aku tidak takut untuk berjalan hingga ke ujung dunia untuk mencari Mas Joko.”

“Bahorok ada di Kabupaten Langkat. Di hutan itu banyak berbagai binatang liar yang dilindungi. Di sana ada hutan lindung yang dihuni banyak sekali binatang yang namanya Orang Utan. Ada perempuan asing bertugas di sana untuk melestarikan Orang Utan.”

“Aku akan ke sana.”

“Tempatnya sangat jauh.”

“Biarlah jauh.”

“Aku ingin menolongmu untuk mengantarmu ke Bahorok!”

“Ayolah kita berangkat sekarang!,” Mbak Inah mendesak tidak sabar.

“Tidak mungkin hari ini karena aku sedang bekerja. Aku satu-satunya operator alat berat di sini, tidak sembarang waktu dapat kutinggalkan.”

“Kapan lagi?. Besok?”, Mbak Inah mendesak.

“Jangan besok?”

“Kapan Bang Olo bisa mengantarku kesana?”

“Tunggulah hari minggu, aku libur”

“Aku sudah tidk sabar untuk segera bertemu Mas Joko.”

“Mudah-mudahan Mas Joko baik-baik saja.”

“Aku juga berharap begitu.”

“Suatu saat nanti aku akan berkunjung ke rumahmu.”

“Kapan?”

“Mungkin malam ini atau besok malam.”

“Pintu rumahku selalu terbuka untuk siapa saja, terutama untuk Bang Olo yang baik hati.”. ujar Mbak Inah dan menjelaskan rumahnya terletak di kawasan Bandar Setia. Mbak Inah merasa mendapat petolongan Gusti Allah. Ia bertemu dengan seorang lelaki Batak yang baik bernama Oloan. Gusti Allah seperti membuka jalan agar ia dapat bertemu dengan Mas Joko dan membawanya pulang.

Ada getar-getar halus dalam jiwa Mbak Inah ketika bertatapan mata dengan lelaki itu. Ada perasaan indah. Lelaki itu juga merasakan hal yang sama. Hati manusia berlainan jenis itu saling bergetar. Darah dalam tubuh keduanya seperti tiba-tiba menyatu dalam sebuah perasaan yang amat indah dan lembut.

Ada perasaan kasihan di hati Oloan ,sang operator alat-alat berat itu kepada seorang gadis dalang topeng monyet yang sedang ditimpa nasib malang. Ada perasaan iba yang amat mendalam di dasar hati lelaki berdarah Batak tetapi seorang muslim yang taat. Ingin rasanya lelaki itu berbuat baik kepada Inah. Ingin rasaanya saat itu juga ia mengantar gadis malang itu ke kawasan Bahorok. Tapi ia sedang dinas. Ia adalah pekerja proyek yang andal di kawasan itu.

***

Ketika azan Isya baru saja berakhir, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah di kawasan Bandar Setia. Mbak Inah segera membuka pintu depan setelah menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Hatinya berbunga-bunga ketika yang tampak di depan pintu adalah seorang lelaki bertubuh kekar yang dikenalnya di pinggir hutan di kawasan Kabupaten Asahan. Lelaki itu adalah Bang Olo lengkapnya Bang Oloan.

Lelaki itu sebelum duduk masih sempat melihat ada sisa air mata di pipi Inah. Masih sempat melihat sepasang matanya yang basah.

“Kamu baru menangis?,” tanya lelaki itu.

“Tidak!,” sahut Mbak Inah berbohong dan menunduk.

“Jangan bohong. Kalau kamu berbohong aku tidak akan duduk di sini. Kalau kamu tidak berterus terang, aku akan pulang !”

“Ya!. Hatiku terlalu sedih.”

“Sedih kenapa?”

“Aku rindu kepada Mas Joko. Aku terlalu menyayangi dia. Aku khawatir entah bagaimana keadaannya.”

“Berdoalah semoga keadaannya baik-baik saja. Bukankah aku sudah berjanji akan mengajakmu ke Bahorok minggu nanti?”

“Sungguh?”

“Aku tidak pernah berbohong!”

“Aku tidak sabar menunggu sampai hari minggu.”

“Aku tidak dapat meninggalkan tugasku di proyek. Aku sengaja datang malam ini untuk mengenalmu lebih dekat. Juga untuk menghiburmu agar kamu tidak terlalu memikirkan Mas Joko.”

“Terima kasih.”

“Banyak persamaan antara orang Jawa dan orang Batak meskipun lebih banyak perbedaannya.” ujar lelaki suku Batak itu.

“Apa persamaannya?”

“Orang Jawa banyak mematuhi berbagai pantangan. Orang Batak juga begitu.”

“Boleh aku tahu apa saja pantangan itu, biar tidak kulanggar nanti.”

“Orang Batak juga menjunjung tinggi sopan santun. Dalam kekerabatan ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan.”

“Maksudnya bersenda gurau?”

“Ya!. Misalnya antara mertua lelaki atau yang disebut amang boru harus membatasi pergaulannya dengan menantu perempuannya atau disebut parumaen. Juga menantu perempuan dengan mertua lelaki atau tulang.”

“Sungguh sopan santun yang tinggi.” Cetus Inah.

“Penghindaran itu dalam bahasa Sipirok disebut Marbaso. Mereka hanya boleh berbicara pada hal-hal-hal yang sangat penting saja. Marbaso atau adat itu biasanya sangat dipatuhi oleh orang Batak di manapun dia tinggal.“

“Remajanya juga begitu?”

“Ya. Kalau di Jawa gadis-gadis di Jawa selalu dipingit orangtuanya, di Sipirok hal seperti itu juga berlaku. Anak gadis tidak boleh bebas bergaul. Tetapi ada sarana untuk mereka bergaul, yakni dengan cara markusip.”

“Apa itu markusip?”

“Berbicara melalui balik dinding secara berbisik-bisik dan dilakukan hanya pada larut malam Tapi hal itu dulu. Saat ini suasana dan kemajuan jaman membuat adanya beberapa perubahan..”

Mbak Inah tersenyum.

“Aku senang kamu sudah dapat tersenyum ,artinya tidak lagi terlalu memikirkan Mas Joko. “

“Aku senang Bang Olo datang kemari malam ini.”

“Syukurlah. Kamu harus tahu, bahwa pengaruh Hindu juga ada di Sipirok. Masih ada reruntuhan candi yang dipugar dan bernama Candi Bahal di Portibi..Candi Ciwa juga selalu disebut-sebut para ahli sejarah ada di Tapanuli Tengah yang berasal dari abad ke delapan. Kalau di Pulau Jawa ada hari-hari menurut hitungan masyarakat Jawa, di desa kelahiranku jgua ada.”

“Di Jawa dikenal weton, yakni kliwon, pon, wage, legi dan pahing.”

“Di Sipirok ada hari-hari yang disebut dengan dialeg setempat, seperti adittia untuk sebutan hari minggu, suma untuk hari senin, anggara untuk hai selasa, muda untuk hari rabu, bors pati untuk hari kamis, sikkora untuk jumat dan samisara atau sabtu.”

“Aku jadi mengerti sekarang. Aku jadi amat senang mengenal seorang lelaki dari suku Batak.”

“Pengaruh agama Hindu memang pernah ada di tanah Batak, terutama di Sipirok yang ditandai dengan adanya beberapa candi dan lain-lain. Tapi jangan lupa dengan sejarah yang mencatat, bahwa masuknya Islam juga diawali di daerah kami. Islam masuk negara kita di abad ke tujuh diawali dengan pedagang Arab yang mendarat di Barus.”

Lelaki yang profesinya sebagai operator alat-alat berat itu menuturkan, bahwa di pantai barat Tapanuli sebuah masyarakat Muslim yang sangat besar dan di puncak sebuah bukit pernah didirikan sebuah mahligai yang didiami oleh pemerintahan Islam dan membangun masjid. Di sekitar masjid itu terdapat pemakaman keluarga-keluarga muslim. Berkembangnya Islam di Sipirok sendiri baru berlangsung tujuh abad kemudian. Sementara masyarakat Sipirok sendiri baru terbentuk di tahun 1550 atau di abad ke 16.

“Bang Olo juga meremehkan martabat orang Jawa?. Sebab di Sumatera banyak orang Jawa dulu dibawa Belanda sebagai buruh kontrak, sehingga di masyarakat timbul anggapan orang Jawa di sebut Jawa Kontrak.,” Inah menatap wajah lelaki itu.

“Aku tidak pernah menganggap begitu!. ” sahut Bang Olo.

“Sungguh?”

“Demi Tuhan.”

“Lalu bagaimana Bang Olo menilai orang Jawa seperti halnya aku?”

“Terus terang dulu aku selalu mendengar istilah Jawa Kontrak selalu disebut-sebut orang. Aku sering mendengar tentang kuli kontrak. Tapi lambat laun julukan itu hilang setelah adanya orng-orang Jawa yang membentuk organisasi Putera Jawa Kelahiran Sumatera yang disingkat Pujakesuma. Ungkapan itu lebih manis, lebih cantik ketimbang sebutan Jawa Kontrak yang sepertinya sebuah pelecehan..”

“Hmmm,” gadis dari Jawa itu bergumam dan tersenyum.

“Hampir sama dengan ungkapan Jawa Kontrak, di Sipirok juga ada ungkapan yang hampir sama.”

“Apa itu?”

“Hatoban!. Hatoban artinya adalah budak, tapi kata hatoban hanya ada pada jaman penjajahan Belanda dulu, seperti halnya dengan buruh kontrak. Yang termasuk hatoban adalah orang-orng yang ditawan atau kalah dalam perang. Atau orang yang melakukan kesalahan berat dan menjalani hukuman sebagai budak. Hatoban juga bisa terjadi karena orang yang tidak sanggup membayar hutangnya lalu dijadikan budak. Ada juga orang-orang yang sengaja dibeli oleh orang kaya untuk dijadikan budak.”

Lelaki yang bekerja di proyek pengendalian banjir itu juga berkata, bahwa perbudakan di Tanah Batak sudah berakhir sejak tahun 1876.

“Tidak ada lagi yang membedakan masyarakat bangsawan atau rakyat jelata sekarang. Juga dalam hal budak!” ujar lelak itu lagi.

“Aku senang Bang Olo banyak bercerita tentang Sipirok dan Tanah Mandailing. Bolehkah aku belajar bahasa Sipirok?”

“Aku senang mengajarnya kepadamu?”

“Bagaimana kalau bilang satu, tiga dan tujuh?”

“Sada, tolu dan pitu!”

“Sada, tolu dan pitu,” gadis dari Jawa itu seperti mengeja.

“Kalau ibu, ayah dan kakek?”

“Inang, amang dan Oppung Doli.”

Inah mengulangi kata-kata itu meskipun lidahnya terasa agak berat dan kaku. Tapi ia amat senang menyebut kata-kata itu.

“Kalau mau berkata jangan tinggalkan aku,Mas Joko?”

“Ulang tinggalkan au ,.Mas Joko!”

“Pulanglah,Mas Joko!”

“Mulak ma ho, Mas Joko!”

“Kalau di sini tidak aman, kita pulang ke Jawa saja!”

“Molo di son indak aman eta mulak to Jawa!”

“Itulah doaku,Bang Olo. Aku memohon kepada Gusti Allah agar Mas Joko pulang kepadaku dan kalau di sini tidak aman, kuajak Mas Joko pulang ke Jawa.”

“Jangan!. Jangan pulang ke Jawa,Inah!,” lelaki itu buru-buru mencegah.

“Kenapa?”

“Karena aku senang kepadamu. Aku senang memandang matamu, senang memandang hidungmu dan juga bibirmu. Aku senang pada dirimu!”

Baru sesaat Bang Olo bertemu dengan Inah, gadis dari Jawa itu, tapi rasanya sudah amat akrab, seperti sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun bersahabat dan lebih dari persahabatan biasa.

Bang Olo merasa amat senang di rumah itu, merasakan udara sejuk dan nyaman. Apalagi Inah menyuguhkan kopi kental. Mereka ngobrol panjang lebar, tentang kampung halaman lelaki itu di Sipirok yang indah dan bergunung-gunung. Di sana ada Tor Simago-mago, ada Tor Sibohi, ada Palakka Gading dan banyak lagi. Sungai di sana airnya bening dan bersih. Hutan-hutan masih hijau dan lestari. Tidak ada warga yang merusak hutan.

Sungai-sungai mengalir dengan tenang dan ikan-ikan bermain di dalamnya.

“Di desa kelahiranku, sungai disebut aek. Ada Aek Huraba, ada Aek Lampesong, ada Aek Barerang dn banyak lagi.”

“Desa Bang Olo,pasti subur.”

Lelaki itu mengangguk.

“Aku dilahirkan di Sipirok dan orangtuaku hidup dari bertenun. Sebagian besar warga Sipirok memang bertenun. Hasil tenun yang paling populer di sana adalah Abit Godang dan Parompa Sadun. Kedua kain tenunan ini selalu dipakai pada upacara adat di Sipirok atau di mana saja orang-orang Sipirok berkumpul.” tutur lelaki itu setelah meneguk kopinya yang terasa amat nikmat. Ingin rasanya ia berlama-lama di rumah tiu, duduk berdua bersama Mbak Inah yang malam itu tampak cantik dan anggun meskipun dihatinya masih ada kesedihan yang mendalam karena kehilangan Mas Joko.

“Di Jawa juga sangat banyak orang yang hidupnya dari membatik, sama dengan di kampung Bang Olo.”

“Ya, banyak persamaannya, meskipun lebih banyak perbedaannya. Dan itulah yang membuat aku senang kepadamu,Inah

“Kalau Bang Olo tidak datang, mungkin saat ini aku sedang menangis karena kehilangan Mas Joko. Kepergiannya sangat memukul jiwaku.”

“Jangan terlalu memikirkan Mas Joko.”

“Sulit untuk melupakannya. Aku sudah terlanjur akrab, sudah terlanjur sayang kepadanya. Mas Joko sudah terlanjur lekat di hatiku. Aku sangat merindukan kepulangannya.”

“Kalau Mas Joko tidak pulang bagaimana?”

“Aku tidak berdaya. Aku tidak dapat mencari nafkah. Mungkin aku akan jatuh sakit.. Mungkin aku akan lekas mati.”

“Kuatkan hatimu,Inah!,” Lelaki itu menyentuh ujung jari Mbak Inah dan meremas-remasnya.

“Perlahan-lahan, lupakan Mas Joko!”

“Tidak!. Tidak mungkin aku melupakannya.”

“Kenapa?. Bukankah masih ada monyet yang lain. Kamu dapat melatihnya lagi sampai pintar. Kamu dapat tampil lagi mengadakan pertunjukan topeng monyet.Bukankah kamu adalah pawang monyet yang pintar. Dalam waktu singkat tentu dapat melatih monyet lain menjadi aktor topeng monyet.”

“Tidak!. Mas Joko tidak bisa disamakan dengan yang lainnya.”

“Aku hanya berharap, kamu tidak terlalu memikirkannya. Dan aku juga berharap kita dapat menemukannya dan membawanya pulang.”

“Itulah yang sangat kuharapkan. Itulah doaku setiap saat. Aku selalu memanggilnya, aku selalu menyebut namanya. Siapa tahu angin yang berhembus menyampaikan suaraku kepada Mas Joko jauh di tengah hutan sana. Siapa tahu awan yang berarak di langit membawa panggilanku kepada Mas Joko dan menggerakkan hatinya untuk pulang. Kepada burung-burung yang terbang jauhpun aku selalu titip pesan rasa rinduku kepada Mas Joko. Aku titip pesan agar ia berhati-hati dan menemukan jalan pulang ke sisiku.”

Kata-kata itu membuat hati lelaki itu terenyuh. Bang Oloan menyadari, betapa cinta Mbak Inah terhadap sang monyet amat besar. Seperti cinta Mbak Inah kepada seorang manusia yang gagah dan perkasa. Padahal Mas Joko hanya seekor monyet jantan.

“Hari minggu nanti aku libur,” lelaki itu berkata kemudian. “Aku akan mengantarmu ke Bahorok.”

“Mudah-mudahan Mas Joko ada di sana dan kita membawanya pulang.”

“Mudah-mudahan kita menemukannya.”

“Kita berangkat pagi-pagi benar!,.” imbau Mbak Inah.

“Jam tujuh. Biasanya kalau libur aku bangun jam sembilan!”

“Jangan jam tujuh. Harus lebih cepat.”

“Bersama terbit fajar?”

“Sebaiknya memang begitu. Ketika fajar terbit, kita sudah berangkat, biar lekas sampai di Bahorok. Bukankah burung-burungpun keluar dari sangkarnya ketika fajar terbit?. Burung-burung itu terbang ketika hari masih gelap biar terhindar dari terik matahari.”

“Tapi masih banyak embun ketika fajar.”

“Apa salahnya pergi bersama embun pagi yang sejuk?”

Sesaat lelaki itu merunduk. Ia heran, betapa tekad Mbak Inah amat besar untuk segera bertemu dengan seekor monyet kesayangannya. Tapi ia tidak dapat membantah. Ia juga ingin membuat hati gadis dari Jawa itu senang.

“Kita sarapan di jalan saja nanti.”

“Baiklah,Inah. Kita berangkat pagi-pagi,selagi kenderaan belum ramai”

“Dan belum ada debu.”

“Tapi dingin!”

Mbak Inah tersenyum.

“Lebih pagi berangkat, berarti lebih cepat sampai di sana. Lebih cepat aku bertemu dengan Mas Joko dan membawanya pulang.”.

“Baiklah, demi kamu Inah. Padahal selama ini aku tidak pernah pergi sepagi itu.”

“Terima kasih ,Bang Olo. Aku senang sekali bertemu dengan Bang Olo. Kalau tidak Bang Olo, siapa lagi yang mau menolongku?”

Mbak Inah membiarkan jari tangannya diremas lelaki itu.

***

Embun pagi yang dingin masih melekat di daun-daun pohon, masih melekat di atas rumput di pinggir jalan, masih melekat di rumpun ilalang, tapi burung-burung sudah terbang melalang buana. Sebuah sepeda motor juga sedang meluncur di jalan raya, menembus embun yang terus turun dari langit. Padahal jalan raya masih sepi, hanya satu dua kenderaan yang lewat.

Fajar baru saja terbit. Azan subuh baru saja terdengar dan masjid masih dipenuhi oleh jamaah yang membentuk barisan yang rapi menghadap kiblat. Para jamaah sholat subuh itu tidak perduli pada embun pagi, tidak perduli dengan udara dingin. Seperti halnya dengan Bang Olo dan Mbak Inah yang berboncengan dengan sepeda mtor menuju Bahorok. Mbak Inah mengenakan jeket tebal dan sepasang tangannya berpegang amat erat di pinggang Bang Olo.

“Pegang aku erat-erat,Inah!,’ terdengar suara Bang Olo ketika sepeda motor itu meluncur cepat.

“Ya!”

“Yang erat!”

“Ya!,” Inah memeluk lebih erat.

“Kurang erat!”

“Cukup!”

“Aku takut kamu terjatuh. Sepeda motor ini berjalan kencang.”

“Biarlah kencang.”

“Kau kedinginan nanti!”

“Biarlah dingin, biarlah kencang. Aku ingin cepat-cepat sampai di Bahorok, biar cepat-cepat bertemu dengan Mas Joko.”

“Kalau tidak bertemu bagaimana?”

“Aku tidak akan pulang.”

“Lalu kamu akan tinggal di mana?”

“Biarlah aku tinggal di hutan, akan kucari Mas Joko sampai bertemu. Biar kucari siang dan malam. Biarlah aku tidak tidur untuk mencari Mas Joko.”

“Hutan itu sangat luas,Inah.. Langkahmu tidak akan sampai ke tengah hutan itu.”

“Aku sudah siap untuk menelusuri hutan itu sampai ke ujung Barat, sampai ke ujung Utara, sampai ke ujung langit sekalipun!”

“Bersama siapa di tengah hutan lebat itu?”

“Biarlah bersama nyamuk.”

“Tidak hanya nyamuk, tapi juga ular, rusa dan harimau.”

“Biarlah bersama harimau.”

“Kamu tidak takut diterkam si belang?”

“Aku sudah rela mati demi Mas Joko.. Aku rela diterkam si belang.”

“Tubuhmu akan dicabik-cabik si belang nanti.”

“Biarlah tubuhku tercabik-cabik oleh binatang buas, daripada aku kehilangan Mas Joko.. Aku sudah bersumpah untuk mencarinya sampai bertemu. Aku akan bunuh diri kalau tidak bertemu dengan Mas Joko.”

“Aku heran, kenapa perhatianmu terhadap Mas Joko teramat besar, melebihi batas!”

“Aku memang teramat menyayangi Mas Joko. Karena Mas Joko sahabatku dalam mencari nafkah.”

“Kukira ada alasan lain. Tidak pernah ada manusia yang mencintai seekor binatang demikian berlebihan, kecuali kamu.Sepertinya ada hubungan batin.”

“Ya. Mungkin hanya aku.”

Tiba-tiba lelaki itu menginjak rem. Langit mulai cerah dan terang karena matahari sudah terbit. Mereka berpapasan dengan pedagang sayur yang menuju pasar. Mereka berpapasan dengan petani yang membawa pacul dan pupuk. Mereka berpapasan dengan peternak yang mengembalakan sapinya ke padang rumput.

“Kenapa berhenti?,” tanya Mbak Inah dan kedua tangannya masih memeluk pinggang Bang Olo.

“Aku ingin tahu, mengapa kamu mencintai Mas Joko seperti mencintai manusia.”

“Bang Olo tidak usah tahu!”

“Aku harus tahu. Ada keanehan pada dirimu.”

“Tidak ada yang aneh. Aku hanya perempuan biasa yang dilahirkan di desa di Jawa tengah. Aku hanya manusia biasa.”

“Tapi ada yang aneh pada dirimu.”:

“Kenapa aneh?”

“Karena perhatianmu yang luar biasa kepada seekor monyet yang kamu beri nama Mas Joko.”

“Karena aku memeliharanya sejak kecil, sejak bertahun-tahun yang silam.”

“Kukira tidak hanya karena itu. Pasti ada hal-hal lain yang tersembunyi dalam dirimu. “

“Tidak ada. Aku manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya!”

“Pasti ada sesuatu yang tersembunyi pada dirimu!,”

“Tidak!. Tidak ada!”

“Aku tidak akan melanjutkan perjalanan kalau kamu tidak berterus terang ada apa dalam dirimu sehingga mencintai seekor monyet seperti manusia, seperti kekasihmu.”

“Tidak ada!”

“Ayo katakan!. Aku tidak akan melanjutkan perjalanan kalau kamu tidak berterus terang. Aku tidak akan mengantarmu ke Bahorok kalau kamu tidak mau mengatakan ada apa dalam dirimu.”

Sesaat Mbak Inah menekur. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Ayo katakan, ada apa dalam dirimu, baru aku akan melanjutkan perjalanan.”

“Nanti saja!”

“Kapan?”

“Setelah kita bertemu dengan Mas Joko.”

“Kalau tidak bertemu bagaimana?”

“Tinggalkan aku di sana!”

“Kamu benar-benar aneh, Inah.”

“Ayo kita lanjutkan perjalanan ini. Ayo antarkan aku ke Bahorok,” pinta Inah memelas. “Biarlah kucium ujung kaki Bang Olo asal mau mengantarkan aku.”

“Tidak. Aku tidak rela kamu mencium ujung kakiku.”

Mbak Inah melihat ada sebuah bis di kejauhan.

“Kalau Bang Olo tidak mau mengantarku, turunkan aku di sini. Biarlah aku naik bis. Apapun yang akan terjadi aku harus sampai ke sana. Aku harus sampai di Bahorok. Aku harus mencari Mas Joko hingga bertemu atau aku tidak akan pulang lagi.”

Mbak Inah bergegas turun dari jok belakang sepeda motor yang dikenderai Bang Oloan. Bis dengan trayek Bahorok itu semakin dekat. Mbak Inah buru-buru melambaikan tangannya mengentikan bis itu..

“Tidak usah,Inah. Tidak usah naik bis!” Bang Oloan segera mencegah padahal bis itu sduah berhenti di depan Inah.

“Aku berani sendiri. Aku tidak akan salah arah. Aku akan pergi sendiri karena Bang Olo tidak mau mengantarku lagi.”

“Jangan!. Jangan naik bis!”

“Biarkan!. Biarkan aku pergi sendiri!”

Inah sudah bertekad untuk naik bis, tapi Bang Oloan tetap mencegah dan pasrah.

“Baiklah,Inah. Hatimu sudah menjadi batu cadas yang amat keras untuk bertemu dengan Mas Joko. Ayo kuantar!”

Inah mengurungkan niatnya untuk naik bis. Ia duduk lagi di sadel belakang dan kedua tangannya kembali memeluk pinggang Bang Oloan. Sepeda motor itu meluncur lagi di jalan raya yang mulai ramai oleh kenderaan.

Seperti seorang pembalap ulung Bang Olo mengenderai sepeda motornya amat cepat. Sepeda motornya mendahului satu demi satu kenderaan di depannya, mobil pribadi, bis penumpang, truk yang mengangkut pasir, mobil boks yang membawa sembako, sepeda motor dan banyak lagi. Belasan sepeda motor yang dikenderai oleh orang-orang yang berpasangan untuk pergi ke arah objek wisata Bahorok itu juga didahului oleh Bang Oloan. Matanya lurus ke depan menatap jalanan sementara di jok belakang Inah berpegang erat pada pinggangnya.

Hampir saja sebuah kecelakaan terjadi, hampir saja Bang Oloan dan Mbak Inah mengalami cedera ketika seekor anjing jantan menyeberang jalan. Untunglah Bang Oloan masih bisa mengelak ke kiri sehingga mereka tidak sempat melindas anjing itu dan tidak sempat tersungkur. Untunglah lelaki itu cekatan menginjak rem sehingga anjing itu tidak sempat terkapar di tengah jalan.

“Hati-hati,Bang Olo,” Inah memperigatkan lelaki pekerja proyek itu yang kembali memandang lurus ke depan.

“Namanya juga binatang. Namanya juga anjing, seenaknya menyeberang jalan,” Bang Oloan menggerutu di atas sepeda motornya.

Lebih dua jam di atas sepeda motornya lelaki itu merasa perutnya mulai perih. Perutnya menagih janji untuk segera diisi setelah menempuh perjalanan jauh. Lelaki itu menginjak rem lagi di depan sebuah warung.

“Kenapa berhenti?,” Mbak Inah bertanya dan kedua tangannya tetap saja berpegang erat pada pinggang lelaki itu.

“Kita makan dulu!,”

“Nanti saja!”

“Aku lapar.”

“Jangan membuang waktu. Tahanlah rasa lapar itu sesaat”

“Perutku sudah menagih janji dan harus segera diisi.”

“Kita harus segera sampai di Bahorok. Makan nanti saja sesudah kita sampai di sana..”

“Kalau begitu kita minum saja. Aku haus!”

“Nanti saja, sesudah kita sampai. Aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu Mas Joko!”

Mbak Inah tetap saja menolak berhenti untuk makan meskipun hanya sebentar saja. Bahkan untuk minum saja Mbak Inah juga tidak memperkenankan. Ia memaksakan kehendaknya agar Bang Oloan segera memacu sepeda motornya menuju kawasan hutan lindung Bahorok. Meskipun lelaki itu sudah lapar, meskipun terasa haus ia kembali memacu kenderaannya demi untuk Inah. Padahal lelaki itu adalah seorang pecandu kopi. Baginya minum kopi adalah sumber tenaga.

Di sisi kiri dan kanan jalan tampak tanaman padi sedang menghijau. Pak tani sedang menyemprotkan pupuk ke arah padinya agar tidak diserang hama, agar hasil panen tidak terganggu. Puncak pepohonan bergoyang-goyang dibelai angin. Burung-burung mencericit di ranting pohon. Sepeda motor itu terus meluncur cepat dan kedua tangan Inah masih berpegang erat pada pinggang lelaki kelahiran Mandailing Natal itu.

Sepeda motor itu mendahului sebuah bus pariwisata yang membawa sejumlah wistawan mancanegara ke Bahorok. Kawasan itu memang merupakan objek wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Ada bule dari Eropa, ada orang-orang bermata sipit yang merupakan wisatawan dari Singapura atau Malaysia. Mereka ingin menikmati pemandangan indah di Bahorok. Mereka ingin menyaksikan Orang Utan yang memang dilestarikan di kawasan itu.

Bahkan dalam sebuah bus pariwisata tampak sejumlah anak-anak remaja yang membawa perlengkapan untuk arung jeram. Sungai yang mengalir di Bahorok memang andal untuk olahraga arung jeram.

Puluhan bule sudah lebih dulu sampai di kawasan wisata itu. Para bule dari mancanegara itu sebagian mendaki bukit terjal dan berbatu-batu. Tidak berhati-hati akan menyebabkan jatuh dan terhempas di batu cadas.

Bang Olo dan Mbak Inah juga sudah sampai di kawasan itu, Mbak Inah segera turun dari sepeda motor dan beberapa saat menatap bukit-bukit hijau. Sesaat ia tertegun mendengar suara Orang Utan bersahut-sahutan.

“Tempat ini sangat indah!,” gumamnya penuh rasa kagum.

“Ya, sungguh amat indah. Aku yakin Mas Joko kerasan di sini!,” cetus Bang Olo dan ikut menatap puncak bukit yang ditumbuhi berbagai pepohonan berwarna hijau.

“Di sini ada bule yang sengaja tinggal di hutan untuk melestarikan Orang Utan.”

“Ia menyatu dengan Orang Utan itu?”

“Ya.”

“Kalau demikian sama halnya dengan diriku yang selama ini menyatu dengan Mas Joko.”

“Tapi tidak berlebihan seperti halnya dirimu dan Mas Joko.”

Mbak Inah hanya menatap bukit-bukit hijau dan angin segar berhembus lembut membelai rambutnya. ..

“Bukit-bukit hijau , lebat dan molek.”

“Berbagai binatang liar ada di sini.”

“Mereka damai menghuni hutan ini.”

“Begitu juga halnya dengan Mas Joko, ia sudah kerasan dan damai hidup di sini, di alam bebas.. Dia lebih senang tinggal di sini daripada tinggal bersama seorang manusia. Mas Joko tentu ingin hidup bebas di alam terbuka.”

“Tidak!. Tidak demikian halnya dengan Mas Joko. Ia merasa lebih senang tinggal bersamaku. Ia sudah terbiasa kumandikan, kuberi sampo dan parfum. Aku sudah biasa memberinya buah pier, apel, sawo dan minum susu. Dia sudah terbiasa bermanja-manja bersamaku.”

“Belum tentu,Inah. Mas Joko adalah seekor monyet, di sini banyak hewan sejenisnya. Ia butuh pasangannya. Dia akan lebih senang di sini.”

“Jangan Bang Olo katakan seperti itu. Aku sedih mendengarnya!” Mbak Inah mencegah.

“Aku mengatakan yang sebenarnya. Sebentar lagi kita mendaki bukit itu dan kita akan melihat sejumlah binatang liar berkumpul dengan hewan-hewan sejenisnya dan mereka berpasangan.”

“Ayo kita mendaki bukit-bukit itu.” ajak Mbak Inah dan menarikkan tangan Bang Olo. “Aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan Mas Joko.”.

“Tapi bukit-bukit itu terlalu terjal dan licin.”

“Biarlah terjal. Biarlah licin.”

“Risikonya terlalu besar.”

“Biarlah aku terjatuh. Biarlah aku terhempas!”

“Kalau kamu terjatuh dan terhempas pasti tidak akan bertemu dengan Mas Joko. Kamu akan masuk rumah sakit karena kakimu patah.”

Mbak Inah akhirnya menghela nafas panjang dan menatap puncak bukit Belasan orang bule sudah sampai di puncak bukit itu.

“Kita harus berhati-hati!”

“Bukankah di sisiku ada Bang Olo. Pegang tanganku erat-erat agar aku tidak terhempas, agar aku tidak tergelincir.”

“Ya, aku akan memegang tanganmu erat-erat.”

“Bang Olo tidak sampai hati melihat aku terhempas,bukan?. Bang Olo tidak akan membiarkan kakiku patah dan masuk rumah sakit,bukan?”

“Ya, aku akan menjagamu. Aku akan melindungi keselamatan dirimu.”

“Terima kasih, aku sangat senang bertemu Bang Olo.”

Sepasang manusia itu menyeberangi sungai dengan menompang sebuah sampan kecil yang dipandu seorang lelaki muda belasan tahun bertubuh hitam legam. Belasan bule dari Eropa juga akan menyeberang dan mendaki bukit itu.

Kicau burung yang bersahut-sahutan menyambut sepasang anak manusia di kaki bukit dan berjalan dengan berbimbingan tangan. Berbagai jenis burung ada di hutan lindung itu. Juga binatang buas seperti harimau dan beruang. Apalagi yang namanya monyet pasti amat banyak. Ular berbisa juga amat banyak di hutan itu.

Di pinggir hutan itu, Inah menghentikan langkahnya. Sesaat ia memandang keliling bukit yang hijau dan lebat.

“Mas Jokooooo!,” Inah berteriak memanggl. “Aku datang,Mas Jokooo!”

Suaranya bergaung. Tidak ada sahutan.

“Hutan ini terlalu lebat, mungkin Mas Joko tidak mendengar suaramu!”

“Kalau Mas Joko mendengar suaraku pasti dia akan datang menghampiri aku!”

“Ayo kita ke tengah hutan. Kamu tidak takut bertemu dengan harimau atau beruang,bukan?”

“Kenapa harus takut?. Semua demi Mas Joko!”

“Aku benar-benar heran melihat dirimu!,” cetus Bang Olo dan mereka melangkah ke tengah hutan. Tangan Mbak Inah berpegang erat pada lelaki itu. Setelah belasan langkah , Mbak Inah menghentikan langkahnya dan suaranya nyaring memanggil:

“Mas Jokoooo!. Aku datang menjemputmu,Mas Jokoooo!”

Suara nyaring itu bergaung. Harimaupun mendengar suara itu. Ular berbisapun ikut mendengar panggilan itu dan tertegun. Apalagi rusa jantan juga berhenti mengunyah rumput saat mendengar suara nyaring itu. Burung-burung yang sedang terbangpun berhenti dan hinggap di ranting pohon ketika mendengar suara seorang perempuan dari tengah hutan memanggil seseorang. Burung-burung itu tampak seperti amat iba dan kasihan mendengar suara perempuan memanggil nama seseorang dengan suara amat nyaring. Ingin rasanya burung-burung itu menyampaikan panggilan itu kepada seseorang yang bernama Mas Joko.

“Aku ada di sini,Mas Joko!. Datanglah kemari. Mari kita pulang!,” teriaknya lagi dengan suara nyaring. Saat memanggil-manggil itulah setetes demi setetes air matanya mengalir di pipinya. Inah tidak mampu menahan kesedihan hatinya. Rasanya sudah terlalu lama ia kehilangan Mas Joko, seperti sudah berbulan-bulan, bahkan seperti sudah bertahun-tahun.

“Mas Jokoooo!,” teriaknya lagi lebih nyaring dan lebih kuat. Berkali-kali, beulang-ulang Mbak Inah menyebut nama itu. Rusa betina yang sedang bunting dan mencari makanan bersama pasangannya tertegun mendengar panggilan itu. Rusa betina itu ikut iba dan kasihan.

Lebih satu jam Mbak Inah memanggil-manggil nama itu dan berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat yang lain. Bang Oloan senantiasa berada di sisinya dan tidak dapat berbuat banyak. Lelaki itu juga merasa iba, juga merasa amat kasihan. Ingin rasanya ia berbuat sesuatu agar Mbak Inah tidak terlalu berharap untuk bertemu kembali dengan sang monyet kesayangannya yang sudah berhari-hari dilepas di tengah hutan lebat dan berkumpul dengan hewan-hewan liar sejenisnya.

“Mungkin Mas Joko suidah kerasan di hutan ini,Inah,” terdengar suara Bang Oloan dan mengusap pundak Mbak Inah dengan perasaan iba.

“Tidak mungkin!,” cepat Inah membantah.

“Kenapa tidak mungkin?. Di hutan ini banyak monyet lainnya sejenis Mas Joko. Siapa tahu Mas Joko sudah menemukan pasangannya dan ingin menetap di hutan ini. Kalau dia bertemu dengan pasangannya, pasti dia berharap akan lahir keturunannya.”

“Tidak!. Aku tidak ingin mendengar kata-kata seperti itu. Jangan ulangi lagi ucapan seperti itu.”

Wajah Mbak Inah cemberuit.

“Kenapa?”

“Aku tidak suka mendengarnya. Lebih baik katakan tentang hal-hal lain.”

Sesaat Bang Oloan terdiam.”

“Kalau Bang Olo tetap ingin mengulangi kata-kata itu, lebih baik tinggalkan aku sendiri di sini!”

“Aku tidak akan sampai hati meninggalkanmu sendiri di tengah hutan belantara seperti ini dan yang ada hanya binatang buas atau ular berbisa.”

“Biarlah aku memanggil Mas Joko lagi. Aku yakin benar, Mas Joko akan mendengar suaraku. Atau burung-burung yang terbang di hutan ini akan menyampaikan suara panggilanku kepada Mas Joko. Dia akan datang kemari dan pulang bersamaku”

Bang Oloan menatap wajah Inah amat dalam. Sepasang mata perempuan itu tampak menyimpan genangan air mata.

“Bantu aku memanjat pohon,” pinta Mbak Inah kepada lelaki suku Mandailing di sisinya.

“Untuk apa memanjat pohon?”

“Aku akan memanggilnya dari puncak pohon, biar suaraku lebih bergema sampai ke ujung hutan ini.”

“Kamu akan terjatuh nanti,Inah. Kamu perempuan, tidak sepantasnya memanjat pohon.”

“Aku akan memanjatnya meskipun Bang Olo tidak mau membantuku!”

Hati perempuan yang lahir di desa di Jawa tengah itu memang sudah menjadi baja yang amat keras dan sukar dilunakkan. Ia berusaha mencari pohon yang dapat dipanjat. Bang Oloan merasa kasihan dan berusaha membantu Inah memanjat. Dari atas pohon itulah suara Mbak Inah terdengar bergema memanggil:

“Mas Jokoooo!. Mari kita pulang!!!”

Berulang-ulang suara nyaring itu bergema dari atas pohon dan terdengar kemana-mana. Tiba-tiba saja daun-daun di semak belukar bergoyang-goyang, seperti ada sesuatu yang berjalan di balik belukar itu.. Seperti sebuah keajaiban, tiba-tiba saja muncul sosok seekor monyet jantan. Seperti ada sebuah mukzijat tiba-tiba saja ada seekor monyet berjalan ke arah Mbak Inah yang masih berada di atas pohon.

Kegembiraan amat meluap di hati Inah ketika ia melihat tiba-tiba Mas Joko muncul dari balik semak belukar. Ia segera melompat dari atas pohon untuk menyambut sang buah hati yang amat dirindukannya berhari-hari. Untunglah kakinya tidak sempat patah. Bahkan Inah tidak merasa sakti sedikitpun meskipun ia melompat dari dahan yang tinggi. Ia memang rela mati demi Mas Joko.

“Mas Joko! Mas Joko mendengar suaraku. Syukurlah Mas Joko mendengar aku memanggilmu.”

Mbak Inah menyambut kedatangan sang monyet kesayangan itu dengan pelukan hangat.

“Akhirnya kita bertemu lagi,Mas Joko. Akhirnya kita berkumpul lagi. Mari kita pulang!”

Mbak Inah menggendong sang monyet dan menciumnya berkali-kali.
”Mas Joko baik-baik saja di hutan ini,bukan?. Mas Joko tidak sakit?. Mas Joko tidak kedinginan,bukan?”

Sang monyet mendekap tubuh Mbak Inah amat erat. Binatang berkaki empat itu seperti tidak ingin berpisah lagi dengan Mbak Inah.

Di tengah hutan itu, Mas Joko memang mendengar suara Inah memanggilnya padahal monyet itu sedang berada di tempat jauh. Monyet itu memang amat menandai suara Mbak Inah. Monyet itu memang amat kenal dengan suara Mbak Inah yang selama ini tiap hari memandikannya, memberinya parfum dan tiap hari mengusap jambulnya serta menciumnya dengan kasih sayang.

Andainya yang memanggil adalah Bang Oloan, meskipun suaranya sekeras petir pasti Mas Joko tidak akan mendengarnya. Meskipun Bang Oloan memanggilnya dari atas puncak gunung yang tinggi dan suaranya bergema hingga kemana-mana, monyet jantan itu tidak akan terpanggil.

Hanya karena ada kontak batin yang amat kental antara Mbak Inah dan sang monyet itu, Mas Joko mendengar suara panggilan itu. Hanya karena ada hubungan batin yang amat akrab antara gadis kelahiran Jawa Tengah itu dengan sang monyet, maka Mas Joko terimbau dan segera mencari dari mana datangnya suara Mbak Inah memanggil.

Itulah sebabnya ketika sang monyet kesayangan itu mendengar suara Mbak Inah memanggilnya, ia segera berlari-lari dan batinnya memang merasa terpanggil.

“Ayo kita pulang,Mas Joko. Tinggalkan hutan ini. Aku tidak dapat hidup tanpa Mas Joko. Kita akan mengadakan pertunjukan lagi dari kampung ke kampung seperti semula. Kita akan mencari saweran. Aku berjanji akan melindungimu agar tidak ada siapapun yang dapat memisahkan kita. Aku bersumpah untuk melindungi dirimu agar tidak seorangpun merenggutmu dari sisiku. Kita akan selalu bersama. Kita akan selalu mengadakan pertunjukan bersama dari satu kampung ke kampung lainnya.”

Sekali lagi Mbak Inah memeluk tubuh monyet itu dengan kasih sayang. Sekali lagi dan sekali lagi Mbak Inah mencium sang monyet itu. Mas Joko tampak sangat riang dalam gendongan gadis itu.

Akan halnya Bang Oloan terheran-heran melihat suasana akrab antara sang monyet dengan Inah, seorang manusia. Pertemuan itu ibarat pertemuan sepasang manusia yang saling merindukan dan sudah bertahun-tahun berpisah jauh dan amat lama. Pertemuan itu amat mesra. Pertemuan itu amat mengharukan.

“Mas Joko aman-aman saja di sini?,” tanya Mbak Inah kepada sang monyet.

Sang monyet seakan mengerti pertanyaan itu. Batin Mbak Inah seperti mendengar jawaban dari sang monyet itu, bahwa ia baik-baik saja selama di tengah hutan.

“Mas Joko tidak dimusuhi harimau?,” Mbak Inah bertanya lagi. Sekali lagi batin Inah seperti mendengar jawaban dari sang monyet kesayangannya, bahwa selama di hutan itu harimau bagaikan sahabatnya yang baik.

Batin Inah mendengar penuturan monyet kesayangannya, bahwa selama di hutan itu ia banyak bertemu dengan berbagai hewan-hewan lainnya, juga binatang liar yang dilindungi dan tidak boleh diburu, tidak boleh dipelihara, tidak boleh dibunuh dan tidak boleh dijual belikan, tidak boleh diawetkan dan dijadikan pajangan di rumah-rumah.

Batin Inah seperti mendengar kisah Mas Joko selama beberapa hari menjelajah hutan dan bertemu dengan hewan langka yang dilindungi, seperti macan Jawa, burung jalak putih, kakak tua raja, rusa dan burung beo. Di hutan itu Mas Joko juga bertemu dengan bajing tanah, musang air, burung nuri merah, beruang madu, landak, kucing hutan dan harimau dahan. Binatang air yang dilindungi juga banyak ditemui oleh Mas Joko, seperti buaya muara, biawak coklat, penyu belimbing, kura-kura gading dan banyak lagi.

***

Ketika berangkat Bang Oloan hanya berdua bersama Inah yang berpegang erat pada pinggangnya, lalu ketika pulang kini bertiga, bersama Mas Joko yang berada di gendongan Mbak Inah. Bagaikan seorang bocah yang amat manja, sang monyet itu memeluk tubuh Inah amat erat dan kepala sang monyet lekat tepat di dada gadis Jawa itu yang selalu lembut dan indah.

“Stop,Bang Olo!. Berhenti!,” teriak Mbak Inah ketika kenderraan mereka melewati sebuah warung di pinggir jalan.

“Kenapa harus berhenti?” Bang Olo menginjak rem.

“Kita minum dulu dan juga makan!”

Tentu saja Bang Oloan tidak menolak untuk berhenti karena ia memang sudah lelah menjelajah hutan menemani Mbak Inah. Lidahnya sudah rindu kopi kental. Pemilik warung amat heran melihat seekor monyet dalam gendongan Inah yang memesan susu kental. Yang meneguk susu itu bukan Mbak Inah, bukan Bang Oloan, tapi sang monyet yang tampak lahap menyedotnya.

“Mas Joko sudah lama tidak menikmati susu. Mana ada susu di tengah hutan.” suara Inah penuh kasih sayang.

Bang Oloan meneguk kopi hangat, tapi pandangannya selalu tertuju pada monyet di sisi Mbak Inah. Tampak amat akrab dan penuh persaudaraan. Demi Tuhan, Bang Oloan tidak pernah melihat hubungan yang amat akrab antara seekor hewan yang namanya monyet dengan seorang gadis cantik. Demi Tuhan, Bang Oloan tidak pernah mendengar hubungan batin yang amat kental antara seorang gadis dengan seekor kera.

Demi Tuhan, Bang Oloan tidak pernah melihat seekor monyet amat manja terhadap seorang wanita yang belum menikah. Entah bagaimana gadis itu membina persahabatan yang amat kental. Sungguh luar biasa.

Tidak hanya minum susu di sebuah warung di pinggir jalan, ketika melewati warung buah-buahan, Mbak Inah juga minta berhenti dan mampir. Ia memberikan apel yang segar untuk monyet kesayangannya.

“Ayo nikmati apel ini,Mas Joko. Bukankah sudah lama Mas Joko tidak makan apel selama di hutan?. Yang ada di hutan hanya buah-buahan hutan yang tidak enak rasanya.”

Tidak hanya apel segar yang dikunyah oleh sang monyet itu, tapi juga buah pier dan sawo. Monyet itu tampak senang sekali. Dan bahagia, seperti manusia. Mas Joko memang amat dimanjakan oleh Inah.

Hari-hari yang indah kini dirasakan oleh gadis asal Jawa Tengah itu sejak monyet kesayangannya sudah kembali di sisinya. Mereka berdua kembali menelusuri komplek perumahan dan perkampungan penduduk untuk mengadakan atraksi pertunjukan topeng monyet. Mereka menerima saweran yang cukup lumayan setiap hari. Tiada hari tanpa saweran yang lumayan, bisa untuk membeli nasi, susu, apel, parfum dan juga bedak serta sisanya ditabung. Tuhan kembali membukakan pintu langit dan dari sana turunlah rezeki yang lumayan untuk Mbak Inah dan Mas Joko yang sudah teramat jauh meninggalkan kampung kelahirannya di Jawa Tengah.

Hari-hari yang penuh kemesraan kini dinikmati Inah bersama Mas Joko. Hampir tiap malam setelah pulang dari melakukan pertunjukan, bagaikan seorang ronggeng ia menari dan bernyanyi bersama monyet kesayangannya. Hubungan batin antara Mbak Inah dan Mas Joko semakin kental. Semakin akrab.

Bahkan Inah terlalu asyik dengan Mas Joko padahal di rumah itu hadir seorang lelaki pekerja proyek yang ingin duduk berdua dan berpegangan tangan dengannya. Bang Oloan hanya duduk sendiri menikmati kopi, sementara Mbak Inah bersama monyet itu. Bang Oloan merasa kecewa. Ia merasa tidak diperdulikan. Kehadirannya di rumah itu sia-sia. Kedatangannya untuk mengunjungi Mbak Inah tidak punya arti apa-apa. Untuk apa datang dari jauh kalau yang menemaninya hanya segelas kopi?. Bang Oloan merasa iri. Lelaki itu merasa cemburu.

“Berhentilah memanjakan Mas Joko,” terdengar suara Bang Oloan ketika Mbak Inah memberikan susu kepada Mas Joko.

“Mas Joko haus!,” Mbak Inah berkata tanpa memandang wajah Bang Oloan yang menatap wajahnya amat dalam.

“Memberi minum boleh saja, tapi tidak usah berlebihan.”

“Tidak bolehkah aku menyayangi Mas Joko yang menjadi temanku mencari rezeki?”

“Boleh saja!. Tapi ada harus ada batas. Kamu harus ingat, bahwa dirimu adalah seorang gadis dan Mas Joko tidak lebih dari seekor hewan.”

“Mas Joko perlu perhatian khusus dariku.”

“Tapi tidak harus dengan sikap dan perlakuan yang berlebihan. Kamu menganggap Mas Joko seperti kekasihmu, seperti pacarmu. Kamu seperti memberi peluang kemesraan dan kehangatan kepadanya. Itu berlebihan,Inah.”

“Tidak bolehkah aku mengusap tubuhnya?. Tidak bolehkah aku menciumnya?. Tidak bolehkah aku menggendongnya?. Tidak bolehkah Mas Joko duduk di pangkuanku dan menyandarkan kepalanya di dadaku?”

“Perlakuan itu berlebihan,Inah. Harus ada batas!”

Inah menatap wajah Bang Oloan. Lelaki itu menyentuh pundak Inah dan mengusapnya.

“Sejak tadi aku di sini hanya ditemani segelas kopi sementara kamu terus-terusan bersama Mas Joko. Aku tidak ingin kamu abaikan aku,Inah. Aku juga ingin perhatian serius darimu. Aku berharap yang menemani aku di rumah ini adalah kamu,Inah. Aku ingin menyentuh tanganmu, aku ingin membelai tubuhmu. Aku ingin memelukmu erat sekali. Tapi bagaimana aku bisa memelukmu kalau Mas Joko ada di pangkuanmu?”

Sesaat Mbak Inah termenung.

“Atau kamu tidak menyukai kehadiranku di sini?”

“Demi Tuhan, aku amat senang Bang Olo mengunjungiku.”

“Tapi aku sangat kecewa karena sikapmu yang tidak perduli terhadapku. Kamu lebih banyak memperhatikan Mas Joko.”

“Terus terang, aku tidak dapat hidup tanpa Mas Joko. Aku banyak berharap darinya,terutama dalam hal mencari nafkah.”

“Tapi tidak dengan cara berlebihan.”

Diam-diam Bang Oloan selalu memperhatikan sikap Inah memberikan perhatian kepada sang monyet itu. Bahkan mandipun terkadang bersama-sama, memberinya bedak dan parfum, mengusap tubuh sang monyet, membiarkan binatang itu duduk di pangkuannya dan menyandarkan kepada di dada Inah, hingga cara Inah mencium monyet itu. Hubungan batin antara Inah dan monyet itu dirasakan oleh Bang Oloan terlalu akrab, melebihi ambang batas.

“Katakan terus terang padaku, ada apa dalam dirimu!,” desak Bang Oloan dan menatap mata Inah amat tajam.

“Tidak ada apa-apa,” Inah menyahut polos. “Kami hanya saling membutuhkan.”

“Itulah yang seharusnya tidak boleh terjadi. Kamu harus membatasi sikapmu terhadap Mas Joko.”

“Tapi Mas Joko seperti juga manusia, ia banyak menolong ketika aku dalam kesulitan dan himpitan. Mas Joko menolongku dalam hal mencari saweran. Mas Joko selalu melindungiku dari ancaman bahaya.”

Mbak Inah masih sempat berkata tentang kejadian dalam bis ketika ia akan berangkat dari Jawa dan kenek bis itu berusaha memeluk dan menciumnya , lalu Mas Joko menggigit kenek bus yang jahil dan nakal itu. Juga ketika Mas Joko dibawa petugas penertiban kota saat terjadi penggusuran. Saat itu Inah menjadi korban pemerasan dan juga pelecehan. Mas Joko tiba-tiba menjebol asbes ketika aparat di instansi itu berusaha melecehkan dirinya.

“Sudah sepantasnya aku membalas budi kepada Mas Joko. Kukira tidak berlebihan bila aku menyayanginya.”

“Kamu harus menyadari, bahwa dirimu adalah perempuan,Inah. Pasanganmu bermesraan bukan dengan seekor monyet, tapi dengan seorang manusia. Jangan lupa diri!”

“Aku merasakan Mas Joko seperti manusia yang dapat menjadi sahabatku sekali gus sebagai saudaraku di rantau orang.”

“Sekali gus sebagai pasanganmu,begitukah?”

Inah tidak mampu menyahut. Ia menuduk. Dan sorot mata Bang Oloan semakin tajam. Inah menurunkan Mas Joko dari pangkuannya. Monyet itu menyingkir.

“Terus terang katakan kepadaku. Kamu menganggap Mas Joko sebagai kekasihmu?. Kamu menganggap Mas Joko sebagai pasanganmu?”

Gadis itu tidak mampu menyahut. Lama ia menunduk dan Bang Oloan membelai rambutnya, juga membelai tubuhnya dengan kasih sayang.

“Terus terang ada sesuatu yang tersembunyi pada dirimu hingga terjalin hubungan batin yang sangat kental antara dirimu dengan Mas Joko. “

Gadis itu masih menunduk dan tidak mampu berkata-kata.

“Pasti ada sesuatu yang membuat kamu sangat menyayangi Mas Joko secara berlebihan. Aku ingin mendengarnya,” desak Bang Oloan.

“Ya. Aku merasa suatu saat Mas Joko akan benar-benar menjelma sebagai manusia yang gagah dan perkasa.”

“Buang jauh-jauh pikiran seperti itu,Inah!. Aku ingin menolongmu. Kalau kamu dalam kesulitan katakan kepadaku, biar aku yang akan menolongmu. Bukan Mas Joko!”

“Penuturan mendiang ibuku terlalu lekat di hatiku. Aku tidak bisa melupakannya. Aku tetap berharap suatu saat Mas Joko akan menjelma sebagai manusia yang kemudian akan menjadi kawan hidupku, yang akan menjadi suamiku,”

“Mustahil!. Itu tidak mungkin terjadi.”

“Tapi mendiang ibuku selalu berkata begitu.”

“Apa saja yang dituturkan ibumu?. Dongeng sebelum tidur?” Tatapan mata Bang Oloan semakin dalam. Lelaki itu menyelidik lebih mendalam melalui tatapan mata Inah.

“Almarhum ibuku selalu bertutur tentang Lutung Kasarung. Lutung adalah seekor kera hitam jelmaan dewa di langit. Boleh aku menceritakan hal itu kepada Bang Oloan?. Maukah Bang Oloan mendengar tentang seekor monyet yang dikatakan ibuku adalah jelmaan seorang dewa dari langit?”

“Aku akan senang sekali mendengarnya. Ayo katakan kepadaku, aku akan mendengarnya setiap kata yang kamu ucapkan.”

Sesaat Inah menunduk, seperti mengumpulkan semua ingatannya tentang kisah yang selalu dituturkan ketika sang ibundanya masih hidup dulu.

“Ibu menuturkan tentang Prabu Tapa Agung yang sangat adil dan bijaksana dalam memimpin negaranya yang makmur dan rakyatnya sejahtera. Tapi sang prabu sudah sangat sepuh dan renta.”

“Lalu sang prabu bermaksud turun tahta?” tanya Bang Oloan ingin tahu.

“Prabu Tapa Agung akan lengser dan menyerahkan tahta kerajaannya kepada puteri bungsunya.”

“Siapa nama puteri bungsunya?”

“Purbasari yang memiliki seorang kakak bernama Purbararang yang tentu saja sangat tidak setuju atas tindakan ayahandanya. Puteri Purbararang bersama kekasihnya mendatangi seorang nenek sihir dan dengan mantera-mantera serta ilmunya sang nenek sihir membuat Purbasari diserang penyakit kulit dan penuh borok.”

“Mana mungkin seorang wanita yang tubuhnya penuh borok dan kudis menjadi ratu yang memimpin sebuah kerajaan yang makmur.”

“ Jiwa dan otak ratu Purbararang memang kotor dan keji. Adiknya yang kini bertubuh penuh borok diasingkan di hutan belantara yang amat gelap. Di hutan itu Purbasari dibuatkan sebuah pondok yang rapuh padahal di sana amat banyak binatang buas seperti harimau, beruang, gajah, ular dan hewan-hewan lainnya. Ratu Purbararang berharap adiknya diterkam binatang buas itu biar mati, biar tidak kembali lagi ke kerajaan. Ratu Purbararang sangat takut kehilangan tahtanya, sangat takut kekuasannya direbut adiknya sendiri yang suatu saat akan keluar dari tengah hutan.”

“Lalu Puteri Purbasari diterkam beruang?. Atau tubuhnya dicabik-cabik harimau yang ganas dan lapar?” sela Bang Oloan yang tertarik pada kisah itu.

“Tidak!. Di hutan belantara itu memang amat banyak binatang buas yang lapar, tapi tidak satupun yang mengganggu Purbasari. Bahkan semua binatang buas itu menjadi sahabat Purbasari dan menjaga sang puteri yang nasibnya malang. Hewan-hewan yang buas itu itu pula yang mencarikan makanan untuk puteri yang sebenarnya baik hati dan jiwanya selembut sutera.”

“Kasihan puteri yang malang. Dia pasti cantik sekali!”

“Ya, mendiang ibuku menuturkan bahwa Purbasari sangat cantik, secantik bidadari di langit. Tapi apa boleh buat karena sifat serakah dan busuk hati kakaknya, tubuhnya menjadi cacat dan penuh borok. Purbasari menerima dengan lapang dada segala apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya dapat menangis di depan para binatang buas yang selalu datang menjenguk, menjaganya dan menghibur dirinya agar kerasan tinggal di tengah hutan lebat itu.”

“Adakah salah satu binatang buas itu yang menjadi teman istimewa bagi Purbasari?,” Bang Oloan menyelidik kemana akhirnya kisah itu.

“Ada!”

“Siapa? Burung nuri yang cantik?”

“Bukan!”

“Seekor kijang jantan?”

“Bukan!”

“Harimau yang ganas?”

“Bukan!”

“Seekor ular berbisakah yang menjadi sahabat kental Purbasari?”

“Bukan!”

“Lalu binatang apa yang menjadi teman paling setia sang ratu itu?”

“Seekor kera, seekor monyet hitam berbulu lebat yang namanya Lutung Kasarung.”

“Lalu terjalinlah persahabatan yang amat akrab antara Purbasari dan Lutung Kasarung itu?”

“Tidak hanya seperti persahabatan biasa. Lebih dari itu, lebih dari sekedar persaudaraan biasa. Di malam hari, ketika bulan purnama sedang menghiasi langit biru bersama jutaan bintang-bintang Lutung Kasarung selalu menemani Purbasari dan mereka duduk berdampingan. Monyet itu selalu mencarikan bunga-bunga untuk Purbasari dan meletakkan di rambutnya. Mereka seakan sepasang kekasih yang sangat setia dalam suka dan duka. Sejak kehadiran monyet itu, hati Purbasari berbunga-bunga. Hampir tiap saat dua mahluk itu selalu berdua dan bersama. Mereka selalu bersenda gurau. Mereca saling memadu kasih. Mereka tidak terpisahkan lagi.”

“Sungguh menarik kisah yang dituturkan ibumu.” cetus Bang Oloan..

“Dari hari ke hari kedua mahluk itu semakin akrab dan mesra. Mereka menjalin kasih sayang. Kedua mahluk itu seperti saling membutuhkan. Saling mencintai seperti manusia.”

“Kedengarannya aneh, anak manusia mencintai seekor monyet.”

“Tapi Lutung Kasarung bukan sembarang monyet. Lutung Kasarung adalah jelmaan dewa dari taman firdaus. Suatu saat, ketika bulan purnama sedang menghiasi langit biru, Lutung Kasarung tidak tampak bersama Purbasari sehingga gadis itu dirundung kerinduan.”

“Kemana Lutung Kasarung waktu itu?. Kenapa ia sampai hati membiarkan Purbasari sendiri di tengah hutan yang gelap?”

“Ternyata Lutung Kasarung sedang bersemedi. Monyet itu bertapa.”

“Apa yang diminta oleh monyet itu dari para dewa?”

“Lutung Kasarung berharap ada sebuah danau di tengah hutan itu. Esok hari ternyata memang muncul sebuah danau yang airnya amat jernih dan ikan-ikan berbagai jenis bermain di danau itu“

“Dan Purbasari mandi di danau itu?” sela Bang Oloan ingin tahu dan menatap wajah Inah yang cantik.

“Purbasari tanpa ragu-ragu mencebur di danau itu. Sepanjang hari ia bermain air danau yang bening tanpa merasa lapar. Keajaiban telah terjadi. Para dewa ternyata menyaksikan Purbasari bermain air di danau itu dan ternyata air danau itu mengandung mukzijat. Borok dan kudis yang memenuhi tubuh Purbasari tiba-tiba lenyap sehingga tubuh gadis itu tampak bersih dan mulus. Purbasari benar-benar sangat cantik jelita!”

“Tentu saja Lutung Kasarung amat senang memandang tubuh Purbasari yang bersih dan mulus.”

“Tentu saja!. Lurtung Kasarung senantiasa memperhatikan tubuh Purbasari seperti tidak pernah puas.”

“Apakah Purbasari berhasrat untuk kembali ke istana?. Apakah ia ingin merebut kerajaan yang ia tinggalkan dari tangan kakaknya yang jahat?”

“Tidak!. Ia tetap memilih tinggal di hutan.”

“Ia tetap memilih tinggal bersama Lutung Kasarung?. Aneh kalau dia lebih memilih untuk tetap tinggal di hutan bersama seekor monyet dari pada tinggal di istana yang mewah dan megah.Aneh gadis cantik lebih memilih tinggal di tengah hutan bersama seekor monyet.”

“Begitulah adanya!”

“Betapa luhur hati sang ratu yang terlempar dari istana itu.”

“Tentu saja kakaknya sangat kaget ketika suatu saat ia berjalan-jalan ke hutan dan melihat tubuh adiknya yang dulu penuh koreng, penuh kudis dan borok kini sudah berubah sama sekali. Purbasari terlihat sangat cantik.”

“Bagaimana sikap sang kakak melihat adiknya terlihat cantik?. Khawatirkah dia akan adiknya ayang suatu saat akan merebut tahta kerajaan?”

“Tentu saja sang kakak cemas. Apalagi dalam diri kakaknya terdapat darah dan jiwa yang amat kotor dan busuk. Sebelum sang adik kembali ke istana, sang kakak mengadakan adu rambut, siapa yang rambutnya lebih panjang dialah yang akan menjadi ratu pemegang kekuasaan di kerajaan.”

“Lalu rambut siapa yang lebih panjang?. Purbararang atau Purbasari?” Bang Oloan amat tertarik pada kisah itu dan ingin tahu kelanjutannya.

“Tentu saja Purbasari yang menang!”

“Lalu Purbasari akan segera kembali ke istana untuk memangku jabatan sebagai ratu?. Lalu Purbasari menuntut tahta kerajaan itu dari sang kakak?””

“Otak kakaknya memang kotor dan keji. Meskipun jelas Purbasari telah memenangkan sayembara itu, tapi ia belum rela menyerahkan jabatan ratunya kepada adiknya. Masih ada syarat lagi.”

“Syarat apa lagi?”

“Purbararang mengajukan syarat. Seorang ratu harus didampingi oleh raja yang tampan. Siapa yang memiliki calon suami yang lebih gagah dialah yang akan menjadi ratu. Mana mungkin seorang ratu bersuamikan laki-laki yang buruk muka. Mana mungkin ratu bersuamikan seekor monyet.”

“Syarat itu membuat Purbasari menyerah. Kasihan,” Bang Oloan memberikan reaksi. “Kasihan kalau Purbasari tetap tinggal di hutan bersama seekor monyet.”

“Para dewa di langit memang sedang menguji hati Purbasari, apakah ia tabah menghadapi sikap dan pola pikir kakaknya yang rakus kekuasaan.”

“Bantuan apa yang diberikan para dewa kepada Purbasari untuk menolongnya?”

“Monyet hitam yang selalu menemani Purbasari siang dan malam ternyata bukan monyet biasa, tapi jelmaan para dewa. Dalam waktu sesaat Lutung Kasarung berobah menjadi seorang lelaki gagah perkasa, jauh lebih perkasa dari kekasih Purbararang. Menangislah Purbararang karena ia harus kehilangan tahta.”

“Kisah itu pasti sangat melekat dalam jiwamu,Inah. Penuturan ibumu pasti sangat lekat dalam darahmu,” ujar Bang Oloan setelah Inah mengakhiri kisah yang dituturkan ibunya dulu.

“Ya, aku akan selalu ingat. Karena itulah ketika aku menemukan seorang anak monyet di lading jagung tidak jauh dari hutan, rasanya aku seperti kedatangan Lutung Kasarung.”

“Karena itulah kamu memeliharanya, menyayanginya, mencintainya dan menganggapnya sebagai kekasihmu?”

“Aku berharap Mas Joko akan menjelma menjadi seorang pemuda gagah yang kelak menjadi suamiku.”

“Apa yang dituturkan mendiang ibumu hanya sebuah dongeng,Inah. Bukan hal yang sebenarnya terjadi. Sungguh mustahil. Sungguh tidak mungkin terjadi. Mana mungkin seekor monyet menjelma jadi manusia yang tampan, gagah dan perkasa.”

“Tapi aku sangat percaya!” sela Mbak Inah dengan nada yakin.

“Tidak mungkin,Inah. Kamu hanya mimpi!. Mulai hari ini mimpi itu harus kamu akhiri. Mulai hari ini kamu harus merobah sikapmu terhadap Mas Joko. Jangan lagi berlebihan dalam menyayangi monyet itu.”

“Itulah yang teramat sulit untuk kulakukan. Aku sudah terlanjur menyayangi Mas Joko. Aku sudah terbiasa memanjakannya. Aku sudah terbiasa menggendongnya, sudah terbiasa membiarkan Mas Joko duduk di pangkuanku dan menyandarkan kepalanya di dadaku.”

“Itulah yang harus kamu robah. Kamu harus menjaga jarak. Kamu harus membatasi diri agar tidak terlalu larut dalam impian.”

“Amat sulit,Bang Olo!”

“Kamu harus mampu menahan diri. Biarlah perlahan-lahan dan aku akan membantumu. Aku akan selalu hadir di sini dan membuatmu menjaga jarak dengan Mas Joko.”

Bang Oloan memeluk tubuh Inah amat erak. Pelukan itu dirasakan Inah amat hangat dan penuh arti. Ia tidak mampu berkata apa-apa. Ia membiarkan lelaki itu membisikkan kata-kata cinta dan kasih sayang di telinganya.

***


Gemuruh mesin excavator di proyek pengendalian banjir itu mengejutkan burung-burung di ranting pohon yang sedang memberi makan anak-anaknya. Kupu-kupu yang sedang bermain di pinggir hutan juga terkejut dan terbang menjauh. Seekor landak juga segera bersembunyi. Apalagi yang namanya berbagai jenis kera yang semula berayun-ayun dari satu pohon ke pohon lainnya amat kaget dan segera menjauh.

Debu tebal beterbangan ke langit ketika belalai excavator itu menggali dan menimbun tanah. Musang betina yang sedang bunting juga lari terbirit-birit mendengar suara alat berat yang sedang bekerja. Sang operatornya, seorang lelaki bertubuh hitam legam tidak perduli debu tebal yang bertebaran, padahal suatu saat debu itu akan menyesakkan nafasnya. Lelaki itu memang amat rajin bekerja. Ia hanya berhenti ketika waktu makan tiba dan ketika terdengar azan solat zuhur dan asar. Sepanjang hari lelaki itu tetap di atas sebuah alat berat yang sejak beberapa bulan hadir di proyek itu menggali tanah dan membuat timbunan untuk dijadikan tanggul agar pada musim hujan mendatang banjir tidak terjadi lagi. Pada musim hujan mendatang tidak ada lagi rumah-rumah warga yang terendam air. Tidak ada lagi sawah dan ladang yang dilanda banjir. Tidak lama lagi tidak akan terjadi lagi ternak dihanyutkan air bah. Panen raya akan menghasilkn padi yang menggembirakan para petani nanti.

Seekor elang jantan yang kukunya panjang dan tajam terbang melayang-layang tidak jauh di atas alat berat yang sedang menggali tanah itu. Elang jantan itu sedang mengintai seekor tikus besar yang sedang berlari-lari menghindari alat berat yang sedang bekerja. Sesaat kemudian elang jantan itu terbang menungkik ke bawah dan kuku kakinya segera mencengkeram sang tikus lalu membawanya terbang tinggi dan sebentar lagi tubuh sang tikus akan tercabik-cabik.

Lelaki di atas alat berat berwarna kuning itu tidak menyadari, tidak jauh dari proyek itu, di pinggiran hutan tua, seorang perempuan berumur hampir tiga puluh tahun memperhatikannya dengan menggendong seekor monyet. Perempuan itu adalah Mbak Inah yang merasa terpanggil untuk bertemu lelaki itu. Ada kerinduan terhadap lelaki operator proyek itu di hati Mbak Inah.

Sesaat Inah memperhatikan lelaki itu dan tersenyum Bang Oloan adalah pekerja yang ulet,padahal matahari amat terik seperti membakar bumi. Tubuh lelaki itu bermandi peluh tapi ia tidak perduli. Ia terus bekerja dan terus bekerja. Hingga ia tidak menyadari, di pinggir preyek itu, di pinggiran hutan tua., seorang perempuan memperhatikannya sejak tadi dan membiarkan rambutnya dibelai angin.

“Bang Olooo!,” terdengar suara Mbak Inah berteriak.

Gemuruh mesin alat berat menyebabkan lelaki itu tidak mendengar ada suara seorang perempuan yang menyebut namanya dengan suara melengking. Lelaki bertubuh hitam legam itu terus bekerja dan debu semakin banyak beterbangan di langit. Anginpun terus berhembus membelai rambut Mbak Inah

“Bang Oloooo!. Aku datang,Bang Olo. Aku datang membawa makanan. Ayo kita makan bersama.”

Suara itu sayup-sayup terdengar oleh lelaki itu dan menoleh ke arah datangnya suara itu.

“Kemarilah,Bang Olo. Aku di sini!”. Inah melambai-lambaikan tangannya.

Lelaki itu tersenyum. Inah memanggil lagi, dan melambai-lambaikan tangannya. Seekor monyet masih berada di gendongannya.

“Aku datang bersama Mas Joko!. Mas Joko akan bermain di hutan ini!”

“Sebentar lagi,Inah.”

“Mas Joko sudah lapar,bukan? Ayo kita makan bersama!”

“Sepuluh menit lagi aku istirahat!,” sahut lelaki di atas alat berat yang sedang menggali tanah. Lelaki itu memang seorang pekerja proyek yang memiliki disiplin tinggi,

Penuh dedikasi, loyal dan jujur. Lelaki itu memang seorang pekerja yang profesional, lulusan perguruan tinggi, program diploma jurusan mesin. Gajinya lumayan, jauh lebih besar dari pegawai negeri yang selalu selalu menilep uang rakyat dan ketika melamar jadi PNS pun dengan uang memberikan uang pelicin.

Lelaki berkulit hitam legam itu terus bekerja dan alat berat itu terlihat terus menggali dan menimbun tanah.

“Mari ,Bang,Olo! Berhentilah bekerja!. Aku dan Mas Joko sudah tidak sabar untuk makan bersama Bang Olo!,” teriak Mbak Inah lagi.

Tapi lelaki itu terus bekerja. Matahari semakin terik. Debupun semakin banyak beterbangan di udara. Sepasang burung berparuh besar hinggap di ranting pohon besar tidak jauh dari Inah dan Mas Joko berdiri. Sepasang burung itu memperhatikan Mbak Inah yang tampak sangat akrab dengan seekor monyet. Burung betina itu seperti berkata:

“Lepaskan monyet itu,Mbak Inah. Lepaskan dia di hutan ini biar dia menjadi sahabat kami. Lepaskan monyet itu agar menjadi teman kami bermain di hutan ini!”

Burung jantan di sisinya melanjutkan kata-kata itu dalam bahasa burung:

“Kasihan monyet itu. Dia pasti butuh teman. Monyet itu butuh pasangan seperti kami.”

Tapi Inah tidak mengerti makna bahasa burung itu. Ia asyik memandang ke arah Bang Oloan yang asyik bekerja dengan alat beratnya yang terus mengeduk dan menimbun tanah.

“Lepaskan monyet itu, biar dia bebas kemana-mana, biar dia mencari makan sendiri, biar dia mencari sahabat sendiri, biar mencari pasangannya sendiri. Monyet juga mahluk seperti manusia, yang butuh sahabat dan pasangan. Sadarilah , bahwa pasangan monyet itu bukan Mbak Inah, tapi sesama jenisnya, sesama monyet!”

Angin berhembus lembut membelai rambut Inah yang berkibar. Daun-daun pohon yang sudah berumur puluhan tahun yang kering berguguran dan beberapa lembar daun kering itu jatuh di sisi Inah. Ia duduk di pinggir hutan lebat itu itu beralaskan daun-daun kering.

“Ayo duduk di sini,Mas Joko. Kita tunggu Bang Olo. Kita akan makan bersama di pinggir hutan ini.”

Seperti layaknya manusia, monyet itu duduk di sisi Inah. Sesaat Mbak Inah mengusap pundak monyet itu dengan kasih sayang. Angin yang berhembus lembut membelai tubuh Mbak Inah yang duduk berdampingan bersama Mas Joko. Sepasang burung berparuh besar masih tetap memperhatikan mereka. Sang burung betina seperti berkata lagi kepada Mbak Inah:

“Lupakan tentang kisah Lutung Kasarung yang pernah Mbak Inah dengar dari mendiang ibumu. Itu cuma dongeng sebelum tidur. Di jaman ini tidak ada lagi monyet jelmaaan dewa yang turun dari langit. Mas Joko adalah monyet biasa yang butuh kebebasan. Lepaskan dia di hutan ini biar menikmati kebebasan, sebab kebebasan adalah sesuatu yang paling nikmat bagi semua mahluk”

Mbak Inah tidak menyadari pesan moral yang disampaian sepasang burung yang hinggap di ranting pohon. Ia masih mengusap kening monyet kesayangannya dan sepasang matanya masih memperhatiikan Bang Oloan yang terus bekerja di atas alat beratnya.. Sepasang burung balam juga hinggap di ranting pohon tidak jauh dari Inah duduk bersama Mas Joko.

“Selamat datang di hutan ini,Mbak Inah. Nikmatilah pemandangan cantik di sini. Nikmatilah udara segar di hutan ini bersama Mas Joko. Tapi jangan kungkung dia dalam sangkar emas. Lepaskan dia di sini!”

Semua burung pasti berharap agar Mbak Inah melepas monyet itu ke alam bebas. Bahkan semua mahluk hutan pasti berharap agar Mbak Inah mau membiarkan monyet itu kembali ke habitatnya. Bahkan buaya yang sedang berjemur diri di pinggir sungai juga berharap agar monyet itu bermain bersama pasangannya di alam bebas Bahkan mahluk kecil yang namanya kadal, ular, semut dan semua serangga berharap Mbak Inah mau melepas monyet itu.

***

Seulas senyum cerah menghiasi wajah Inah ketika lelaki bertubuh hitam legam itu menghampirinya. Keringat tampak di wajahnya dan juga di lehernya. Kerja keras di terik matahari membuat lelaki itu bermandi peluh. Lelaki itu langsung duduk di sisi Inah.

“Aku merasa terpanggil oleh Bang Olo untuk datang kemari!,” cetus Inah dan menatap wajah lelaki itu.

“Aku juga merindukanmu. Aku senang kamu datang dan melihatku bekerja.”

“Aku datang membawa sayur gudek untuk kita makan bersama.”

“Wah ,aku senang sekali bisa menikmati masakan khas Jawa.”

“Aku juga membawa lemper untuk Bang Olo.”

“Terima kasih.”

Inah membuka bungkusan yang dibawanya dari rumah berisi nasi, sayur gudek, sambal goreng udang dan lemper. Tapi sebelum Inah memulai makan siang di pinggir hutan itu, Mbak Inah mengusap dahi monyet kesayangan di sisinya.

“Aku sengaja membawa Mas Joko kemari. Aku akan melepasnya bermain di hutan ini ,” terdengar suara Mbak Inah.

“Untuk selamanya?”

“Tentu saja tidak. Aku tidak dapat berpisah dengan Mas Joko.Aku akan membawanya pulang jam lima sore nanti.”

“Hmmm,” Bang Oloan hanya bergumam lirih.

“Ayo pergilah bermain di hutan ini,Mas Joko!. Pergilah!” Mbak Inah melepas monyet kesayangannya. Tapi baru beberapa langkah sang monyet berhenti dan memandang ke arah Inah.

“Ayo,pergilah bermain. Di hutan ini banyak sahabatmu.”

Monyet berjambul itu melangkah pergi. Ia tampak ceria dan Inah melambaikan tangannya.

“Ayo kita makan!”

Sepasang manusia itu mulai menyantap nasi dan lauknya. Tampak lelaki itu amat lahap menyantap makanan yang dibawa Inah dari rumah.

“Bang Olo tentu lelah dan lapar!”

“Pintar kamu memasak,Inah!”

Sepasang burung bangau terbang di langit tidak jauh dari mereka duduk. Tampak sepasang burung itu hidup damai dan mesra bersama pasangannya.

“Aku bangga , saat ini di kampung halamanku sudah ada kakayaan bumi.” Lelaki itu berkata sambil mengunyah nasi bersama gudek.

“Kekayaan bumi macam apa?”

“Pemerintah sudah menetapkan Kawasan Batang Gadis sebagai Taman Nasional,”

“Artinya disana banyak tumbuhan dan binatang langka?”

“Ya, di sana ada Harimau Sumatera, ada tapir, ada kambing hutan, kucing bulan, ada beruang madu, rusa, kancil dan banyak lagi. Taman Nasional Batang Gadis luasnya tidak kurang dari seratus delapan ribu hektar dan di sana banyak tumbuhan langka, juga ada berbagai jenis mikorba yang jumlahnya sampai seribu lima ratus jenis yang sangat berguna untuk obat-obatan, pupuk organik, untuk bio insekktisida dan biogungsida lainnya untuk umat manusia.”

“Aku ikut bangga kampung halaman Bang Olo adalah kawasan yang makmur, sungguh berbeda dengan desaku di Jawa Tengah yang miskin dan akhirnya dilanda bancana tanah longsor yang merenggut nyawa ayah dan ibuku.”

“Aku ikut prihatin.” sahut lelaki itu dan masih mengunyah makanan dengan lahap. Monyet kesayangan milik Inah masih bermain di tengah hutan. Monyet itu banyak bertemu dengan para sahabatnya sesama binatang.

Sesekali Inah memandang kea rah hutan, tapi monyet kesayangannya yang diberinya nama Mas Joko sudah tidak terlihat. Mas Joko sudah berada di tengah hutan dan bertemu dengan binatang sejenisnya dan juga binatang lainnya.

“Banyak persamaan tanah kelahiranku dengan Pulau Jawa. Kalau di Jawa ada Candi Prambanan dan Borobudur, di Tapanuli Selatan juga ada candi peninggalan kerajaan Hindu yang bernama Portibi.”, tutur Bang Oloan mengunyah lemper.

“Dimana letak candi itu?. Rasanya aku sangat ingin untuk melihatnya,.” sahut Inah dan menatap wajah lelaki bertubuh hitam legam itu.

“Candi Portibi terletak di jantung kawasan Padang Lawas atau wilayah Padang Bolak. Sejak ratusan tahun silam, orang-orang Batak sudah menjalin hubungan dengan kerajaan di India Selatan. Orang-orang India itu datang ke Tapanuli untuk memburu emas dan kemenyan yang merupakan komoditi paling tinggi harganya.”

“Pemandangan alam di sana pasti indah.”

“Ya,indah sekali. Suatu saat ini kita akan bersama-sama mengunjungi Candi Portibi.”

“Aku ingin mengenal Tanah Mandailing lebih jauh.”

Sebentar-sebentar Inah memandang ke arah hutan seakan ia meragukan keadaan Mas Joko di tengah hutan itu.

“Tidak usah khawatir tentang Mas Joko. Dia sudah menemukan banyak kawan dan sahabat di tengah hutan ini. Mungkin sekali dia enggan pulang bersamamu.”

“Tidak mungkin!,” Inah cepat membantah. “Mas Joko harus pulang bersamaku. Dia tidak boleh tinggal di sini. Aku akan kehilangan dia. Aku tidak akan mampu bertahan hidup tanpa Mas Joko.”

“Bagaimana seandainya Mas Joko lebih kerasan hidup di tengah hutan ini karena di sini banyak sahabat dan kawan-kawannya?. Bagaimana kalau Mas Joko sudah menemukan pasangannya di hutan ini?”

“Tidak!. Tidak mungkin!. Mas Joko harus kembali. Mas Joko harus pulang. Dia tidak boleh tinggal di hutan ini!”

“Kenapa?”

“Karena Mas Joko sudah terbiasa hidup bersamaku. Karena aku sudah terbiasa mengurusnya dengan baik Mas Joko sudah terbiasa menjalani kehidupannya sebagai manusia. Aku sangat menyayanginya.”

“Dan juga mencintainya?”

“Ya!”

“Itulah yang tidak boleh terjadi,Inah!. Itulah sikap yang harus kamu robah sejak sekarang.” terdengar lagi suara lelaki itu usai mengunyah lemper.

Pelan sekali tangan lelaki itu menggenggam jari tangan Inah erat sekali. Mereka saling berpandangan, saling bertatapan amat dalam.

“Terus terang, aku sayang padamu,Inah. Aku mencintaimu sepenuh hati. Aku sudah berniat untuk menikah denganmu. Kamu akan jadi isteriku. Aku hutuh seorang teman dalam hidupku. Aku ingin membina sebuah perkawinan denganmu. Aku ingin membangun sebuah rumah tangga denganmu. Dan aku juga berharap kamu memiliki perasaan yang sama denganku.”

Inah tidak mampu menyahut. Ia menunduk, tapi jari tangan Bang Oloan segera menyentuh dagunya dan menengadahkan wajah Inah sehingga mereka bertatapan pandang lagi.

“Tatap aku dalam-dalam,” pinta Bang Oloan.

“Aku sudah menatap wajah Bang Olo amat dalam.”

“Apa yang kamu lihat di mataku?”

“Cintamu yang suci. Hatimu yang bersih.”

“Tapi aku tidak melihat perasaan seperti itu di matamu,Inah.”

“Karena aku masih memikirkan Mas Joko. Aku tidak ingin kehilangan dia.”

“Hal itulah yang tidak boleh berlarut-larut. Hubungan batin dengan Mas Joko harus segera diakhiri.”

“Aku tidak mampu!. Aku tidak bisa. Hubungan dengan Mas Joko sudah mendarah daging dalam diriku.”

“Bisa!. Aku yakin kamu mampu untuk melupakannya. Aku yakin kamu akan mampu melepas Mas Joko ke hutan dan membiarkan dia hidup bersama binatang sejenisnya. Biarkan dia membaur dan hidup bersama.”

“Terlalu berat rasanya.”

“Hubungan batin dengan Mas Joko harus diakhiri. Itu yang kupinta, karena aku ingin menjadikan kamu sebagai isteriku.”

“Tapi Mas Joko selalu setia bersamaku mencari nafkah. Kami bersama-sama mengais rezeki setiap hari. Bagaimana aku akan tampil dalam pertunjukan topeng monyet kalau Mas Joko tidak bersamaku lagi?”

“Aku sudah memikirkannya sungguh-sungguh,Inah. Aku sudah memikirkan sejauh mungkin tentang dirimu dan tentang perkawinan kita. Kalau ktia sudah menikah, kamu tidak usah tampil lagi dalam pertunjukan topeng monyet.”

“Lalu aku harus jadi apa?”

“Jadi isteri yang setia. Jadi ibu rumah tangga di sisiku. Kamu tidak usah mencari duit lagi. Menjadi dalang topeng monyet terlalu berat bagimu. Begitu kita menikah, kamu harus tetap di rumah, menyediakan makanku dan mengurus rumahku. Gajiku cukup layak untuk hidup kita berdua. Dari gajiku aku sudah bisa membeli tanah dan rumah.”

Sesaat Inah termenung.

“Berusahalah untuk dapat melupakan Mas Joko. Tidak usah sekarang, tapi besok atau lusa. Hari ini kamu melepas Mas Joko ke hutan hingga sore dan membawanya pulang. Tapi besok bawa lagi Mas Joko dan membiarkannya di hutan lebih lama. Lusa juga bawa lagi Mas Joko dan tinggalkan hingga malam. Lalu hari berikutnya lepaskan Mas Joko selama tiga hari, berikutnya lima hari, seminggu dan lebih lama lagi. Kita harus memberinya latihan. Juga latihan bagi dirimu sendiri untuk berpisah dengan Mas Joko.”

“Aku akan mencobanya, apakah aku mampu.”

“Tentu saja mampu. Sebab kamu adalah seorang manusia, kamu adalah seorang gadis cantik yang sudah pantas punya suami. Dan Mas Joko adalah seekor monyet yang sudah waktunya punya pasangan pula.”

Kata-kata itu hanya membuat Inah termenung lagi.

“Kau juga harus butuh seorang suami. Dan calon suamimu bukan Mas Joko, bukan seekor monyet, tapi aku. Aku calon suamimu. Aku Bang Oloan!”

Inah masih termenung. Terlalu berat hatinya untuk melepas Mas Joko ke tangah hutan untuk selamanya. Ia tetap menganggap Mas Joko bukan monyet biasa. Ia tetap ingat penuturan mandiag ibunya tentang Lutung Kasarung yang merupkan titisan dewa yang akhirnya menjelma menjadi manusia muda , gagah dan perkasa yang kemudian menjadi suami Ratu Purbasari.

Inah ingin seperti itu. Suatu saat monyet itu akan menjelma menjadi manusia gagah dan perkasa seperti halnya Lutung Kasarung.

Angin sore berhembus lembut. Daun-daun pohon berguguran. Matahari sudah bergeser jauh ke sebelah barat. Inah melihat jam tangannya, sudah hampir jam lima petang. Sebentar lagi senja akan datang. Sebentar lagi malampun tiba. Sesaat lagi kunang-kunang akan muncul dan beterbangan dengan kelap-kelipnya.

“Sudah waktunya aku membawa Mas Joko pulang!,” ujarnya dan berdiri.

“Ayo kita cari. Ayo kita jemput. Tapi esok hari antarkan Mas Joko kemari lagi dan biarkan lebih lama di hutan ini. Besok malam biarkan Mas Joko tinggal di hutan ini.”

Dua manusia berlainan jenis itu melangkah ke tengah hutan. Tangan Inah digenggam lelaki itu amat erat. Hanya beberapa langkah dari tepi hutan, langkah Inah berhenti.

“Mas Jokoooo!,” suara Inah melengking memanggil monyet kesayangannya. Suaranya bergema di hutan itu. “Ayo kita pulaaaaang!”

Tidak ada sahutan. Sekali lagi Inah memanggil dengan suara melengking.

“Mari kita pulang,Mas Jokooo!”

“Hari sudah sore!”

“Aku menunggumu di sini. Datanglah kemari,Mas Joko!”

“Besok kita datang kemari lagi!”

“Kita pulang dulu. Kita minum susu dulu!”

“Mas Jokooooo!,” panggilnya lagi.

Sesaat kemudian ranting-ranting pohon bergoyang-goyang dan tersibak lalu terlihatlah seekor monyet kesayangan Mbak Inah. Kontak batinlah yang menyebabkan monyet itu mendengar suara Inah. Kontak batin yang sudah sangat akrab menyebabkan monyet itu mendengar namanya dipanggil. Kontak batin yang sudah berlangsung sangat lama menyebabkan monyet itu mengenal suara Inah dan mendekat. Padahal saat itu, ia sedang berkumpul bersama belasan monyet-monyet lainnya penghuni hutan itu.

Dengan amat manja monyet itu segera melompat dalam gendongan Mbak Inah yang segera mengusap tengkuknya dan memberinya ciuman.

“Sudah puaskah Mas Joko bermain di sini?”

Monyet itu mengedipkan matanya. Bersama datangnya senja Inah membawa Mas Joko bersama Bang Oloan mengenderai sepeda motor.

***

Seperti sebongkah batu cadas yang amat keras, begitulah hubungan batin yang teramat kental antara Inah dengan monyet kesayangannya. Tidak dapat dilunakkan lagi, tak dapat dipisahkan. Betapapun Bang Oloan selalu menggugah agar Inah merubah sikapnya terhadap Mas Joko namun sia-sia. Tetap saja Mbak Inah memberi perlakuan istimewa terhadap monyet itu. Tetap saja gadis itu selalu mengusap tubuh sang monyet dengan kasih sayng. Tetap saja gadis itu selalu menciumnya. Tetap saja kalau malam tiba Inah selalu berjoget diiringi tembang Jawa atau lagu-lagu dang-dut.

Tetap saja gadis itu tidak perduli terhadap kedatangan Bang Oloan yang terkadang di ruang tamu ia hanya ditemani segelas kopi. Padahal lelaki itu amat mencintai Mbak Inah. Padahal Bang Oloan hadir di urmah itu untuk membicarakan tentang hari depan milik bersama. Bang Oloan ingin memeluk Inah, melepas kerinduan.

Sia-sia saja untuk mengajak Inah melepas monyet itu di pinggir hutan kemudian esok sore baru dijemput. Inah memang mengantar Mas Joko ke pinggir hutan dan melepasnya, tapi sebelum matahari terrbenam suara Inah sudah bergema di hutan itu untuk memanggil Mas Joko pulang.

Sia-sia saja Bang Oloan mengajak Inah ke rumah Amang Tua Hamonangan yang mengadakan pesta perkawinan puterinya,padahal di rumah itu akan diadakan adat Mandailing.

“Di sana kamu bisa menyaksikan adat mengupa-upa pengantin,Inah,” ujar Bang Oloan sungguh-sungguh.

“Aku mau pergi ke pesta itu, tapi apa salahnya Mas Joko ikut?” sahut Inah polos.

“Tidak mungkin,Inah. Sungguh tidak mungkin. Pesta itu akan menjadi kacau balau kalau kita hadir disana membawa seekor monyet.”

“Tapi Mas Joko tidak akan berbuat onar di sana. Mas Joko akan duduk bersamaku. Mas Joko akan duduk baik-baik di sana. Mas Joko akan duduk dengan tenang.”

“Janggal. Apa kata semua saudaraku, kita datang membawa seekor hewan yang tidak sepantasnya. Apa omongan Bujing Butet?. Apa omongan Angkang Bayo?. Apa kata amang boru Parlaungan?.”

Inah menekur, memandang ke arah Mas Joko. Maunya kemanapun Inah pergi Mas Joko harus selalu ikut.

“Aku ingin sekali kau ikut mendengar upacara mangalehen mangan yang sangat penting dalam sebuah perkawinan.”

“Apa artinya itu?”

“Memberi makan kepada pengantin perempuan yang akan dibawa suaminya. Semua kerabat dari mempelai perempuan memberi kata-kata perpisahan dan nasihat.”

“Aku mau ikut ke pesta itu, tapi Mas Joko kita antar dulu ke hutan. Biar Mas Joko bermain di sana. Sorenya ketika pesta selesai kita jemput kembali.”

Apa boleh buat, sebelum Bang Oloan membawa ke rumah Amang tua Halomoan, ia terpaksa mengantar monyet kesayangan Inah ke hutan tidak jauh dari proyek tempat lelaki itu bekerja. Menjelang magrib, menjelang matahari terbenam, Bang Olo dan Mbak Inah menjemputnya kembali.

Bang Oloan merasa betapa sulitnya untuk memisahkan Inah dengan monyet itu. Rasanya tidak mungkin lagi mereka berdua dipisahkan..Hubungan batin itu sudah terlalu akrab, sudah terlalu kental, sudah membatu. Sungguh keterlaluan. Hubungan batin yang kental itu sudah merasuk ke dalam darah gadis itu. Bang Oloan merasa, bahwa Inah sudah dijangkiti penyakit kejiwaan Inah sudah mengkeramatkan monyet itu. Padahal Bang Oloan selalu memperhatikan amat dalam monyet itu, hanya monyet biasa. Tidak ada kelebihan apapun pada diri monyet itu. Kelebihan yang dimiliki oleh monyet yang amat disayangi Inah hanya pintar melakukan berbagai atraksi topeng monyet, seperti menarik gerobak, berbelanja, memukul alat musik dram atau melompati lingkaran. Hanya itu.

Tapi Inah memberikan kasih sayang yang berlebihan terhadap binatang itu. Mbak Inah memberikan perhatian yang sangat istimewa kepada monyet itu. Inah terlalu memanjakannya. Sungguh tidak selayaknya kalau monyet itu bermanja-manja di pangkuan Inah dan menyadarkan kepalanya di dada Inah dan Inah membelai-belai tubuhnya.

Bang Oloan merasa diabaikan. Bng Oloan merasa tidak sanggup untuk memberi nasihat,apalagi untuk merobah sikap gadis itu. Padahal Bang Oloan teramat mencintai gadis itu. Padahal dia ingin menikahti Inah. Lelaki itu ingin dalang topeng monyet itu menjadi isterinya.

Itulah sebabnya, berhari-hari Bang Oloan selalu termenung bila dia mengujungi Inah di rumahnya. Ia tidak henti-hentinya berpikir bagaimana caranya agar Inah merubah sikapnya. Ia berpikir bagaimana caranya mencairkan batu cadas yang sudah membeku amat keras itu. Ia memikirkan bagaimana untuk memutuskan hubungan batin yang sudah amat mengental itu. Bang Olo ingin hubungan batin yang sudah merasuk ke dalam setiap sel darah Inah dibuang jauh-jauh.

Ia butuh bantuan seseorang. Dan seseorang yang mampu banyak berbuat hingga Inah sembuh dari penyakit kejiwaan itu adalah seorang psikiater!. Hanya Psikiater yang mampu menyadarkan Inah dari mimpi buruk. Hanya psikiater yang mampu menyembuhkan Inah dari jalan hidupnya yang menyimpang.

Sikap mengkramatkan monyet itu harus diakhiri dan yang mampu menolongnya hanya seorang ahli.

Itulah sebabnya lama ia berpikir bagaimana caranya agar Inah mau mengadakan konsultasi dengan seorang psikiater.

“Kukira ada baiknya sesekali kita mengunjungi dokter,” ajak Bang Oloan malam itu ketika ia mengunjungi Inah lagi.

“Ngapain ke dokter. Aku tidak sakit,”

“Tapi ada baiknya kita mendengar nasihat dokter. Hanya nasihat, bukan untuk disuntik dan bukan harus makan obat.”

“Aku sehat,Bang Olo. Buat apa ke dokter?”

“Kamu sehat. Kamu tidak sakit. Tapi selama berbulan-bulan aku mengenalmu, rasanya ada sesuatu yang berlebihan.”

“Apa yang berlebihan?”

“Perhatianmu terhadap Mas Joko. Sikapmu!. Kasih sayangmu!. Juga prilakumu terhadap Mas Joko.”

“Aku merasa biasa-biasa saja. Aku dan Mas Joko saling membantu dan saling menolong kalau salah satu di antara kami dalam kesulitan.”

“Kamu adalah seorang gadis yang sehat secara fisik. Sudah waktunya kamu memikirkan rumah tangga. Sudah waktunya kamu mempunyai seorang pendamping,yaktu teman hidup. Sudah waktunya kamu menikah. Sudah waktunya kamu kawin, tapi bukan dengan Mas Joko. Jodohmu adalah seorang lelaki yang mencintaimu,Inah. Siapa lagi kalau bukan aku?”

Kata-kata itu hanya membuat Inah menunduk.

“Ayolah ke dokter, demi kebaikan dirimu. Juga demi masa depanmu.” Imbau Bang Oloan sungguh-sungguh.

Sesaat Inah berpikir,lalu terdengar suaranya:

“Aku mau ke dokter, tapi dengan syarat Mas Joko harus ikut.”

“Kukira itu lebih baik.”

Bang Oloan merasa akan lebih baik bila Inah mau diajak konsultsi kepada seorang psikiater bersama sang monyet kesayangannya. Justrru yang menjadi pokok persoalannya adalah sang monyet yang sudah dikeramatkan oleh Inah. Biar psikiater itu tahu betapa kentalnya hubungan batin antara Inah dan sang monyet kesayangannya.

Sejujurnya Inah berterus terang kepada psikiater itu tentang perjalanan hidupnya, sejak gadis remaja yang ditinggalkan calon suaminya karena ulah seorang dukun di desanya. Juga tentang penemuan anak monyet dibelakang rumahnya yang kini diberi nama Mas Joko. Inah juga mengutarakan tentang ayah bundanya yang direnggut bencna tanah longsor di desanya di Jawa Tengah. Inah juga tidak lupa menuturkan perjalanan hidupnya sebagai dalang topong monyet ketika menyeberang ke Sumatera. Tentang pelecehan yang dilakukan oleh kernet bis ketika dalam perjalanan, lalu Mas Joko menggigit lelaki iseng itu. Juga ketika dilecehkan pejabat dinas ketertiban kota dan Mas Joko juga tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan dirinya dari perbuatan terkutuk.

“Inah menderita tekanan batin yang sangat berat,” itulah kesimpulan psikiater yang memeriksa diri Inah. “Masa lalunya yang teramat pahit membuatnya bersikap aneh. Kehampaan akibat ditinggalkan calon suami yang menikah dengan orang lain juga amat memukul jiwanya. Monyet yang datang memberi perolongan kepadanya disaat ia dilecehkan orang lain menyebabkan ia merasa,bahwa yang mampu memberi perlindungan hanya monyet itu.”

“Apakah ia dapat disembuhkan?. Apakah dia dapat dipisahkan dari sang monyet itu?,” Bang Oloan bertanya amat serius kepada piskiater yang sudah berumur diatas lima puluhan.

“Bisa, tapi membutuhkan waktu yang lama untuk menyingkirkan tekanan berat pada jiwanya. Butuh waktu yang lama dan kesabaran untuk menyingkirkan traumatik pada dirinya.”

“Saya akan mendampinginya dan merawatnya dengan baik.” sahut Bang Oloan. “Saya adalah calon suaminya. Kami akan menikah kalau dia sudah dapat berpisah dari monyet itu.”

“Kesimpulannya, orang tuanya sangat minim memberikan didikan agama, hingga jiwanya amat mudah terombang ambing. Mulailah dengan didikan agama untuk membuat hatinya tenteram. Katakan secara perlahan-lahan mengkramatkan seekor binatang adalah sirik, adalah perbuatan yang keliru. Katakan Islam tidak menganjurkan seseorang menyayangi hewan secara berlebihan. Katakan secara perlahan-lahan, Tuhan dan Nabi kita tidak pernah menyebut nama binatang seperi monyet. Katakan kepadanya, yang ada dalam al Qur’an adalah semut, onta, lebah, burung hud-hud, burung ababil atau merpati.”

“Saya akan berusaha memberinya nasihat yang berharga.”

“Insya Allah, calon isteri anda akan sembuh total, tetapi untuk menyembuhkan penyakit kejiwaan yang sudah mendarah daging dalam dirinya, membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi.”

“Saya akan berusaha.”

Psikiater itu hanya memberikan bimbingan yang panjang dan beberapa buitr tablet penenang, biar Inah mengalami ketenteraman jiwa.

***

Hampir sepanjang hari, sejak pagi hingga menjelang petang, tubuh lelaki itu dibakar matahari yang amat terik di atas alat berat, tapi dalam sehari dua kali ia menceburkan diri ke dalam sungai untuk berwudhuk. Meskipun di pinggir hutan, tapi dua kali setiap siang hari ia menghadap kiblat untuk melaksanakan sholat zhuhur dan ashar. Lelaki bertubuh hitam legam itu memang selalu taat. Ibadah solatnya tidak pernah bolong. Sejak kecil lelaki itu memang selalu dididik sungguh-sungguh dalam bidang agama. Sebab oppungnya dulu adalah murid ulama terkenal di kawasan Mandailing. Sampai sekarangpun Bang Oloan tetap ingat nama Syeikh Abdul Qadir al-Mandaili yang pernah mengajar di Makkah. Ulama terkemuka dari kawasan Mandailing itu mewariskan kitab Tarjamah Matil Ajrumiyah.

Kawasan Mandiling adalah gudangnya ulama besar yang hingga saat ini namanya masih tetap dikenang umat muslim di sana. Di antaranya adalah Syeikh Ja’far dan Syeikh Ahmad al Fathani. Bang Oloan juga ingat nama ulama lainnya, yakni Syeikh Abdul Gani bin Abdul Hamid al-Mandaili di tahun 1917 membangun sebuah masjid besar. Nama-nama itu selalu dikenang oleh Bang Oloan yang mewariskan ilmu tauhid kepada oppungnya, kemudian diwariskan kepada ayahandanya dan mengajarkan ilmu itu kepada Bang Oloan pula. Bila Bang Oloan melantunkan azan pasti suaranya menggugah hati setiap umat Islam untuk hadir ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kalau Bang Olo menjadi imam pasti suaranya nyaring dan bacaannya sangat bagus.

Itulah sebabnya Bang Oloan merasa amat kasihan ketika bertemu dengan Inah, gadis cantik berasal dari desa di Jawa Tengah itu, ternyata amat lemah dalam hal agama,padahal ia adalah seorang muslimah. Pantaslah Inah mengalami kelainan sifatnya dalam hal menyayangi monyet yang selalu menjadi mitranya dalam melakukan atraksi pertunjukan topeng monyet. Ditambah lagi bencana tanah longor yang menimpa desanya dan merenggut nyawa ayah dan ibunya. Di tambah lagi hal-hal dan peristiwa pelecehan yang dialaminya.

Sekarang , dalam seminggu dua kali Bang Oloan mengantar Inah ke hutan Bahorok dan melepas Mas Joko ke hutan untuk bermain. Sambil menunggu waktu petang, Bang Oloan meluruskan bacaan Fatihah dan surat-surat pendek seperti Al Ikhlash, dan An Nas serta Al Falaq.

Bang Oloan merasa bahagia bisa membimbing gadis itu dalam hal beribadah. Di pinggir hutan Bahorok, sambil menunggu monyet kesayangan Inah bermain, Bang Oloan dan Inah melaksanakan sholat zhuhur berjamaah. Alhamdulillah, tidak terlalu sulit meluruskan bacaan Fatihah yang dilantunkan gadis dalang topeng monyet itu.

Syukurlah Inah mau mendengar dengan tekun setiap ia bicara tentang Mas Joko.

“Dalam ajaran Islam, tidak boleh mengkramatkan sesuatu,apalagi terhadap seekor binatang,” Bang Oloan bertutur.

“Terhadap Mas Joko?”

“Ya!. Juga terhadap binatang lainnya. Mas Joko tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Mas Joko bukanlah monyet jelmaan dewa. Kamu terlalu larut dengan dongeng yang dituturkan mendiang ibumu. Mas Joko sama sekali tidak seperti Lutung Kasarung yang menjadi teman setia ratu Purbasari yang terusir dari lingkungan istananya”.

Ucapan itu membuat Inah menekur. Apa yang dituturkan Bang Oloan mulai meresap dalam kalbunya.

“Biarkan Mas Joko bermain dengan bebas di hutan bersama kawan-kawannya sesama hewan.”

“Aku tidak harus meninggalkannya,bukan?.” Perlahan Inah mengangkat wajahnya dan menatap mata Bang Oloan.

“Memang tidak sekarang!. Tapi suatu saat nanti, kamu harus rela melepaskannya ke alam bebas. Biarkan Mas Joko berkumpul bersama sahabatnya. Biarkan dia menyatu dengan pasangannya. Biarkan dia kawin dan berkembang biak sebagai mana mahluk hidup lainnya.”

“Mungkin secara perlahan-lahan aku akan berusaha merelakan untuk melepasnya, untuk berpisah dariku.”

“Ya, perlahan sekali. Mungkin minggu depan dan mungkin bulan depan.”

“Lalu bagaimana aku akan mencari nafkah kalau Mas Joko tidak bersamaku lagi?”

“Aku sudah memikirkannya,Inah!,” Bang Oloan menggenggam jari tangan Inah amat erat. “Kita akan menikah. Kamu akan jadi isteriku yang sangat kucintai . Kamu akan jadi isteriku yang sangat kusayangi, yang sangat kukasihi. Gajiku cukup untuk membahagiakan dirimu.”

“Oh,Bang Oloan. Aku bahagia sekali bertemu dengan Bang Oloan. Aku telah mendapat perlindungan.”

“Percayalah, kamu tidak perlu takut akan hidupmu tanpa Mas Joko. Kamu tidak akan sengsara. Jusutru aku akan membahagiakan dirimu.”

“Terima kasih,Bang Olo. Tapi biarkan aku melatih diri untuk bisa berpisah dengan Mas Joko yang sudah terlalu lekat di hatiku. Ikatan batin di antara aku dan Mas Joko sduah terlanjur terlalu erat. Simpul tali itu sudah terlanjur terlalu erat mengikat kami berdua.” Kata-kata itu diucapkan Inah diiringi dengan genangan air mata dan sesaat kemudian setetes demi setetes air mata bergulir di pipinya yang mulus. Gadis itu terlalu mencintai sang monyet yang kini bermain di hutan Bahorok. Dengan ujung jarinya Bang Oloan menyeka air mata di pipi Inah.

“Dalam Qur’an yang menjadi tuntunan setiap umat Islam tidak ada disebut-sebut tentang monyet. Tapi binatang-binatang lainnya banyak disebut-sebut dalam Al Qur’an dan dimuliakan Allah. Di antaranya adalah mahluk yang sangat kecil, yakni semut. Dalam Qur’an ada salah satu surah yang bernama An Naml pada ayat delapan belas dan sembilan belas terdapat perkataan semut. Bahkan Nabi Sulaimanpun ketika sedang lewat bersama pasukan perangnya ketika melintasi barisan semut, segera menghentikan pasukannya dan tersenyum kepada semut-semut itu. Itulah tandanya semut lebih mulia dari pada seekor monyet.”

“Aku senang mendengar kisah dari Al Qur’an itu,” cetus Inah sungguh-sungguh.

“Syukurlah kalau kamu menyenanginya.”

Mbak Inah rebah didada lelaki itu dan membiarkan Bang Oloan bertutur lagi tentang ayat Qur’an.

“Tuhan banyak menyebut hewan yang bernama sapi, terutama sapi betina yang tercantum dalam surah Al Baqarah. Ayat enam tujuh hingga tujuh empat. Ayat ini berkisah tentang perintah penyembelihan sapi betina kepada Bani Israil dimana juga diceritakan tenang watak orang Yahudi.”

“Sungguh aku kagum kepadamu,Bang Olo!. Aku semakin mengerti tentang kebesaran Qur’an.”

“Ada lagi ayat Qur’an yang lebih mengagumkan.”

“Ayat apa itu?. Boleh aku mendengarnya sambil menunggu Mas Joko bermain?”

“Dengarlah. Surat An Nahl berarti lebah. Allah mengatakan , bahwa lebah adalah mahluk kecil yang manfaat dan kegunaannya sangat besar bagi seluruh umat manusia. Lebah menghasilkan madu yang dapat mengobati berbagai jenis penyakit yang diderita manusia. Lebah mencari makanannya pada bunga-bunga yang tumbuh di bumi. Lebah hanya menikmati makanan dari bunga yang tumbuh di bumi, alangkah mulianya dia.”

“Dalam pengobatan menurut primbon, madu juga besar manfaatnya,” Inah memberikan komentar. “Yang pasti aku semakin mengerti Qur’an darimu,Bang Olo.”

“Ingatlah, lebah adalah hewan kecil yang manfaatnya sangat besar bagi umat manusia di dunia, sementara tentang monyet adalah mahluk yang tidak pernah disebut dalam Qur’an karena tidak bermanfaat bagi manusia.”

Ucapan itu hanya membuat Inah menekur

“Bahkan anjingpun dimuliakan keberadaannya. Dalam kisah Ashhaabul Kahfi disebut anjing adalah hewan yang setia menemani manusia yang bersembunyi ratusan tahun dalam sebuah gua. Raqim atau anjing dimuliakan karena disebut dalam Qur’an surat Al Kahfi yang berarti gua untuk persembunyian para pemuda bersama anjing dari orang musyrik ”

“Sungguh hebat!,” Inah berdecap-decap mendengar penuturan itu.

“Kamu juga harus tahu,Inah. Bahwa Allah juga menyebut tentang kuda dalam surah Al Aadiyaat yang bermakna kuda perang yang berrlari kencang. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan kuku kakinya. Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu serta menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.”

“Luar biasa,” cetus Mbak Inah ketika Bang Olo membacakan ayat yang berkaitan dengan kuda yang berlari kencang. “Aku sangat kagum kepada Bang Olo. Aku belum pernah bertemu dengan seroang lelaki seperti Bng Olo yang amat banyak menguasai tentang Islam dan Qur’an.”

“Gajah yang besar dan tolol juga tidak lupa disebut Tuhan , ” lanjut Bang Olo menuturkan ayat –ayat Qur’an yang berkaitan dengan berbagai jenis binatang agar Inah menyadari, bahwa tidak ada gunanya ia terlalu menyayangi dan mencintai seekor monyet secara berlebihan, apalagi sampai mengkeramatkan.

“Surat Al Fiil merupakan surat ke seratus lima dalam Qur’an. Fiil berarti gajah. Gajah dalam hal ini adalah tentara gajah yang dikerahkan oleh seorang raja zhalim bernama Abrahah dari Yaman yang akan menghancurkan Ka’bah yang amat mulia di Makkah. Tuhan kemudian menurunkan burung-burung yang membawa batu-batu kecil berasal dari tanah yang terbakar. Seketika pasukan gajah itu hancur lebur.”

“Sungguh mengagumkan. Aku jadi ingin menjadi seorang muslimah yang taat beribadah seperti Bang Olo.”

Matahari sudah condong ke Barat, tidak lama lagi senja akan datang, tapi Bang Oloan masih tetap bertutur tentang hewan dan binatang yang tertera dalm Qur’an. Bang Oloan juga mengatakan tentang laba-laba dan burung merpati yang melindungi Rasulullah dalam gua dari kejaran kaum Quraisy.

“Binatang yang namanya onta adalah paling berjasa dalam perjuangan menegakkan Islam. Puluhan onta telah dikerahkan untuk menjadi tunggangan para prajurit muslim guna menghadapi musuh Islam. Bahkan dalam peperangan Uhud yang paling dahsyat, banyak onta yang menjadi korban terkena anak panah dan mati.” lanjut Bang Oloan. . .

“Kasihan onta-onta itu , binatang itu ikut berperang menegakkan Islam.”

“Onta itu mati sebagai syuhada.”

“Bang Oloan sudah menceritakan berbagai jenis binatang yang dimuliakan atau disebut-sebut dalam Islam. Ada semut, ada lebah, ada kuda yang semuanya ada di darat. Lalu ada lagi kawanan burung yang dikirim Tuhan untuk memusnahkan pasukan gajah. Itu artinya ada mahluk di darat dan di udara yang disebut dalam Qur’an. Apakah di laut juga ada satwa yang disebut-sebut dalam Islam.”

“Ada!.”,sahut Bang Oloan tegas.

“Hewan apa? Buaya?. Biawak? Atau ikan lumba-lumba?”

“Sejenis ikan paus yang menelan Nabi Yunus. Tapi di hari Asyura Nabi Yunus yang berdoa kepada Tuhan akhirnya selamat keluar dari perut ikan itu.”

“Aku senang sekali mendengar semua kisah tentang binatang-binatang itu,” cetus Inah penuh minat.

“Kamu harus menyadari, tidak satupun ayat Qur’an atau hadist Nabi Muhammad yang menyebut tentang monyet,Inah. Ingatlah itu. Karena itulah aku berharap jangan teruskan sikap yang berlebihan terhadap Mas Joko. Hentikan menyayangi Mas Joko berlebihan. Aku berharap suatu saat, Mas Joko harus ditinggalkan di hutan ini biar ia bebas bermain dan menemukan pasangannya.”

Inah hanya mengangguk lirih.

Menjelang senja Bang Oloanpun masih sempat bertutur tentang burung Hud-Hud kepercayaan dan sekali gus kesayangan Nabi Sulaiman yang selalu menjadi kurir untuk menyampaikan surat kepada Ratu Balqis.”

“Apakah Nabi Sulaiman menjalin kasih sayang seperti kita?” tanya Inah dan menatap wajah Bang Oloan.

“Ya!. Akhirnya Ratu Balqis menjadi isteri Nabi Sulaiman.”

Inah tersenyum. Ia bahagia sekali rebah di dada Bang Oloan di pinggir hutan itu. Ia merasa hatinya amat sejuk mendengar penuturan Bang Oloan tentang berbagai jenis binatang yang dimuliakan Tuhan, kecuali sebangsa monyet. Semut dan lebah sebagai mahluk kecil sungguh dimuliakan..

***

Hari sudah sore, sebentar lagi senja datang. Burung-burung yang terbang jauh satu demi satu sudah kembali ke sarangnya di hutan lebat itu. Sepasang manusia itu masih duduk berdampingan.

“Hari sudah sore. Mari kita pulang!,” ajak Bang Oloan dan berdiri.

Inah masih tetap duduk. Ia memandang ke tengah hutan.

“Ayo bersiap-siap pulang,” Bang Oloan menyentuh tangan Inah dan mengajaknya berdiri.

Inah berdiri, tapi pandangannya masih ke arah hutan lebat itu.

“Tinggalkan Mas Joko di hutan ini.” terdengar lagi suara Bang Oloan dan tangannya masih menggenggam jari tangan Inah. “Mulai hari ini, kamu harus melupakan Mas Joko. Sejak saat ini kamu harus mampu berpisah dengan Mas Joko. Ia sudah menemukan banyak sahabat. Dia sudah menemukan banyak kawan. Mungkin juga Mas Joko sudah menemukan pasangannya di hutan ini dan tidak ingin lagi pulang bersamamu. Mas Joko merasa lebih bahagia di hutan ini. Dia merasa lebih nyaman di alam bebas. Kuatkan hatimu untuk meninggalkannya!.”

“Mudah-mudahan hatiku kuat untuk meninggalkannya di sini,” Inah berkata dengan iringan hela nafas panjang dan berat.

“Hatimu harus kuat,Inah. Percayalah Mas Joko tidak akan sengsara di hutan ini. Dia merasa hutan ini adalah tempat bermukimnya yang layak.”

Sekali lagi Inah menghela nafas panjang dan berat.

“Ayo kita pulang. Biarkan Mas Joko di sini!”

Baru saja Bang Oloan dan Inah akan melangkah meninggalkan kawasan hutan lebat itu, tiba-tiba saja ranting pohon di semak-semak bergerak-gerak dan sesaat kemudian menyembul Mas Joko. Tapi Mas Joko muncul dari tengah hutan, tidak sendiri. Mas Joko muncul bersama seekor monyet betina.

“Lihat,Inah. Mas Joko sudah menemukan pasangannya di sini. Itu tandanya Mas Joko merasa lebih bahagia di hutan ini!”

Inah hanya mampu menatap dengan perasaan haru.

“Jangan sedih. Jangan merasa kehilangan. Mas Joko sudah menemukan pilihannya. Hidup bebas di hutan ini dan menemukan pasangannya. Tataplah puas-puas untuk terakhir kalinya !”

Perlahan sekali Inah mengangkat tangannya dan melambai untuk Mas Joko. Sepasang bibirnya juga bergetar lirih, mengucapkan kata-kata perpisahan.

“Selamat tinggal,Mas Joko. Selamat berpisah. Jangan ada kesedihan di hati kita.”

Perlahan sekali Bang Oloan menarikkan tangan Inah dan mengajaknya pulang. Gadis asal Jawa Tengah itu melambaikan tangan kepada Mas Joko untuk terakhir kalinya.

Inah melangkah pergi,tetapi sebentar-bentar ia menoleh lagi ke arah hutan. Sang monyet kesayangannya sudah tidak tampak lagi, sudah berayun-ayun ke tengah hutan bersama pasangannya. Inah benar-benar rela untuk berpisah dengan Mas Joko. Ada setetes cairan bening mengalir dari matanya. Masih ada sisa-sisa keharuan di dasar hatinya.

“Mas Joko sudah menemukan pasangannya. Dia akan hidup berbahagia. Kita juga akan seperti itu. Kita akan segera menikah.”

Bang Oloan merasa telah berbuat sesuatu yang terbaik dalam hidupnya. Ia telah membuat perempuan yang berasal dari desa di Jawa Tengah itu menemukan jati dirinya.

Bang Oloan sudah berhasil menyembuhkan kelainan jiwa dalam diri gadis yang selama bertahun-tahun menyayangi dan mencintai seekor monyet secara berlebihan. Lelaki itu mampu memutuskan hubungan batin antara Inah dan Mas Joko yang amat kental dan sudah berlangsung bertahun-tahun.

Bersama datangnya senja, Bang Oloan dan Inah meninggalkan hutan lebat itu dan meninggalkan Mas Joko di sana. Sepeda motornya meluncur cepat. Di atas sepeda motor, ketika Inah berpegang erat di pingganya, Bang Oloan bersiul-siul , kemudian terdengar lelaki itu melantunkan Onang-onang:

“O nang da boti baya onang, Inanta da Soripada on nada inang namalo jolo maro orotan hama lo le su ma put baya lilungon magodang aek nala puton maol baya si so jolo bora nganon madung cita-cita da na saut on nada dong be le suaae ha la nganon dison inanta le soripada on namar ale bagas le godang on on le namora ni siregaron na toluhon si le manjunjungi honop hamu sale bo to angga ran on raptu ginjang hamu to toru on songon siala le sampagulon marabur rap le marabur on mar a bustak rap marabou lu da tanda mahamu da mora ni bagas godang on da namalo le mororot on onang baya I onang ale onang .”

Suara Bang Oloan terdengar di telinga Inah amat merdu, hingga ia hampir tertidur di sadel belakang sepeda motor yang meluncur kencang.

“Lagu itu amat enak di dengar, Bang Olo.. Apa maknanya?”

“Seribu nasihat ada dalam lagu itu.”

“Aku amat senang mendengarnya, meresap dalam kalbu. Lagu itu membuatku hampir tertidur.”

Tangan Inah semakin erat memeluk pinggang lelaki itu.

“Oo I onang da boti baya onang madung tulus najar.”

Lagu itu terus terdengar sepanjang jalan. Lagu itu membuat Inah tidak ingat lagi kepada Mas Joko, monyet kesayangannya yang sudah dilepas di alam bebas.***